Berhenti

6.2K 370 12
                                    

"Kami sudah mentransfer gajimu lengkap dengan dana tambahan, membelikan satu unit rumah dan kendaraan yang ada juga bisa kamu bawa. Asisten saya sudah mengurus semuanya, Afra."

Awal bulan yang biasanya membahagiakan ditambah dengan pemberian tak main-main yang kali ini didapatkannya, Afra justru sedih.

Arka yang melihat Afra yang termenung di seberang meja malah heran. "Kamu tidak apa-apa, Afra?"

Afra terkejut sebelum mengangguk lemah. Pandangan matanya terlihat sendu. "Tidak apa-apa, Pak. Pemberian Bapak, apa bisa saya tolak saja? Sepertinya terlalu banyak, Pak." Dia sadar diri. Selama ini pun dia sangat banyak kekurangan saat menjaga Adam dan seringnya mengeluh bahkan tak mengerjakan tugasnya dengan baik, tapi keluarga itu malah memberikannya banyak hal.

"Saya harap kamu tidak menolaknya, Afra. Adam yang meminta saya harus memastikan kamu baik-baik saja. Dia tidak pernah punya saudara kandung, tapi untuk pertama kalinya, dia sangat menyayangi kamu. Kamu juga banyak memberikan dampak yang positif untuk dia. Jadi saya sangat berterima kasih kepadamu."

Hati Afra malah semakin sedih saat  mendengar hal itu. Dia tahu Adam yang meminta agar dia dibelikan kendaraan, membayar biaya liburannya saat di perkemahan, memastikan dia baik-baik saja di luar sana dengan membelikan sebuah rumah lengkap dengan isinya. Dia sejahtera mendadak hanya dengan menjadi asisten Adam selama beberapa bulan.

"Saya banyak kekurangan saat menjalankan tugas saya, Pak."

Arka tersenyum. "Tidak apa-apa, Afra. Kamu sudah melakukan yang bisa kamu lakukan. Jika kamu ada kesulitan nantinya, jangan sungkan untuk menghubungi saya secara langsung atau bisa juga beritahu asisten saya, ya."

Setelah pamit pada Arka, Afra menuju kamar Adam. Setengah ragu dia mengetuk pintu kamar pria itu.

"Siapa?" tanya pria itu dari dalam.

"Ini aku, Afra. Boleh aku masuk?"

"Ya."

Perlahan Afra membuka pintu dan masuk menemui pria yang sedang fokus mengerjakan tugas di meja belajarnya  itu.

"Boleh kita bicara sebentar?"

Adam mengangguk. "Oh ... oke." Dia menggeser sebuah kursi di sampingnya agar Afra duduk di sana sebelum melepas alat tulisnya dan beralih menghadap ke arah Afra. "Jadi kamu ingin berhenti mulai hari ini?" tanyanya. Wajahnya tanpa ekspresi, sehingga sulit ditebak apa yang ada di hati dan pikirannya.

Afra mengangguk lemah dengan sedikit menunduk. Menatap kuku tangannya. "Aku minta maaf untuk semuanya. Aku mungkin sudah membuat kamu kecewa."

"Dengar Afra! Kamu dibayar secara profesional di sini untuk melaksanakan tugasmu. Aku harap alasanmu mundur bukan karena alasan pribadi, sehingga kita gak perlu ada dendam setelah ini. Kamu gak perlu terpengaruh dengan ungkapanku waktu itu. Lupakan saja soal perasaanku. Kalau kamu memang masih ingin bekerja, lakukan saja. Jangan berhenti karena sungkan denganku."

Afra menggeleng pelan. "Aku dan Raditya sudah berpacaran sejak SMA. Aku gak mungkin memutuskan dia. Dia dan keluarganya sudah sangat baik dan berjasa untuk aku dan keluargaku."

Sejenak Adam terdiam menekan perasaan di dadanya kuat-kuat. "Aku bisa mengerti, Afra. Aku juga gak menuntut kamu untuk putus dengan pacarmu. Beberapa waktu ini aku banyak berpikir untuk merubah banyak hal tentang diriku. Jadi sekali lagi, kamu gak perlu sungkan denganku.

"Aku memang anak dari orang yang menggajimu, tapi aku gak punya hak untuk ikut campur dalam hubunganmu atau bahkan memaksamu untuk membalas perasaanku. Itu pilihanmu untuk menentukan. Rasanya sangat gak berhak ketika kita memaksa orang lain untuk mencintai kita juga."  Adam tersenyum getir membuat Afra malah semakin sedih, padahal harusnya dia senang.

"Tapi aku akan tetap berhenti dari pekerjaan ini. Raditya mungkin gak menyukai aku untuk dekat dengan pria lain. Selama ini aku gak pernah beritahu dia, bahwa aku bekerja di sini."

"Aku mengerti, Afra."

Keduanya bertatapan dalam diam.

"Aku minta maaf untuk semuanya, Adam. Untuk selama ini, untuk semua kekuranganku. Aku sering gak mengerjakan tugasku dengan baik. Aku minta maaf. Terima kasih juga untuk semua kebaikanmu selama ini." Kedua mata Afra berkaca-kaca. Adam malah memaksa untuk tersenyum tipis.

"Gak apa-apa. Aku juga minta maaf untuk semuanya, selama ini, dan untuk semua kekuranganku. Terima kasih juga untuk kebaikanmu. Jaga baik-baik dirimu di luar sana.

"Bagaimanapun juga ini pertama kalinya aku jatuh cinta dan pertama kalinya aku merasakan perasaan ditolak, tapi kalau suatu saat kamu dalam keadaan sedih atau sulit dan gak ada seseorang yang bisa membantumu, tolong hubungi aku. Mungkin saja aku bisa membantu."

Air mata Afra terjatuh menatap pria itu. "Boleh aku peluk kamu?"

"Kemari." Adam menarik pundak Afra dan keduanya berpelukan cukup lama. "Aku ... gak begitu tahu seperti apa rasanya pacaran, tapi Afra, kalau ada pria yang belum menikahimu tapi meminta sesuatu yang kamu gak yakin untuk memberikannya, maka jangan pernah berikan hal itu. Karena orang-orang bisa berubah. Meskipun kamu sangat mencintai seseorang, tetaplah berpikir logis untuk setiap konsekuensi dari setiap tindakanmu. Oke?"

Afra teringat pesannya dengan Raditya tentang acara 'tidur' yang kerap diminta oleh pacarnya itu. Dia yakin Adam sudah membacanya. Agak malu, tapi dia mengangguk pelan dalam pelukan pria itu. Entah kenapa dia merasa Adam sangat memahami keraguannya. "Aku akan mengingatnya dengan baik."

Tak lama keduanya melepaskan pelukan dan saling bertatapan dengan senyum di wajah.

"Jadi kita berpisah tanpa dendam?" tanya Afra.

Adam mengangguk. "Tapi aku pikir kita gak akan pernah berpisah. Datang kepadaku kapan saja ketika kamu butuh." Jelas sekali Adam masih berharap mereka bertemu lagi.

Melihat wajah tampan Adam, senyum manisnya, tatapan matanya membuat Afra semakin berat meninggalkannya.

Namun, pada akhirnya dia harus pergi lebih dulu tanpa menoleh lagi.  Tanpa pernah bertanya, apa yang dirasakan oleh Adam.

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang