Bab 20 (Minta Talak)

951 37 2
                                    

Setelah mendengarkan aku membacakan buku cerita, anak-anak tertidur lelap.

Aku menggendong Arkan dan Akbar, memindahkan kedua anak itu ke tempat tidur yang ada di sisi ranjang Adiba.

Krek!

Saat menutupkan selimut di tubuh mereka, kudengar seseorang membuka pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

Perlahan aku menoleh.

Gus An tampak membuka kancing bagian atas kerah kemejanya, lalu duduk di sofa.

"Aku mau mandi, siapkan air hangat dan pakaianku!"

Selalu, laki-laki itu memerintah tanpa meminta tolong.

Tanpa menjawab, aku langsung mengerjakan semua perintahnya.

Menyiapkan air hangat, mengeluarkan baju ganti dan handuk dari almarinya.

Kuletakkan barang-barang itu di tepi ranjang yang ditiduri Adiba. Setelah itu aku bergegas keluar dari kamar.

Saat hendak membuka pintu, Gus An yang baru bangkit dari sofa menghentikan langkahku.

"Setelah mandi, aku mau makan malam," katanya dengan sejenak menoleh.

Sungguh pria tidak berperasaan. Dia tahu betul kalau aku baru sembuh dari sakit, dan hari ini aku juga sedang berduka, tapi sedikit pun tidak ada simpati atau kata duka cita yang keluar dari mulutnya.

Dia terus saja memerintahku seperti pembantunya.

Tanpa menjawab aku bergegas keluar dari kamar, menuju dapur, menyiapkan makan malam.

Aku mulai memasak capcay kuah, dengan memasukkan berbagai sayur di dalamnya.

Entah Gus An suka atau tidak, aku sama sekali tidak perduli.

Aku segera menghidangkan di meja setelah masakan sudah matang.

Tidak kusangka, Gus An ternyata sudah duduk di meja makan.

Tanpa berkata apa pun kuletakkan semangkuk capcay itu di hadapannya, beserta satu piring nasi lengkap dengan garpu dan sendoknya.

Setelah itu kutuangkan air putih ke dalam gelas, lalu kuletakkan di sisi piringnya.

Gus An tampak memperhatikan sikap dinginku.

"Aku ingin bicara!" katanya dengan nada datar seperti biasa.

Aku pun bersikap patuh, menarik kursi dan duduk di hadapannya.

Gus An mulai meneguk air, kemudian melihat ke arahku.

"Kenapa kamu menolak uang santunan dariku?" tanyanya.

"Bu Nyai Latifah sudah menanggung semua biaya pemakaman dan slametannya Mbah Uti," sahutku sedikit sinis.

"Oooh ..."

Dia hanya menggumam lalu melanjutkan makan malamnya.

Sungguh, benar-benar tidak berperasaan, kukira dia akan basa-basi menyerahkan kembali uang santunan itu dengan memaksa.

Ternyata, oh! Aku juga tidak butuh uang darinya.

Aku mulai memperhatikan Gus An, dia terlihat sangat menikmati capjay kuah buatanku.

Tanpa menunggu dia selesai makan, aku mencoba mengutarakan isi hatiku.

"Mmm ... rencananya, setelah acara tahlil 7 harinya Mbah Uti. Aku akan pulang ke rumahku."

Seketika Gus An meletakkan sendok dan garpunya, menatapku penuh tanda tanya.

"Maksudnya?"

"Aku akan keluar dari rumah ini dan tinggal di rumahku sendiri."

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang