Bab 22 (Sikap Gus semakin baik)

736 32 0
                                    

Pagi kembali menjelang, aku tengah menata sarapan di meja makan.

Terlihat Adiba, Akbar dan Arkan sudah duduk di meja oval yang terdapat 4 kursi di setiap sisi kanan dan kirinya.

Mereka bertiga duduk di sisi kanan, sementara Gus An yang baru datang menarik salah satu kursi yang ada di sisi kiri.

Setelah menuang air ke setiap gelas, aku mulai duduk di sebelah Arkan, kami berempat duduk berhadapan dengan Gus An.

Di sela menikmati hidangan, aku mulai berbicara tentang rencana kuliahku pada laki-laki itu.

"O, iya. Gus. Aku mau bicara sesuatu," kataku lembut.

"Apa?"

Sejenak Gus An menoleh ke arahku, lalu melanjutkan menyendok makanannya.

"Aku mau kuliah," jawabku.

Gus An kembali menoleh ke arahku.

"Kemarin aku ikut seleksi tes masuk perguruan tinggi, dan aku lolos," jelasku.

Gus An masih menatapku, lalu meletakkan sendok dan garpu yang ada di tangan.

"Iya. Nanti setiap bulan akan aku kirim biaya kuliahmu," katanya seraya meraih gelas berisi air putih dan meneguknya.

"Tidak usah repot-repot soal biaya. Aku masuk perguruan tinggi dengan jalur beasiswa," sahutku.

Gus An memperhatikanku.

Aku segera membuka gawaiku dan mengirim bukti pengumuman penerimaan mahasiswa baru dengan jalur beasiswa padanya.

Selepas menyeka sudut bibirnya dengan tisu, Gus An pun meraih gawainya yang dia letakkan di sisi piring, lalu membuka pesan dariku.

Dia terlihat mempelajari file yang aku kirim.

"Kamu diterima dengan jalur beasiswa berprestasi anak orang tidak mampu," kata Gus An setelah membaca pesan dariku.

"Mmm ... Iya. Aku memang anak orang tidak mampu, 'kan? Aku juga seorang abdi ndalem," sahutku dengan menatapnya.

Gus An hanya bergeming.

"Meski anak orang tidak mampu. Tapi aku berprestasi," tambahku memuji diri sendiri.

Gus An masih bergeming, kemudian beranjak dari kursinya.

"Atur saja waktu kuliahmu dengan baik," katanya.

"Jika kamu butuh sesuatu, jangan sungkan bilang padaku," pesannya lagi.

"Aku berangkat ke kantor dulu. Titip anak-anak!"

Aku tercengang dengan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya.

Dia terlihat perduli dengan rencana kuliahku, dan ini juga pertama kalinya dia menitipkan anak-anaknya padaku.

'Ah! Gus An, ada apa denganmu? Mungkinkah kamu mulai belajar untuk menerimaku?'

Sungguh memikirkan sikap baiknya membuat pikiranku tidak menentu.

***

Hari terus berganti. Aku pikir hanya di hari itu Gus An bersikap baik, ternyata di hari berikutnya dia juga tetap bersikap baik.

Tidak ada wajah angkuh dan sinis lagi yang aku lihat.

Meskipun masih tidak bisa tersenyum manis padaku, tapi sikapnya selalu baik dan lembu.

Kata terima kasih, selalu dia ucapkan setiap kali aku selesai membantunya. Begitu juga dengan kata minta tolong, kalimat itu juga begitu mudah keluar dari mulutnya.

Oh! Aku benar-benar tidak menyangka Gus An, akan berubah.

Ternyata permintaan talak dan sikap dinginku beberapa hari yang lalu membawa hikmah.

Aku bersyukur, dan aku juga sangat menghargai sikap Gus An yang sudah mulai berusaha menerimaku.

Meski terkadang aku masih takut berharap lebih, karena aku tau betul, aku sangat jauh berbeda dengan Ning Hilya. Ibaratnya aku bumi dan Ning Hilya langit, dia berada di atas, punya matahari, bulan, bintang, bahkan pelangi. Sementara aku, hanya tempat berpijak, dan penadah air hujan saja, jadi sungguh wajar jika Gus An teramat sulit untuk menerimaku.

***

Malam ini, aku mulai menyiapkan makan malam.

"Kapan kamu mulai kuliah, Fa?" tanya Gus An, di sela aku menyuguhkan jus delima merah untuknya.

"In Sha Allah, awal bulan depan."

Aku menoleh sembari tersenyum.

"Minggu depan sudah awal bulan. Apa kamu sudah mempersiapkan semua kebutuhanmu?" tanyanya lagi.

"Mmm ... Aku masih belum butuh apa pun Gus," sahutku.

"Apa aku perlu menambah asisten rumah tangga untuk membantumu mengasuh anak-anak?"

Pertanyaan Gus An benar-benar membuat hatiku membeku.

Laki-laki ini, semakin hari, semakin perhatian padaku.

"Tidak perlu, Gus. In Sha Allah aku bisa mengatur jadwalku. Aku juga sudah mengkomunikasikannya dengan Mbak Ningsih. Mbak Ningsih siap membantuku menjaga anak-anak saat aku kuliah nanti," jelasku.

"Oooh ... "

Gus An mengangguk-anggukkan kepala.

"O, iya. Fa. Pekan depan mamaku akan berkunjung ke rumah ini. Dia baru saja pulang dari luar negeri, jadi aku minta tolong padamu, untuk menyiapkan segala sesuatunya saat mamaku datang nanti," kata Gus An.

Aku tersenyum dengan mengangguk, lalu mulai mengulik ingatan.

Mama Gus An? Apa ini wanita yang pernah diceritakan Ningsih waktu itu, dan wanita yang disebutkan Bu Nyai Latifah? Wanita keturunan ningrat, bangsawan, yang, Ah! Semoga dia tidak semenakutkan seperti cerita yang aku dengar.

***

Hari terus berganti, kini waktunya telah tiba, tepat jam tujuh malam nanti, orang tua perempuan Gus An akan berkunjung ke rumah ini.

Aku mulai menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan wanita yang sangat Gus An rindukan itu.

Mulai dari menata perabotan rumah, hingga menyiapkan hidangan untuk makan malam.

"O, iya, Fa? Apa semua sudah siap?" tanya Gus An saat aku mulai menata hidangan di meja.

"Sudah," sahutku.

"Terima kasih, ya!"

Gus An menyentuh lenganku dengan tersenyum puasa.

Aku tercengang, ini adalah kali pertama Gus An menyentuh lenganku sembari tersenyum.

Oh! Ternyata aku sudah sangat membuat laki-laki ini bahagia.

"Mamaku lama tinggal di Aussie, dia bekerja di kedutaan Indonesia yang ada di sana. Dia sengaja pensiun lebih awal agar bisa cepat kembali ke negri ini."

Gus An tersenyum sembari menarik kursi dan duduk di meja makan, menceritakan dengan raut bahagia keberadaan orang tua perempuannya.

Sepertinya Gus An sangat bahagia menyambut kedatangan wanita itu.

"Oooh ..."

Aku mengangguk-angguk.

"Apa Beliau akan tinggal di sini?" tanyaku penasaran.

"Tidak. Mamaku baru saja meresmikan galeri seni yang dia bangun di kota kelahirannya. Jadi meski aku tawari untuk tinggal di sini, mama menolak," terang Gus An.

"Kebetulan mamaku sedang ada pekerjaan beberapa bulan di kota ini, jadi dia sempatkan untuk berkunjung ke rumahku," tambah Gus An lagi.

Aku kembali mengangguk-angguk.

"O, iya. Fa. Tolong kamu lihat anak-anak, apa mereka sudah siap menyambut kedatangan neneknya!"

"Iya."

Aku tersenyum dengan mengangguk, sembari beranjak meninggalkan ruangan itu untuk melihat anak-anak di kamar.

Bersambung

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang