Pulang

6.8K 397 11
                                    

Rangkaian kegiatan perkemahan selesai. Waktu cepat sekali berlalu dan semua yang ikut dalam perkemahan itu sudah di atas bus untuk perjalanan pulang.

Afra tentu saja mengikuti bus yang sama dengan Adam seperti pertama kali datang ke perkemahan, karena Adam telah meminta izin kepada pihak sekolah. Gadis itu duduk di dekat jendela dan di sampingnya tentu saja Adam dengan kegiatan andalannya, yaitu membaca.

"Aku gak bisa membaca kalau di atas mobil atau bus. Khawatir pusing dan mual," ujar Afra karena sedari tadi diam lantaran tak ada teman bicara.

"Aku bisa," sahut Adam.

"Kenapa kamu membaca buku terus?"

Adam menghentikan kegiatan membacanya sebelum menoleh ke arah Afra dengan ekspresi datar. "Karena aku suka. Aku harus tahu banyak hal."

"Kenapa kamu harus tahu banyak hal?"

"Aku harus menangani banyak hal dalam hidupku dan memecahkan banyak masalah di masa depan. Oleh karenanya, bagus untuk mempelajari semuanya."

"Kamu belajar keras karena kamu adalah pewaris?"

"Ya, salah satunya. Hanya saja membaca penting untuk semua orang, bukan hanya penting untuk pewaris saja."

Afra hanya ber'oh' ria sambil mengangguk pelan sebelum tangannya membuka ponsel Adam yang ada di tangannya.

"Apa aku sudah bilang padamu bahwa aku terpesona dengan kamera ponselmu? Ini benar-benar bagus. Ah, harga ponsel memang gak bisa bohong." Dia menyalakan kamera depan dan melihat wajahnya di ponsel Adam. "Ayo kita ambil foto berdua," ajaknya tiba-tiba membuat Adam heran.

"Aku jarang foto."

"Kamera bagus kok jarang foto? Aneh." Leher Adam langsung dirangkul dan ditarik mendekat ke arahnya membuat pria itu ingin sesak napas.

Afra mengambil sebuah foto sebelum geleng-geleng melihat hasilnya. "Ya ampun, ekspresimu gak bisa lebih bahagia, ya? Setiap hari kamu terlihat seperti orang tertekan."

"Tck!" Adam langsung kesal. Hanya Afra yang seenaknya mengomentarinya seperti itu.

"Oke sekali lagi. Senyum."

Adam tetap saja memasang ekspresi datar. Berbeda dengan Afra yang tersenyum super lebar. Senyum bahagia telah terbebas dari jeratan hutang pinjol beserta bunganya yang tak masuk akal.

"Bagusnya ... sekali lagi." Afra adalah orang pertama sekaligus gadis pertama yang mengajaknya foto berdua. Dan, Adam yang malas dengan kegiatan foto itu memilih tak menolak.

Keduanya duduk berdekatan dan tersenyum lebih natural ke arah kamera.

Saat mengecek hasilnya, Afra yang heboh sendiri. "Astaga, benar-benar bagus. Aku cantik di foto ini. Tapi warna kulitku ...." Dia ingin menangis melihatnya. Definisi kopi susu yang tengah disatukan dalam satu kamera. Afra berkulit sawo matang dan Adam yang super cerah. Perbedaannya sangat terlihat jelas. "Kenapa sih kamu terlalu putih?" Dia protes.

Adam melirik hasil foto di ponsel yang ada di genggaman Afra itu sebelum mengangkat bahu. "Gak buruk. Lagipula untuk apa protes dengan ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala? Gak ada kerjaan sekali."

Afra cemberut. "Aku harus lebih putih. Aku gak percaya diri dengan kulit gelapku."

"Cantik, menarik, dan enak dipandang itu gak harus putih."

Afra menggeleng cepat menatap pria itu. "Nyatanya kalau putih baru disebut cantik tahu. Standar masyarakat kita kan begitu. Kalau bisa memilih, aku ingin memiliki kulit yang ceraaaaah."

"Kamu sudah cantik dengan kulitmu. Gak perlu menginginkan apa yang ada pada orang lain. Ketika kamu bisa mencintai dirimu sendiri dan bersyukur untuk apa yang kamu punya serta meningkatkan value dari dirimu, itu akan membuatmu terlihat berkelas."

"Oh ya?"

Adam mengangguk sambil melirik gadis di sampingnya itu. "Ya, aku sering bertemu wanita-wanita hebat di acara perusahaan. Beberapa dari mereka berkulit gelap, tapi terlihat sangat cantik. Aku pikir alasan mereka memiliki daya tarik yang begitu kuat adalah karena mereka tahu cara menjadi cantik tanpa harus memaksa menjadi berkulit terang, dan tentu saja, punya value. Punya kelebihan-kelebihan yang gak bisa diremehkan. Cerdas, bermanfaat, berprestasi, dan lainnya. Itu membuat mereka terlihat sangat berkelas.

"Lagipula untuk apa hanya sekadar cantik sesuai standar masyarakat, tapi gak ada kelebihan apa pun selain itu? Mungkin berhasil dikagumi para pria, tapi pria berkelas hanya mau dengan wanita yang berkelas juga, yang memiliki value. Pria gak mencintai dan menetap hanya karena alasan fisik saja. Ingat itu."

Afra memegang wajahnya dengan kedua tangannya. "Hah ... ucapanmu membuatku memiliki harapan. Meskipun aku belum tahu kelebihanku apa, tapi aku benar-benar ingin menjadi pribadi yang lebih baik dan memiliki kisah cinta yang cukup bagus. Maksudku, apa akan ada pria keren yang menyukai dan gak masalah dengan orang sepertiku?"

Agak lama Adam meliriknya dalam diam sebelum berkata, "Oh ... aku tahu kelebihanmu."

"Oh ya? Apa?" Pandangan Afra tampak penuh harap.

"Kelebihanmu adalah pemalas, tukang protes, tukang marah-marah, suka terlambat--"

"Tck! Berhenti!" potong Afra dengan wajah kesal malah membuat Adam tertawa pelan memperlihatkan gigi ratanya.

"Tapi aku su ...."

"Hah?"

"Suka makan bakso denganmu."

"HAH?" Afra tak mengerti.

Adam terlihat sedikit salah tingkah sambil menyentuh dahinya seolah pusing. "Afra?"

"Iya?"

"Menghadaplah ke jendela!"

"Hah?"

Kedua pundaknya sudah ditarik Adam yang membuatnya menghadap ke arah jendela. Membelakangi Adam.

"Kamu gak begitu buruk. Kalau bersama denganmu, aku bisa menjadi diri sendiri. Apa adanya aku. Bisa tertawa. Merasa ada yang peduli dan menjagaku. Meskipun tentu saja kamu menyebalkan, tapi kamu cukup membantu. Aku bisa berbicara banyak juga secara spontan denganmu. Berbeda ketika bersama orang lain, otakku berputar mencari topik pembicaraan dan itu sangat gak nyaman.

"Aku juga bisa mengetahui beberapa hal yang selama ini gak aku ketahui seperti jenis makanan tertentu atau keadaan masyarakat di luar sana, dan lainnya. Kamu membuatku menyadari beberapa hal dan merubahku dalam beberapa sisi.

"Jadi aku sangat ingin kamu menyadari, bahwa kamu orang yang cukup berharga dengan dampak yang bisa kamu berikan itu. Kamu gak menjadi berharga hanya karena pujian orang lain atau saat ada pria tampan yang menyukaimu. Kamu sudah berharga jauh sebelum itu," ucap Adam.

Afra melihat ekspresi serius Adam dari kaca jendela sebelum tersenyum. Dia menoleh ke arah pria itu. "Jadi kamu sedang memujiku?"

Adam mengangkat bahunya lagi dengan wajah cuek. "Kurang lebih begitu." Dia kembali membuka bukunya menghindari tatapan Afra ke arahnya.

***

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang