Gaji Ke-2?

12.4K 580 13
                                    

"Hah ...."

Entah sudah berapa kali Afra menghela napas malas sambil tetap menempel konten-konten mading yang sudah diguntingnya itu ke atas karton. Sedangkan pemilik tugas malah tengah asyik berbaring santai di sofa yang berada di belakangnya sambil membaca bukunya.

"Setidaknya bantu! Ini kan tugasmu! Memangnya boleh mendapatkan nilai bagus dan bebas dari hukuman dengan mengandalkan kerja keras orang lain?!" Afra mulai mengomel karena sudah tak tahan dengan penderitaannya.

Adam malah tampak tenang membuka lembaran berikutnya dari buku yang ada di genggamannya itu. "Itulah gunanya memiliki pembantu."

Afra berhenti dari aktifitasnya dan menoleh dengan wajah kesal ke arah pria itu. "Bagaimana kualitas pelajar Indonesia mau bagus kalau tugasnya saja dikerjakan oleh orang lain? Yang mau pintar itu aku atau kamu sih?! Penipuan ini namanya! Memakai pikiranku tapi diakui sama kamu untuk tugas yang jelas-jelas aturannya dibebankan kepada kamu!"

"Hah ...." Adam menghela napas jengah. "Oh ya ampun, Afra, aku sangat malas kalau kamu mulai mengeluh. Ini akibat dari kamu terlalu lama kencan, padahal bisa lebih awal dikerjakan kalau kamu pulang lebih awal."

Afra semakin kesal. Rasanya dia ingin menjambak rambut pria itu. "Kenapa bahas itu terus sih?!" Dia merasa seakan-akan sudah melakukan sesuatu yang sungguh terlarang sampai harus diungkit hingga generasi masa depan bak legenda.

Adam malas membalas dan memilih kembali fokus membaca bukunya. Tiba-tiba pria itu teringat sesuatu. "Gaji keduamu akan kamu alokasikan untuk apa?"

"Bukan urusanmu!" balas Afra dengan ketus.

"Coba aku tebak, apa beli motor?"

Afra berhenti dari kegiatannya dan menoleh lagi dengan tatapan selidik. "Kenapa kamu bisa tahu?"

Adam meliriknya sebentar sebelum geleng-geleng pelan. "Orang miskin sepertimu sangat mudah ditebak."

Lagi-lagi Afra kesal. Tak ada kebahagiaan dan kegembiraan setiap mendengar ucapan pria itu. "Sombong!"

"Penghasilan hanya untuk memenuhi sikap konsumtif atau bayar cicilan barang yang sebenarnya bukan kebutuhan. Bisa juga berhutang lagi dan lagi. Kemudian menutupi hutang A dengan hutang B. Alokasi anggaran sangat gak terencana, karena gak sabar ingin membeli barang tanpa melakukan pemetaan anggaran. Perilaku kaum yang gak akan kaya. Dia pikir masalahnya adalah gajinya yang kurang besar, padahal masalahnya adalah mentalnya yang miskin dan pengetahuannya tentang uang yang nol besar. Mau gaji sebesar apa pun, tetap saja miskin. Gak akan cukup. Karena masalahnya bukan pada nominal gaji," ucap Adam dengan santai dan tenang, tapi sudah sanggup membuat Afra sangat panas.

"Jadi kamu pikir hanya kamu yang bisa kaya?!"

"Jangan tersinggung, kami mempelajari tentang uang agar uang bekerja untuk kami. Sedangkan banyak orang gak belajar tentang uang. Sekolah juga gak mengajarkan tentang itu.

"Apa kamu pikir mewarisi harta orang tua saja cukup menjadikan seorang anak itu kaya? Gak. Mental kaya dan pengetahuan tentang uang itu yang membuat kekayaan bisa dilipatgandakan. Banyak juga anak orang kaya yang jatuh miskin, karena mentalnya miskin. Gak tahu apa-apa tentang uang.

"Kalau kamu gak percaya yang aku bilang, coba saja lihat orang-orang yang kaya dalam semalam. Entah dia berhasil menjual sesuatu bernilai tinggi atau lainnya. Lihat saja bagaimana dia mempergunakan dan mempertahankan uangnya dalam rentang waktu tertentu. Tambah kaya atau tambah miskin? Ini semua tentang pola pikir."

"Gak percaya!" Afra sudah malas mendengar Adam dengan segala petuah anehnya itu.

Adam hanya menaikkan bahunya dengan santai. "Lihat saja pertengahan bulan depan. Aku yakin, gaji dua puluh lima juta sebulan pun masih membuat kamu mengeluh."

"Jangan berusaha mengurusi hidupku, ya! Udah cukup aku menderita gara-gara ketemu kamu setiap hari. Jangan ditambah dengan mengganggu kesenanganku pas terima gaji. Paham kamu?!"

***

Davina melipat kedua tangan di dada dan memasang tampang congkak begitu melihat Adam berjalan mendekat dengan membawa karton berisi konten madingnya.

Seperti biasa, pria itu tak peduli dengan keberadaannya dan memilih menempelkan karton di mading yang berada di sampingnya.

"Saya yakin ini pekerjaan pembantumu. Tck!" sindir Davina.

"Apa bedanya dengan kamu yang dikerjakan oleh asistenmu? Atau bahkan manajermu?"

Davina melotot. "Jangan menuduh, ya!"

Sejenak Adam mengangkat bahu dengan santai. "Kalau kamu merasa ucapan saya tidak tepat, sanggah saja. Kenapa merasa tertuduh? Aneh!" Dia langsung berlalu begitu saja, meninggalkan Davina yang masih kesal di tempatnya.

Saat jam istirahat, banyak siswa langsung heboh di depan mading melihat dua karton yang ditempel berdampingan, tapi kontennya berseberangan itu.

Satu membahas Palestina dan satunya membahas Israel. Adam dan Davina dihukum karena hal itu, tapi rupanya belum kapok. Sampai konten mading pun menjadi sasaran.

Konten mading Adam bahkan berisi tulisan semacam, "Kenapa Indonesia Harus Membela Palestina?"

Glenn yang membacanya pun hanya sanggup geleng-geleng sebelum menemui Adam yang tengah bermain basket sendirian di lapangan basket.

"Kenapa kamu tidak mengalah saja dan tinggalkan perdebatan ini, Dam? Kamu membuang-buang waktumu. Ini hanya mengganggu fokusmu dalam latihan. Saya yakin sedikit lagi kamu akan dipanggil Kepala Sekolah karena hal ini."

Adam berhenti sebentar dari aktifitasnya. "Kamu tidak peduli, Glenn, tapi saya peduli."

"Mereka sudah konflik bertahun-tahun lamanya bahkan sebelum kita lahir, dan masih terus konflik hingga hari ini. Kenapa kita harus peduli?"

Adam membuang bola di genggamannya dengan kasar dan mendekati Glenn dengan wajah kesal. "Kamu punya keluarga dan orang-orang yang kamu sayangi, bagaimana bisa kamu membiarkan orang-orang tidak bersalah kehilangan keluarganya dengan cara yang sangat tidak adil? Kalau bukan kita yang bersuara untuk mereka, lantas siapa lagi? Mereka sudah sering menangis dan meminta kepada dunia untuk bersikap adil, tapi semua menutup mata. Apa kita juga harus menutup mata dan hati nurani kita?"

"Memangnya kalau kamu bersuara, apa dampaknya untuk mereka?"

"Setidaknya saya bisa mengajak orang lain untuk ikut mendoakan mereka, mengirim bantuan sekecil apa pun itu, memboikot produk-produk yang mendukung penjajah, dan segala hal yang bisa dilakukan untuk tidak membiarkan penjajahan terus dilakukan.

"Konstitusi negara kita jelas, Glenn, dalam pembukaan UUD 1945, kita menolak segala bentuk penjajahan di atas muka bumi.

"Palestina juga telah mendukung kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1944 saat negara kita masih berjuang merebut kemerdekaannya."

Glenn geleng-geleng tanda tak setuju. "Jujur, saya lelah dengan sikapmu! Kamu harus berhenti sebentar dan berpikir, kamu terlalu berusaha idealis dan rumit." Pria itu memilih pergi meninggalkan Adam.

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang