Makanan

8.9K 471 11
                                    

"Prestasi nyaris tidak ada, penghasilan ala kadar, tidak shalat pula. Dunia biasa saja, akhirat pun minus. Sebenarnya kamu sedang mencari apa di dunia ini?"

"Tck." Afra hanya sanggup berdecak membaca kutipan singkat yang dikirim Wati di grup kelompok itu.

"Cocok buat si Afra nih." Dhea ikut menimpali membuat Afra tak habis pikir.

"Eh, kalau baca nasehat itu, sebelum menunjuk orang lain, tunjuk diri sendiri dulu. Kalaupun diri udah laksanain nasehat itu, jangan merasa aman dulu. Kita semua bisa lakuin kebaikan karena pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan kemampuan pribadi. Jadi jangan sok!" Afra ikut membalas dengan perasaan kesal.

Masih menunggu balasan Wati dan Dhea yang masih mengetik yang sudah dipastikan akan menghakiminya lagi, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk membuatnya berjalan dengan langkah gontai.

Begitu membuka pintu, tampak Adam yang tengah memasang ekspresi datarnya seperti biasa. "Makanannya ada di kamarku. Ambil sendiri!"

Afra menatapnya dengan sinis. "Tck! Apa susah banget mengetuk pintu untuk memberikannya langsung?"

"Aku gak ada waktu berdebat. Intinya ambil di atas mejaku."

Setengah kesal Afra mengekori pria berkaos putih itu menuju kamarnya. Mereka duduk berdampingan di sofa. Afra membuka kotak makanannya sementara Adam sibuk memainkan ponsel di sampingnya.

Begitu melihat hidangan makanan Jepang yang tampak lezat di hadapannya, Afra justru terpaku membuat Adam meliriknya.

"Kenapa? Kamu gak suka? Kamu bahkan gak mengucapkan terima kasih, tapi masih gak bersyukur juga dengan pemberian."

Afra memutar bola mata malas. "Bisa gak sih kamu mengondisikan mulutmu yang asal bicara itu?! Kalau memberi itu jangan mengharapkan terima kasih sampai menyakiti penerima segala dong! Dasar gak ikhlas! Sudah berbuat baiknya jarang, sekalinya berbuat baik tetap aja nyebelin!"

"Siapa kamu menghakimi niat orang lain? Lagian apa susahnya bilang terima kasih?"

"Iya, iya, terima kasih!" Afra terpaksa.

Tiba-tiba ekspresi Afra berubah sendu membuat Adam menaikkan satu alis.

"Kenapa gak dimakan?"

Afra teringat sesuatu yang membuat matanya justru berkaca-kaca. "Selama ini kalau makan enak, aku jarang ingat orang tuaku. Seringnya aku ajak teman-temanku untuk makan di tempat keren, tapi jarang mengingat orang tua apalagi mengajak mereka ke tempat keren dengan makanan yang enak itu. Rasanya sekarang aku berharap mereka bisa makan sesuatu yang sama dengan aku."

Adam terdiam sejenak. Bingung harus menanggapi apa.

"Sebenarnya gajiku kali ini hampir semuanya aku sumbangkan untuk donasi ke Palestina."

Adam terkejut. "Hah? Serius? Gak jadi beli motor atau sesuatu yang kamu inginkan?"

Afra sedikit menunduk. "Aku baca berita bahwa delapan ratus ribu warga Palestina di ambang kematian karena kelaparan dan kehausan. Menurut UNICEF, tiga ratus tiga puluh lima ribu anak di bawah lima tahun di Gaza beresiko terkena kekurangan gizi parah dan terancam wafat karena kelaparan. Bahkan ada bayi yang meninggal karena kelaparan.

"Warga Gaza bahkan membuat roti dari pakan hewan saking minimnya pasokan makanan setelah pengeboman yang dilakukan zionis Israel. Kamu bisa bayangkan manusia memakan pakan hewan ternak dan makanan burung?"

Adam pun sedikit tertunduk dengan wajah sendu. "Itu sangat menyedihkan dan tamparan keras bagi aku yang suka menganggap remeh makanan."

"Kamu tahu, Dam? Orang tuaku petani. Dulu saat aku kecil, daerahku sedang dilanda kekeringan ekstrem yang membuat hasil pertanian kami gagal panen. Gak ada yang bisa dimakan sementara gak ada uang juga karena gak ada hasil panen yang bisa dijual. Sesulit itu. Aku dan keluargaku harus menahan lapar sampai ayahku mendapat pinjaman untuk beli beras. Bahkan ada orang tua yang menjual anak perempuannya demi bisa makan. Itu salah satu fase terberat dalam hidupku. Perut lapar dan gak ada yang bisa dimakan.

"Kemudian aku bandingkan dengan penduduk Gaza yang gak bisa cari pinjaman ke mana pun karena orang-orang di sekitar pun sama. Semuanya adalah korban dari wilayah yang dihancurkan itu. Mereka gak bisa minta tolong kepada sesama untuk perut mereka dan perut anak-anak, adik, orang tua mereka yang lapar. Karena strategi Israel memang melakukan genosida dengan cara membuat mereka wafat akibat kelaparan dan kehausan."

Tiba-tiba sebening air mengalir di pipi Afra dan semakin banyak. "Aku pikir ... aku hebat dengan memilih netral atas peristiwa itu, tapi setelah seratus hari lebih berlalu dan ribuan orang gak bersalah harus wafat, anak-anak yang gak berdosa harus menanggung penderitaan, begitu banyak orang terluka, rumah-rumah mereka dihancurkan, anggota keluarga mereka dibunuh secara keji di depan mata mereka, ditekan dengan genosida melalui kelaparan dan kehausan, aku baru sadar, bahwa sikapku gak keren sama sekali."

Adam tersenyum tipis. "Tapi terima kasih karena kamu rela mengorbankan uang yang kamu anggap berharga untuk menolong orang-orang yang menurutmu lebih berharga dari apa pun."

Afra menghapus air matanya. "Tapi ... jumlah uangku itu mungkin gak ada apa-apanya."

"Kata Ibu Sari, apa yang kamu anggap kecil bisa menjadi besar kalau niatmu baik. Gak ada kebaikan yang terlalu kecil. Itu pasti memberikan kontribusi untuk suatu keadaan yang lebih baik. Tugas kita sekarang adalah tetap konsisten membantu Palestina dan mengajak orang-orang untuk gak melupakan apa yang masih berlangsung di sana."

Afra mengangguk pelan. Tangannya terulur menggenggam erat tangan Adam yang membuat pria itu sukses terpaku di tempat. "Terima kasih, ya, Dam sudah izinin aku istirahat hari ini. Jujur aku capek banget. Maaf gak temenin kamu keluar rumah. Maaf banget."

Keduanya bertatapan dalam-dalam sebelum Adam cepat-cepat mengalihkan pandangan dan berdeham mengatasi suasana canggung. "Ekhem ... biasa aja! Aku bukan baik, aku hanya sedang malas berurusan dengan pemalas nomor 1 seperti kamu. Lagian kenapa aku harus dikawal kamu terus?"

Ekspresi Afra berubah menjadi datar. Rusak sudah suasana penuh haru itu. Dia langsung menarik tangannya, tapi baru sedikit terlepas, seketika Adam kembali menggenggam tangannya. Menautkan jari jemari mereka membuat Afra heran.

"Apa-apaan ini?" Afra menatapnya dengan datar.

"Tanganku dingin. Pinjam tangan sebentar!"

Afra menganga. Tak habis pikir.

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang