Bab 27 (Rumah Sakit)

592 33 2
                                    

Keringatku mengalir deras. Beruntung aku memakai celana di dalam rok panjangku, jadi aku bisa leluasa dalam bergerak.

"Loh! Kamu terlambat lagi?"

Seorang senior baik yang sedari tadi tidak aku lihat, tiba-tiba muncul di hadapanku yang tengah menjalani hukuman.

Jujur aku sangat malu dengan pertanyaannya.

"Biasalah, pasti kemalaman tidur, jadi terlambat bangun," celetuk mahasiswa jangkung yang tengah menjagaku.

Aku hanya bisa menghela napas dengan melanjutkan gerakan push up yang sangat menyiksa diri ini.

"Jagain ya, Do! Masih kurang 30 kali lagi," kata mahasiswa jangkung itu dengan beranjak meninggalkan lapangan.

Beberapa menit kemudian aku pun telah selesai melakukan gerakan olahraga yang membuat kram otot tangan dan kakiku.

Aku duduk dengan kaki berselonjor di tengah lapangan.

Suara napasku masih tersengal.

Aku mengambil botol air minum di dalam tas, lalu meneguknya hingga habis.

"Kenapa kamu terlambat lagi?" tanya kakak senior baik hati itu dengan berjongkok di sisiku.

"Aku ... "

Aku merasa gugup saat menjawab, takut dia menganggap alasanku hanyalah bualan semata.

"Mmm ... anak asuhku sakit, Kak," lanjutku.

Kakak senior itu menatapku dalam.

"Kamu nggak bohong kan, soal anak asuh itu?" tanyanya kemudian.

Aku melihat tatapannya seolah tidak percaya padaku.

"Tidak," sahutku dengan tersenyum berat.

Perlahan laki-laki itu berdiri.

"Cepat masuk kelas! Ada materi yang harus kamu ikuti!" perintahnya dengan berbalik meninggalkanku.

Sepertinya dia tidak lagi percaya padaku.

Tapi sudahlah, itu adalah urusannya.

Aku menepis perasaan tidak menyenangkan ini, dan fokus untuk mengikuti materi orientasi mahasiswa baru di hari kedua.

*****

Tidak terasa waktu terus berjalan, kegiatan orientasi hari ini pun selesai.

Tepat jam lima sore aku sudah keluar dari ruangan.

Aku bergegas melangkah menuju halte yang ada di depan kampus untuk mencari angkutan umum, karena rasanya ingin segera pulang bertemu dengan Arkan.

Aku khawatir dengan keadaan pria kecil itu. Semoga saja dia tidak diarea lagi seperti tadi pagi.

Tiga puluh menit kemudian, aku sudah sampai rumah.

Aku melihat Ningsih, masih menemani Adiba dan Akbar bermain di ruang keluarga.

"Mbak Ningsih, bagaimana keadaan Arka?" tanyaku sesaat setelah beruluk salam.

"Sudah ndak diarea, mbak. Tapi susah sekali makan, dan sekarang anaknya lagi tidur," terang Ningsih.

Aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Arkan.

Setelah meletakkan tasku di meja sofa, aku mulai menghampiri pria kecil itu.

Kusentuh dahinya. Terasa badan yang lebih hangat dari suhu normal.

Pria kecil itu perlahan membuka mata.

"Bunda!" lirihnya dengan mengangkat kedua tangan.

Aku tahu, dia berharap aku menggendongnya.

Dengan melayangkan senyum aku pun mengangkat tubuh pria kecil itu.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang