Tutup Muka

5.5K 334 20
                                    

Afra menoleh sejenak ke belakang melihat mobil itu dan tiba-tiba dia menangkap seekor kucing berbulu abu-abu keluar lebih dulu dari mobil. Begitu kucing itu melihatnya, tanpa berlama-lama, kucing itu berlari ke arahnya.

Afra terkejut. Itu kucing yang tak asing. "Lucky?" bisik Afra.

Lucky berlari mendekat dan menggosokkan tubuhnya ke kaki Afra membuat Afra berjongkok dan mengelus kepalanya. "Hai Lucky. Lama gak berjumpa." Dia tertawa kecil sambil terus mengelus lembut kepala kucing itu. Melepas rindu.

Tiba-tiba sebuah suara menghentikan kegiatannya. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Afra yang tengah berjongkok itu seketika mendongkak ke atas, senyumnya hilang, terpaku di tempat, dan matanya langsung berair.

Gambaran pria itu tepat seperti dalam mimpinya dulu saat dia sangat merindukannya. Wajahnya terlihat lebih dewasa, gaya rambutnya berubah tak lagi ada kesan remaja, dan penampilannya dengan jas abu-abu kali ini benar-benar tampak ... dewasa. Maksudnya, dulu Afra sering melihatnya menggunakan jas saat menghadiri acara perusahaan, tapi kali ini dia bisa membedakannya, karena dia menemani pria itu dari bocah SMA sampai melihatnya kembali sebagai pria muda. Pria itu terlihat sangat cerah, sangat bersih, sangat bersinar, dan tentu saja ... sangat wangi.

Adam tersenyum tipis menatap kucingnya untuk menghindar dari bertatapan dengan Afra. "Dia masih mengingat kamu dengan baik. Dia sepertinya sangat merindukanmu, Afra," ucapnya pada Afra yang masih terpaku mentapnya sambil berjongkok itu. Suaranya sedikit berbeda. Terdengar lebih berat khas pria muda.

Sontak Afra seperti melihat bayang-bayang aib masa lalunya di depan matanya. Dimulai dari tukang protes, tukang mengeluh, suka membentak Adam, ikut campur masalah Adam, menyebalkan, suka terlambat, kurang bertanggungjawab dengan tugasnya sebagai pengasuh padahal telah digaji tinggi, berhenti dari pekerjaannya karena memilih pacarnya yang selingkuh, eh berakhir mengungkapkan perasaannya pada Adam yang tak berujung kencan.

Belum lagi, dia tengah menggunakan pakaian santai bukan pakaian khas untuk pergi ke kantor di depan calon pimpinan perusahaan. Rok lebar, baju panjang yang longgar, dan jilbab syar'i yang menutupi dada. Warnanya? Abu-abu. Seperti janjian dengan Adam.

"Hah ...." Afra seperti tersadar dari tidur panjangnya. Dia bangkit dari posisi jongkok dan tanpa banyak kata langsung berjalan cepat melewati Adam menuju basement. Hanya kabur dengan mobilnya yang ada di otaknya.

Namun, sebelum itu dia menoleh dengan tingkah yang sudah tak terkontrol lagi.

"Pak? Saya sangat menghargai Anda, tapi tolong sekali, jangan menyapa saya di depan karyawan. Tolong sekali. Saya khawatir terkena gosip. Terima kasih," ucapnya cepat. Dia berbalik tanpa memberikan kesempatan Adam untuk bicara.

Tak menunggu lama, Afra langsung kabur dengan mobilnya. Meninggalkan Adam yang menatap mobilnya yang sudah berlalu di pintu keluar itu dengan heran. "Dia sangat formal." Adam bingung.

Sepanjang perjalanan, Afra merasa pikirannya diibaratkan seperti benang yang kusut. Kacau. Dia susah mendefinisikan perasaannya setelah pertemuannya dengan Adam setelah delapan tahun berlalu. Benar-benar kacau.

"Astaghfirullah ... kenapa gue menatap dia? Kenapa gue gak menjaga pandangan?"

"Apa ini? Apa gue salah tingkah gara-gara dia?"

"Kenapa gue gak pakai baju buat ngantor aja sih? Kenapa gue malah pakai pakaian santai? Kesannya kayak gue gak menghargai dia gak sih?"

"Kenapa gue berani-beraninya ngomong gitu sama calon bos di perusahaan gue?"

"Kenapa gue gak sopan meninggalkan dia? Gimana kalau dia tersinggung?"

"Dia masih ingat perbuatan gue di masa lalu gak, ya? Aduh malu bangeeeeet."

Afra terus saja mengoceh sepanjang perjalanan yang berakhir tertunduk lesu di setir mobilnya saat sampai di rumah. Dia merasa semua perbuatannya salah dan memalukan di depan Adam, apalagi mengingat perbuatannya di masa lalunya. Sangat memalukan sampai dia sendiri malu dengan dirinya sendiri. Merasa tak sanggup lagi bangun dan menatap hari dengan optimis.

Oke, dia tahu hari saat Adam kembali akan tiba. Maksudnya, pria itu pewaris. Pasti akan pulang dari Amerika. Tapi dia tak punya ekspektasi bahwa dia akan bertemu Adam semudah itu. Karena selama ini dia pikir, dia bisa menghindari Adam dengan bersembunyi di antara ribuan orang yang bekerja di perusahaan besar itu. Nyatanya, dia dan Adam bertemu begitu saja.

"Hah ... semoga ini yang terakhir gue bertemu dia."

Permohonannya tak terkabul, karena keesokan hari saat dia masuk kantor, entah bagaimana Adam masuk di lift yang sama dengannya bersama karyawan lainnya. Seharusnya pria itu menggunakan lift yang dikhususkan untuk orang-orang sepertinya.

Semua karyawan perempuan yang berada di dalam lift itu langsung mendapatkan cobaan dahsyat. Ekspresi mereka seperti ingin mengatakan, "OH ASTAGAAA!" Wajah Adam kemarin baru muncul di grup perusahaan, berita di website perusahaan, dan sejenisnya. Tapi saat mereka bertemu langsung, rasanya ingin semaput, mimisan, dan sejenisnya. Sedangkan para karyawan pria justru tegang. Jelas saja tegang. Pria yang tengah berdiri paling depan dengan santai ditemani oleh asisten prianya itu bukan sekadar kepala divisi, manager, dan direktur. Dia calon CEO sekaligus pewaris perusahaan raksasa itu. Sebagai manusia normal yang tak seperti para karyawan perempuan yang gagal fokus dengan fisik pria itu, mereka malah gugup satu lift dengannya. Terasa menakutkan.

Afra bergeser ke sudut lift dan menutupi wajahnya dengan map dokumen yang berada di tangannya. "Semoga dia gak nyapa gue. Semoga dia gak nyapa gue. Semoga dia gak nyapa gue," batin Afra. Waspada ikut digosipkan kalau sampai Adam menyapanya hanya dengan satu kata. Beruntung Adam tak menyapanya sama sekali.

Sontak topik tentang fisik dan betapa harumnya Adam saat di lift karyawan menempati tangga tertinggi dalam pergosipan para karyawan perempuan. Seperti menjadi topik pemersatu para karyawan perempuan yang biasanya tercerai-berai.

Saat istirahat profil Adam mulai dicari dan dibahas serta dikupas tuntas setajam samurai.

"Gue denger Pak Adam lulusan MIT.  Dia juga punya pengalaman kerja di salah satu perusahaan di Amerika."
"Aduh udah ganteng banget, pinter, wangiiiiii, aura tajirnya tumpah ruah. Gak kuat satu lift dan lihat dia dari deket."
"Dia masih muda banget lho. Baru dua puluh lima."
"Dia udah punya cewek belum, ya?"
"Yang pasti sih, cowok tajir macam dia akan menikah sama cewek yang bisa jaga hartanyanya bahkan bisa menguntungkan. Lihat aja saudara-saudara sepupunya. Mereka menikah dengan orang yang selevel bahkan bisa menguntungkan bisnis mereka."

"Afra? Waktu itu lo satu lift kan sama Pak Adam? Gimana kesannya? Cerita dong!" Firda memaksanya saat jam istirahat dengan pertanyaan yang sama yang tak ingin dijawabnya.

"Gue gak terlalu perhatikan beliau. Lagian gue gak tahu kenapa beliau malah pakai lift karyawan."

"Serius lo gak melihat mukanya? Serius lo?" Firda tak percaya dengan jalan pikiran Afra.

Afra mengangguk. "Ya, perintah menjaga pandangan dalam Islam kan bukan cuma buat laki-laki, tapi perempuan juga. Menjaga pandangan dari pria-pria tampan yang bisa aja menimbulkan godaan bagi diri kita sendiri. Lagian ngapain sih kagum sama cowok tampan? Wajar sih kita suka lihat yang indah-indah, hanya aja, ngapain suka sama orang yang hanya bisa dikagumi, tapi gak bisa dimiliki? Sia-sia dong. Nyiksa diri sendiri. Mending jaga pandangan aja biar gak tergoda dan gak tersiksa dari awal."

Firda menganga lantaran terkejut. "Lo masih mikir perintah menjaga pandangan saat lo dalam lift yang sama dengan orang seganteng dan sewangi Pak Adam Aryasatya? Ini kesempatan langka tahu, Afra."

Afra menghela napas jengah. "Mending makan yuk. Jangan bahas Adam. Capek gue denger nama Adam di mana-mana."

Firda heran. "Kok lo manggil Adam doang? Gak pakai 'Pak'?"

"Oh ... maksud gue ... Pak Adam." Afra sedikit salah tingkah.

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang