Bab 61 (Klarifikasi)

847 58 8
                                    

Kalimat yang diucapkan Mutia sungguh menyisakan kegelisahan di hatiku.

Sengaja aku tidak mengangkat telepon ataupun membalas pesan dari Mutia, karena aku masih sangat kesal padanya.

Aku berusaha menenangkan diri dengan berdiam di kamar selepas pulang dari kuliah, menghempaskan kekacauan pikiran saat terngiang kalimat demi kalimat yang diucapkan gadis itu.

Aku yang saat ini tengah berbaring di atas ranjang, tiba-tiba duduk gelisah, lalu tidur kembali, hingga kemudian bangkit dan berjalan mondar-mandir mengelilingi setiap sudut kamar.

Sungguh! Perkataan Mutia sangat mengganggu pikiranku.

****

Tidak terasa adzan magrib berkumandang.

Selepas berjamaah dengan tiga bocah kecil kesayangan Gus An, murojaah, menemani mereka belajar, dan jama'ah salat Isyak, aku bergegas kembali ke kamar.

Mengemasi pakaian Gus An, karena rencananya subuh nanti, laki-laki itu akan melakukan perjalanan bisnis ke luar kota.

Kutata bajunya dengan rapi di dalam koper. Kuperiksa berulang-ulang, karena aku takut ada perlengkapannya yang tertinggal.

Selang beberapa saat kemudian, kudengar suara pintu kamar dibuka.

Ceklek!

Aku yang tengah berdiri di depan almari Gus An seketika menoleh.

Seorang laki-laki tampak melempar senyuman padaku.

Selepas meletakkan tas kerjanya di sofa, dia melangkah menghampiriku.

Satu kecupan sayang dia layangkan ke pipi sebelah kiriku.

"Bagaimana pembantu barunya, Fa? Apa kamu cocok?" tanyanya dengan melonggarkan dasi dan membuka kerah kemejanya.

"Mmmm ..."

Aku menggumam seraya mengangguk. Sekalipun sebenarnya aku belum berbicara banyak dengan dua pembantu baru itu.

"Jika kamu tidak cocok dengan pekerjaannya. Kamu bisa meminta si Mbok untuk menegur mereka," tambahnya.

"Mmmm ..."

Aku kembali menggumam.

Kurasakan tangan kekar Gus An mulai merangkul tubuhku dari belakang.

Dengan sigap aku meregangkan tangan untuk menghindar.

"Aku siapkan air hangat untuk mandi," pamitku seraya bergegas melangkah meninggalkannya.

Gus An tampak mengikuti langkahku.

"Kamu sakit, Fa?" tanyanya saat melihat sikapku yang mungkin sedikit berbeda.

"Tidak," sahutku tanpa menoleh dengan terus melakukan pekerjaanku, mengisi bathtub dengan air hangat.

Kulihat setelah itu Gus An berbalik mengangkat telepon yang entah dari siapa.

Aku pun kembali melanjutkan pekerjaanku, menyiapkan handuk dan baju gantinya.

Selepas itu, aku mulai menghampirinya yang tengah duduk di sofa dengan masih berbicara di dalam telepon.

"Apa perlu aku siapkan makan malam Gus?" tanyaku sesaat setelah dia mengakhiri percakapan.

Gus An menoleh dengan masih memberikan senyum termanisnya.

"Tidak usah, Fa. Aku sudah makan di kantor. Buatkan aku kopi tanpa gula saja," pintanya dengan suara lembut.

"Iya."

Aku mengangguk dengan masih memperhatikannya, tidak segera beranjak dari tempatku berdiri.

Jujur aku sangat ingin mengetahui alasan, kenapa Gus An tidak bercerita padaku tentang rencananya mencalonkan diri sebagai wali kota.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang