Wajah Cemberut

11.5K 604 7
                                    

Adam sudah menantikan Afra sejak tadi sambil berpura-pura membaca buku di ruang tamu.

Begitu Afra pulang, dia tak melihat ekspresi kebahagiaan sedikit pun di wajah gadis itu padahal hari itu adalah hari yang dinantikan. Hari penerimaan gaji untuk semua orang yang bekerja di rumahnya.

Gadis itu berjalan dengan lesu. Wajahnya tampak kelelahan. Dia hanya melirik Adam sebentar dengan tatapan datar sebelum naik tangga dengan langkah gontai.

"Hei?"

Afra berhenti dan menghela napas sebentar sebelum menoleh. "Apa?"

"Apa gajimu kurang? Kualifikasi sepertimu jarang ada yang mau membayar dua digit. Apa kamu gak tahu cara bersyukur?" Nada Adam terdengar menyebalkan seperti biasa membuat Afra bertambah malas berbicara dengannya. Dia memilih meninggalkan Adam yang membuat pria itu kesal.

"Tck. Hei? Apa begini adabmu kepada orang yang berbicara denganmu?"

Afra memilih tak peduli dan tetap berlalu meninggalkan Adam yang dipenuhi tanda tanya di benaknya.

Tak berselang lama, pintu kamar Afra sudah diketuk padahal dia baru saja ingin beristirahat walaupun sejenak.

Begitu membukanya, tampak Adam yang tengah menyilangkan tangan di dada dengan wajah congkak. "Apa aku bilang? Kamu pasti sudah membeli motor dengan semua gajimu yang membuat kamu mengeluh lagi karena kehabisan uang, kan?"

Rasanya Afra kesal sekali dengan majikannya yang selalu sok tahu dan tukang menghakimi itu. Belum membuka mulut, Adam sudah lanjut berbicara.

"Makanya aku kan sudah bilang, keuangan itu--"

"Diam!" potong Afra dengan jengkel. "Aku gak beli motor, ya. Biar kamu tahu agar berhenti sok tahu!"

Adam meliriknya dengan satu alis terangkat. "Terus kenapa kamu gak bahagia?"

Afra memutar bola mata malas. "Sejak kapan manusia kejam dan keterlaluan gak peka pada penderitaan orang lain seperti kamu bisa tahu perasaan orang lain?"

"Wajah kamu cemberut pas pulang. Aku tanya Bu Bunga katanya semua gaji sudah beres hari ini, tapi kamu tetap saja seperti biasanya. Gak ada semangat sedikit pun."

"Gak usah ikut campur urusanku deh!" Afra kesal pada pria di hadapannya itu.

Sejenak Adam tampak berpikir. "Oh ... aku tahu. Kamu pasti beli barang yang lebih mahal dari motor yang membuat kamu kehabisan uang sekaligus berhutang lagi, kan? Pengeluaranmu lebih tinggi dari pendapatan yang membuat kamu pikiran. Gaya hidupmu lebih tinggi dari gajimu yang membuat kamu tertekan."

Afra menghela napas malas sebelum mengangkat tangan dengan isyarat mengusir Adam. "Bukan itu. Pergi sana! Aku mau istirahat."

"Kamu dirampok?" Adam masih tak menyerah membuat Afra mendorong punggungnya agar segera pergi.

"Bukaaaaaan."

"Ya ... beritahu aku, kamu kenapa?"

Afra heran sendiri kenapa Adam mendadak 'menginterogasinya'. "Sejak kapan kamu jadi peduli? Aku cuma tahu, kalau kamu penasaran begini, itu pasti karena kamu mau mengejek aku dengan terlihat sok bijak mengeluarkan nasehat menyebalkanmu. Maaf, ya. Aku lagi gak butuh! Aku mau sendiri!"

Secepat kilat Afra menutup pintu kamarnya lagi dan menuju kasur untuk membaringkan sebentar tubuhnya yang letih.

***

"Mau ke mana, Dam?" tanya Bunga pada anak majikannya yang hendak menuju pintu keluar itu.

Adam berhenti dan menoleh sebentar. "Aku ingin makan di luar."

Makanan di rumahnya sangat banyak, selalu tersedia, dan lebih dari cukup, tapi terkadang dia masih tak berselera.

"Kenapa Afra tidak ikut?"

"Afra sedang istirahat. Biarkan saja dia. Gak usah dibangunkan."

Bunga yang terdiam beberapa saat lantaran terkejut. "Saya kaget kamu memiliki sisi kemanusiaan."

Ekspresi Adam tetap datar. "Lama-lama Anda berperilaku seperti Afra." Dia berlalu meninggalkan Bunga yang heran dengan sikapnya itu.

Afra terkejut saat bangun setelah tidur hampir dua jam. Jelas saja, biasanya dia harus mengikuti suruhan Adam dengan segala permintaan anehnya itu.

Namun, saat mengecek ponselnya, tak ada satu pun panggilan atau pesan dari pria itu yang membuatnya segera keluar mengetuk pintu kamar yang berada tepat di hadapan pintu kamarnya itu.

Dia mengetuk beberapa kali tapi tak ada sahutan. Segera dia menelepon Adam.

"Tumben sekali! Kamu gak ada tugas atau sejenisnya, kan? Jangan coba-coba merepotkanku besok pagi, ya! Aku ada kelas pagi," ucap Afra cepat begitu Adam menjawab panggilan.

"Aku sedang di luar."

Afra panik. "Kenapa kamu gak membangunkan aku?"

"Kenapa aku harus melakukannya?"

Afra mulai kesal. "Apa maksud kamu?!"

"Istirahatlah!" Hanya itu yang diucapkan pria itu membuat Afra melotot lantaran terkejut.

"WHAT?! GAK! INI BUKAN KAMU, YA!"

"Jadi kamu maunya apa? Aku suruh-suruh, katanya aku kejam. Aku biarkan kamu istirahat, kamu kaget. Kamu berharapnya aku bagaimana?"

Afra sampai menjauhkan sebentar ponsel dari telinganya sebelum menatap benda itu dengan setengah tak percaya. Sungguh, dia tak percaya Adam si aneh itu bisa berperilaku layaknya manusia 'normal'. "Ekhem ... oke!"

"Aku memesan makanan paling enak di restoran ini."

"Terus? Kenapa aku harus tahu?" Afra memutar bola mata malas. 

Adam terdiam sejenak. "Aku sekalian ingin memesannya untuk dibawa pulang. Ingin aku berikan kepada kucingku. Apa dia akan suka?"

Afra semakin tak habis pikir. "Tanya saja pada kucingmu!"

"Sepertinya dia sudah makan."

"Jadi kamu maunya aku membujuknya agar makan lagi?"

"Aku sudah terlanjur memesannya. Jadi kamu saja yang makan."

Afra menarik napas mempertebal sabar. "Kamu menyamakan aku dengan kucing?! Aku bukan hewan!"

"Aku juga bukan hewan, tapi aku memakannya."

"Ah, aku capek berdebat dengan kamu! Capek! Sudah, ya!"

"Hei Afra?"

"Apa lagi?!"

"Tunggu aku sekitar lima belas menit lagi. Aku bawakan makanan kesukaanku."

Entah kenapa amarah Afra malah mereda diganti sedikit ... salah tingkah. "A-aku belum tentu suka dengan apa yang kamu sukai! Jangan memaksaku melakukannya!"

"Jangan tidur dulu sebelum aku sampai!"

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang