Mundur

8.3K 443 7
                                    

Afra marah pesannya bersama Raditya dan galerinya dibuka oleh Adam, tapi setelah amarahnya mereda, dia merasa bersalah dan bingung cara menjelaskannya pada Adam.

Ya, dia dan Raditya memang berpacaran selama ini. Mereka satu kelas sejak SMA, meskipun Raditya satu tahun lebih tua darinya.

Setelah lulus Raditya mendaftar ke militer melalui jalur bintara, sedangkan Afra melanjutkan ke perguruan tinggi.

Jarak tak menghalangi hubungan mereka. Meskipun setelah pendidikan, Raditya ditugaskan di salah satu wilayah di Kalimantan yang tentu saja membuat jaraknya dengan Afra semakin jauh.

Selayaknya hubungan pacaran pada umumnya, dia dan Raditya sering bertengkar. Raditya akan memakinya dan memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Itu yang menjadi alasan Afra terkadang mencari senior kampus untuk mengisi kekosongan hatinya, tapi begitu Raditya meminta maaf, dia tak sanggup menolak untuk kembali menjalin hubungan dengan pria yang juga merupakan tetangganya di kampung dan teman masa kecilnya itu. 

Alasan Afra tak pernah memberitahu Adam adalah karena sejak awal, Adam memang tak suka jika dirinya pacaran. Dia khawatir Adam akan ikut campur dalam hubungannya.

Namun, dia semakin bingung dengan dirinya yang mulai memandang Adam dengan cara yang lain dan memandang hubungannya dengan Raditya yang hanya seperti balas jasa.

Ya, sejak dulu keluarga Raditya banyak membantu keluarganya saat di kampung. Semenjak Raditya bekerja, pria itu juga sering mengirim uang untuknya tanpa perhitungan. Dia yang sering menghambur-hamburkan uang bahkan sampai terlilit hutang pinjol yang tak mungkin diberitahukannya kepada Raditya yang temperamental. Alhasil dia terpaksa bekerja pada Adam untuk bisa menyelesaikan hutangnya.

Tapi masalah baru sekarang muncul, karena sepertinya, dia malah jatuh cinta pada Adam dan berusaha keras menyangkalnya.

Buktinya dia merasa galau berat saat Adam dengan sengaja menjauhinya. Pria itu diam saja dan tak mau berbicara dengannya, berangkat sekolah seorang diri, meninggalkan kamar lebih awal sebelum Afra masuk untuk membersihkan kamarnya, tak meminta dijemput, mengerjakan tugasnya sendiri, dan sama sekali tak meminta bantuannya sama sekali dalam semua hal.

Setiap pagi Adam pun tak lupa menitip pesannya kepada Bunga untuk disampaikan kepada Afra, bahwa dia tak membutuhkan bantuan apa pun hari itu dan meminta tak diganggu oleh asistennya itu.

Alhasil Afra merasa seperti hanya menumpang tinggal di rumah Adam tanpa bekerja sama sekali. Dia pun frustasi dan menjadi tak nyaman.

Diam-diam dia selalu menunggu Adam menghubungi atau berbicara dengannya lebih dulu, tapi pria itu setiap tak sengaja berpapasan dengannya malah tak mau melihatnya sama sekali. Seakan-akan dia tak ada.

Pada akhirnya dia memilih mengalah untuk berbicara pada Adam lebih dulu.

"Adam? Kita harus bicara," ucap Afra tegas di samping pria yang tengah duduk di pinggir kolam sambil membaca buku itu. 

Adam tetap melihat bukunya dengan deru napas yang tenang seakan-akan Afra tak ada. Dia memilih diam saja membuat Afra sedikit frustasi.

"Aku bisa jelaskan semuanya, Adam. Aku minta maaf karena gak pernah memberitahu kamu soal ini. Tolong kamu dengar penjelasanku."

Adam tetap saja fokus dengan aktifitasnya.

"Adam?" Afra tak menyerah meskipun pria itu tampak tak mau menunjukkan ekspresi apa pun. Marah pun tidak, sedih juga tidak, dan itu membuat Afra sulit menebak isi kepala dan hatinya.

"Adam?"

Adam berdiri dan memilih berjalan melintasi Afra sebelum berhenti sejenak. "Aku sedang gak ingin diganggu. Tolong dipahami. Dan, aku juga gak perlu penjelasan apa pun, karena aku gak ada pertanyaan. Hidupmu ya hidupmu. Aku gak berhak mengatur kamu. Mulai besok silahkan lakukan tugasmu seperti biasa. Aku akan menganggap semuanya sebagaimana biasanya." Suara pria itu sangat dingin. Tak lama dia memilih berlalu membiarkan Afra terpaku di tempatnya.

***

Adam cukup menepati janjinya, karena dia kembali bersikap biasa saja dan membiarkan Afra melakukan tugasnya seperti biasa. Benar-benar seperti sejak awal mereka bertemu.

Tapi ... entah kenapa Afra malah semakin galau.

"Ekspresinya benar-benar gak bisa ditebak. Aku bingung sebenarnya dia sedih atau kecewa atau marah atau apa?" batin Afra. Mendadak dia yang sedih.

Meskipun keduanya berusaha agar semuanya kembali biasa saja, tapi keadaan canggung itu tetap tak bisa dihindari. Terlebih Adam yang sangat irit bicara. Alhasil Afra yang tak nyaman.

Berhari-hari dia berpikir keras antara memilih Raditya atau pekerjaannya, dan akhirnya dia memilih Raditya dengan cara menemui Arka untuk ... mundur.

"Saya ingin berhenti dari pekerjaan saya, Pak."

Arka yang baru saja tiba tadi malam dari perjalanan bisnisnya itu merasa paginya sedikit berat saat gadis di seberang mejanya itu menyampaikan maksudnya. "Ada apa Afra? Apa ada yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba ingin berhenti? Kamu dan Adam kan sudah sangat akrab, kan?"

Afra mengangguk dengan senyum getir. "Saya ... saya sangat bersyukur bekerja di sini. Sangat membantu saya. Tapi saya merasa tidak bisa menjadi asisten dari Adam lagi. Saya juga ingin fokus kuliah."

Arka terhenyak. "Apa kamu sudah bicara dengan Adam soal ini?"

Afra menggeleng pelan. "Belum, Pak."

"Begini Afra, putra saya itu tidak gampang cocok dengan orang lain. Kamu yang terlama menemani dia. Kalau kamu ada kesulitan atau kekurangan dan sejenisnya, kamu bisa sampaikan ke saya agar saya bisa menindaklanjutinya, yang penting kamu tidak berhenti. Kasihan Adam kalau kamu pergi tiba-tiba."

"Apa bisa Pak Arka saja yang menyampaikan? Karena saya benar-benar sudah bertekad bulat untuk berhenti, Pak."

Arka menghela napas pelan sebelum memijit dahinya. Dia merasa kalimat Afra mengandung makna bahwa dia tak ingin lagi dipaksa untuk bertahan. Alhasil Arka yang bingung saat menemui putranya untuk berbicara.

"Afra ingin berhenti dari pekerjaannya."

"Oh." Adam sudah bisa memprediksinya. Jadi dia hanya mengangguk sambil kembali menikmati makan malamnya.

Arka yang heran dengan reaksi putranya itu. "Apa ada sesuatu yang terjadi antara kalian berdua? Karena jujur, akan sangat sulit menemukan orang seperti Afra yang bisa cocok denganmu."

Sejenak Adam terdiam sebelum berkata, "Aku berpikir saat ini aku sudah gak membutuhkan asisten pribadi dan semacamnya. Aku sudah mulai terbuka dengan teman-temanku, aku sudah memilih bergaul, dan aku sudah mempersilakan asisten di rumah ini untuk mengurusku. Jadi gak masalah, Yah.

"Dulu aku ingin keberadaan asisten agar setidaknya memiliki teman bicara, dan orang yang mengurusku secara pribadi. Tapi sekarang, aku berpikir lain. Gak selamanya aku seperti itu terus, kan?"

Azka tersenyum tipis sambil angguk-angguk kepala. "Ayah suka perubahanmu dan akan mendukung itu. Tapi, kamu dan Afra gak bertengkar atau semacamnya, kan?"

"Ya, semuanya baik-baik saja, Ayah. Kalau Afra ingin berhenti dari pekerjaannya, aku pikir dia pasti sudah mempertimbangkan dengan baik, sehingga aku harus menghargai keputusannya."

Arka tersenyum lebih lebar. "Ayah suka perubahanmu, Adam. Kamu lebih baik sekarang. Sepertinya Afra benar-benar membawa pengaruh yang baik untukmu."

Adam hanya sanggup tersenyum getir. "Aku harap semua kendaraan yang sudah Ayah beli untuknya, diberikan saja kepadanya. Kemudian mungkin lebih baik kita memberikannya lebih banyak dana dan kalau dia berkenan, bisakah kita mencarikan untuknya tempat tinggal yang aman?"

"Kamu ingin dia baik-baik saja di luar sana, kan?"

Adam mengangguk pelan. "Ya, aku ingin dia selalu baik-baik saja, Ayah."

"Ayah akan mengurus semuanya." Arka menepuk pundak putranya itu. "Kamu terlihat sangat menyayangi Afra."

Sejenak Adam termenung dalam diam sebelum mengangguk pelan. "Aku sangat menyayanginya, Ayah. Oleh karenanya, aku menghargai semua yang dia pilih untuk hidupnya." Dia sungguh-sungguh.

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang