8 Tahun Berlalu

5.5K 345 19
                                    

"بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

"Semoga Allah memberkahimu di waktu bahagia dan memberkahimu di waktu susah, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan." (HR. Abu Dawud no. 2130)

Enam tahun Afra harus akrab dengan doa yang disunnahkan diucapkan untuk pengantin itu. Sedangkan pada usianya yang ke-29 tahun ini, belum ada orang yang mengucapkan itu untuknya.

Ya, dia patut bersyukur langsung mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Tak main-main kantornya adalah perusahaan pusat teknologi milik keluarga Aryasatya. Tak pusing mencari lowongan kerja seperti teman-teman seangkatannya. Saat belum banyak yang mapan pada usia-29, dia sudah cukup mapan. Bahkan sangat mapan.

Hanya saja sebagai manusia biasa, dia merasa sedikit kesepian tanpa pendamping hidup. Belum lagi pertanyaan, 'kapan nikah?' yang lebih sering diarahkan kepadanya, dan pandangan putus asa orang lain terhadapnya. Katanya perempuan mendekati 30 tanpa pendamping hidup itu mengkhawatirkan. Kata mereka. Cap mereka untuknya.

"Si Alisha anaknya udah dua, kamu kapan nyusul?" tanya ibu dari teman kuliahnya saat dia berkunjung ke rumah temannya.

Belum lagi ibunya yang sering menelepon dengan pertanyaan sejenis. "Kamu tuh kapan mau nikah? Temen-temen SMA kamu deket rumah itu udah pada nikah lho, Afra. Orang tua mereka udah pada punya cucu." Pencapaiannya dalam karier seolah tak dipandang kalau belum memiliki pasangan.

Sungguh, rasanya dia ingin mengunci diri di kamarnya saja. Dia tak nyaman dengan semua itu. Bukan berarti dia tak berusaha. Dia sudah memperbaiki dirinya sejak kuliah, menjadi muslimah yang lebih baik dengan rajin ibadah, hadir di kajian, berpakaian syar'i, dan mencari pasangan melalui taaruf. Tak ada yang mengajaknya taaruf pun, dia meminta tolong kepada beberapa ustadzah untuk membantunya.

Namun, semuanya seperti sudah dapat ditebak. Gagal lagi dan lagi. Kalau bukan pria itu yang minder dengan nominal gajinya sebagai karyawan di perusahaan besar, maka dia yang tak cocok dengan pria itu. Mereka tak berakhir bersama.

"Setidaknya ada kemajuan," batin Afra.

Jelas saja, dulu dia sampai menghindari pria lantaran trauma dengan kejadian pelecehan yang pernah dialaminya semasa kuliah. Cukup lama dia berkonsultasi dengan ustadzahnya dan dibantu psikolog. Sekarang dia jauh lebih membuka diri untuk taaruf. Hanya saja belum ada rasa aman ketika bertemu dengan pria-pria yang selama ini mengajaknya taaruf.

Siang itu dia ingin menghadiri kajian di masjid. Tak sengaja dia melirik ke samping jendela mobilnya saat berhenti karena lampu merah, dan mendapati pasangan suami istri yang tengah berboncengan dengan motor biasa. Sepertinya mereka hendak ke masjid yang sama dengannya untuk mengikuti kajian. Wajah mereka terlihat bahagia di bawah terik matahari. Sedangkan Afra memandangi dirinya yang tengah menyetir di mobil bagus, tanpa sengatan matahari, tapi hanya seorang diri di sana.

"Aku belum tahu bisa ikut atau gak. Soalnya aku dateng sama bapaknya anak-anak. Belum izin sama beliau."
"Masyaallah. Anaknya cantik banget."
"Rekomendasi dokter anak yang bagus tuh di mana sih? Soalnya anak aku tuh masalahnya masih kayak waktu itu. Anaknya Mbak kayak gitu juga gak?"

Pembicaraan teman-teman kajian yang seumuran dengannya pun sudah seperti tak nyambung lagi. Mereka mulai membahas tentang keluarga, anak, rumah tangga, dan sejenisnya. Afra merasa terasingkan di dunia ini.

***

"Eh, Afra? Udah tahu belum?"

Afra yang baru bangkit dari biliknya saat jam istirahat itu menoleh ke arah Firda yang ada di bilik sampingnya. "Tahu apa? Gak gosip kan ini? Gue gak mau denger gosip lho. Gak mau transfer pahala gue di akhirat."

Gadis berambut sepundak itu memutar bola mata malas. "Jangan prasangka buruk dong! Gue tuh mau mastiin, lo udah tahu belum kalau katanya pewaris perusahaan ini bakal dateng? Anaknya bos besar kita, Pak Arkana."

Afra menghela napas jengah. "Info kayak gitu tuh udah lamaaaa banget ada. Kalau 'katanya' dan 'katanya' mah gak usah langsung mentah-mentah dipercaya kali. Percaya itu info dari sumber yang valid, Firdaku sayang. Lagian kalau beliau si  pewaris itu dateng juga paling yang bisa ketemu sama beliau adalah orang-orang kelas atas yang jabatannya tinggi. Kita ngapain diajak? Kita mah fokus kerja aja.

"Lo tahu sendiri kantor kita berapa lantai dan ruangan orang-orang kayak beliau tuh di lantai paling atas. Liftnya aja beda sama kita yang dari zaman kerja pertama di sini di lantai sepuluuuuuh terus. Jadi betapa gak mungkinnya kita bertemu beliau. Ketemu Pak Arka aja selama ini kita susah," lanjutnya.

Firda cemberut. "Iya juga sih. Cuma gue tuh penasaran gitu, kayak apa anaknya Pak Arka. Secara kan Pak Arka ganteng banget dengan pesona pria dewasa yang gak ada obat, mendiang istrinya juga bukan orang Indonesia. Jadi penasaran anak tunggalnya tuh kayak gimana?"

Afra mendadak termenung sejenak. Tentu dia tahu siapa putra tunggalnya Arkana. Tahu wajahnya, tahu tatapannya, tahu cara senyumnya, tahu saat dia tertawa, tapi dia merasa semua sudah tidak ada artinya. Pria itu mungkin sudah berubah. Seperti dirinya yang berubah dalam banyak hal. Delapan tahun adalah waktu yang panjang untuk merubah seseorang menjadi orang lain, pikirnya.

Dia juga tak mungkin memberitahu siapa pun soal dia dan pria itu. Lagipula posisi mereka juga seperti bumi dan langit. Dia hanya karyawan biasa dan putra tunggal Arkana adalah calon pimpinan perusahaan yang menjadi bos dari begitu banyak pekerja. Salah satunya adalah dirinya. Dia realistis saja.

"Udah ah, mending kita pergi makan siang." Afra merangkul Firda untuk pergi begitu saja.

Rupanya info yang tengah beredar bukan sekadar info kosong. Banyak karyawan membicarakan hal itu saat waktu senggang. Sepekan kemudian mereka diinformasikan, bahwa pewaris bernama, Adyatama Adam Aryasatya akan datang dan mengadakan acara besar yang khusus mengundang beberapa orang penting di perusahaan. Jelas seperti tebakan Afra, mereka tak diundang, tapi mendapat informasi yang cukup menyenangkan. Libur sehari saat acara tersebut dilaksanakan.

"Ya ampun, senangnya bisa liburan. Selamat berlibur, Afra yang cantik," ucap Firda penuh semangat seakan-akan mereka akan berlibur selama setahun penuh.

***

Afra baru saja selesai shalat dan meletakkan badannya di kasur sebelum menyadari, bahwa ponselnya tertinggal di kantor. Tepatnya di laci mejanya. "Astaghfirullah ... tapi udah malam. Insyaallah besok aja deh."

Hari libur yang seharusnya bisa digunakan untuk istirahat, malah membuatnya harus ke kantor lantaran ponselnya tertinggal. Menekan lift lantai sepuluh tanpa ada gangguan berarti. Dia menuju biliknya dan mengambil ponselnya di sana sebelum kembali turun menuju lantai 1. Tak ingin langsung ke basement. Dia memilih ke taman bunga kecil di depan kantor lantaran tertarik dengan salah satu bunga yang tengah mekar di sana. Sebagai pecinta tumbuhan, dia ingin tahu, jenis bunga apa itu.

Tepat sebuah sedan mewah berwarna hitam masuk dan berhenti tepat di depan pintu utama kantor. Seorang pria paruh baya turun dan bergegas membukakan pintu.

Afra menoleh sejenak ke belakang melihat mobil itu dan tiba-tiba dia menangkap seekor kucing berbulu abu-abu keluar lebih dulu dari mobil. Begitu kucing itu melihatnya, tanpa berlama-lama, kucing itu berlari ke arahnya.

Afra terkejut. Itu kucing yang tak asing. "Lucky?" bisik Afra.

Lucky berlari mendekat dan menggosokkan tubuhnya ke kaki Afra membuat Afra berjongkok dan mengelus kepalanya. "Hai Lucky. Lama gak berjumpa." Dia tertawa kecil sambil terus mengelus lembut kepala kucing itu. Melepas rindu.

Tiba-tiba sebuah suara menghentikan kegiatannya. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Afra yang tengah berjongkok itu seketika mendongkak ke atas, senyumnya hilang, terpaku di tempat, dan matanya langsung berair.

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang