Bab 65 (Suara Sirine)

484 40 4
                                    

Hari ini Gus An memberi kebebasan pada kami berempat untuk berbelanja.

Aku dan anak-anak mulai memilih semua barang yang kami suka, beberapa setel pakaian, sandal, sepatu, berikut tas, dan aksesoris.

Tidak lupa anak-anak juga memilih beberapa mainan yang mereka suka.

Sungguh tidak bisa kubayangkan berapa juta rupiah yang akan Gus An keluarkan dari kartu warna hitamnya untuk memanjakan kami.

Aku hanya dapat menatapnya dengan perasaan berdebar saat melihatnya di depan meja kasir.

Selepas membayar semua tagihan Gus An mengajak kami untuk makan siang di salah satu restoran yang ada di dalam Mall itu.

Kami pun sangat bahagia, melahap makanan dengan nikmat, dan tak lupa menyelipkan tawa dan canda dalam setiap komunikasi.

Setelah makan siang selesai, Gus An kembali menggiring kami menaiki eskalator menuju play ground yang ada di lantai paling atas mall.

Aku mulai mengawasi Akbar dan Adiba yang terlihat bersemangat berlarian ke sana kemari.

Sementara Gus An sibuk menemani Arkan yang minta gendong dengan menunjuk bermacam-macam permainan yang ada di sana.

Karena merasa lelah aku duduk di kursi yang ada di antara wahana permainan tersebut.

Aku melihat Adiba dan kedua adiknya begitu bahagia, mereka bertiga tampak mencoba semua permainan yang ada di sana, dari berseluncur di dalam kolam penuh bola, melompat-lompat di atas trompoli, hingga menaiki kereta mini, dan tak lupa Gus An juga mengajak mereka menikmati keseruan menaiki bom bom car.

Dari kejauhan aku tersenyum saat melihat mobil kecil yang dikendarai Gus An bersama Arkan menabrak mobil kecil yang dikemudikan Adiba dan Akbar.

Melihat tawa pecah mereka, membuat hatiku sangat bahagia.

Naluri keibuanku pun mulai berbicara, tidak akan aku biarkan tawa itu sirna, dan dengan sekuat hati aku akan selalu menjaganya.

Beberapa saat kemudian Gus An dan anak-anak menghampiriku.

"Bunda, ayo naik itu!" ajak Adiba dengan menunjuk swing carousel, sebuah permainan berupa ayunan yang berputar begitu kencang.

"Mmmm ... tidak!" tolakku dengan tersenyum.

"Ayolah, Fa! Dari tadi kamu duduk terus, ayo ikut bermain!" bujuk Gus An.

"Gus An saja yang menemani anak-anak, biar aku menjaga kalian dari sini," tolakku lembut.

"Kamu takut?" tanya Gus An dengan menatapku curiga.

"Tidak!" elakku dengan suara lantang.

Sungguh aku tidak ingin Gus An melihat kalau aku begitu kampungan.

"Kalau begitu, ayo bunda ikut naik!"

Adiba pun langsung menarik tanganku.

Dengan hati berdebar aku pun bangkit dari tempat duduk, meski sebenarnya perasaan ini memang sangat takut. Tapi aku berusaha menunjukkan pada Gus An kalau aku adalah pribadi yang pemberani dan tidak terlalu kampungan.

Akhirnya kami berlima pun menuju pintu loket swing carousel tersebut.

Seorang petugas menyambut kami dengan ramah, membimbing kami untuk naik ayunan tersebut dengan kemudian memasangkan pengamannya.

Satu menit, dua menit, tiga menit, akhirnya ayunan itu berputar.

Perlahan, perlahan, hingga kemudian berputar dengan kencang.

Belum satu menit berputar, kepalaku mulai terasa kliyengan.

Sepertinya aku benar-benar kampungan, karena semakin cepat ayunan itu berputar, kepalaku semakin terasa pusing bukan kepalang.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang