"I love you, Adam. I love you."
Sejak tadi Adam terus saja mendengarkan pesan suara yang sama. Entah sudah berapa kali dia memutarnya, yang pasti itu pernyataan cinta yang pertama kalinya sangat menghangatkan hatinya, membuatnya berdebar-debar, salah tingkah, perut terasa melilit, hatinya bahagia dan berbunga-bunga saat menerimanya sampai senyum-senyum sendiri.
Ya, dia harus mengakui, bahwa dia hanya remaja sekaligus pria biasa saat jatuh cinta. Tak ada bedanya.
Namun, tiba-tiba saja dia perang batin antara mau mengikuti nasehat ustadz yang didasarkan pada hukum Islam untuk tidak pacaran, tidak berdua-duaan dengan lawan jenis, tidak bersentuhan dengan lawan jenis, tidak curhat-curhatan dengan lawan jenis, tidak gombal dan menggoda lawan jenis, dan lainnya atau mengikuti perasaannya yang sedang bahagia dan menginginkan kemesraan lebih itu?
"Afra ... kamu membuat hariku lebih berat," batinnya sambil memijit dahinya. Mana dia sedang di tanah suci dan beribadah pula plus belum lama ini ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Eh, gadis yang disukainya malah membalas perasaannya. Sungguh ujian yang sulit, pikirnya.
Alhasil dia duduk di pinggir ranjang sambil terpaku menatap ponselnya. Apa dia akan menelepon Afra? Pikirnya bertanya-tanya. Seperti orang yang jatuh cinta pada umumnya, dia sangat rindu dengan Afra, rindu suaranya, ingin berbicara dengannya tentang apa pun, ingin berada di dekat gadis itu, menghabiskan waktu berdua dan ingin menyentuhnya. Tapi apa arti perjuangannya selama ini untuk mencari jati diri dengan hadir di masjid dan kajian? Dia frustasi.
"Adam? Mau ikut keliling buat beli oleh-oleh? Biar saat di Makkah kita lebih banyak fokus ke ibadah umroh saja." Aziz sudah muncul di pintu ditemani oleh Diman.
Adam sedikit terkejut dengan kehadiran mereka. "Aku minta maaf, aku mau beribadah di Masjid Nabawi bersama Ustadz Ahmad dan Fahri. Aku bisa minta tolong saja?"
Aziz mengangguk. "Boleh, Dam."
Diman tentu menyambut gembira, lantaran selama mereka di tanah suci, Adam jarang meminta bantuannya. "Apa yang perlu dibantu Den? Biar saya bantu."
"Belikan oleh-oleh untuk orang rumah. Bu Bunga dan semuanya."
Aziz malah terpana. Adam yang umroh, tapi dia justru mengutamakan orang-orang yang bekerja di rumahnya. Sejujurnya selama ini, pria itu hampir selalu membelikan oleh-oleh untuk Bunga dan semua pelayan di rumahnya saat bepergian. Tanpa diminta. Jadi Diman tak kaget dengan hal itu.
"Untuk Den mau dibelikan apa?"
"Saya ... Insyaallah nanti saya beli sendiri sepulang dari Masjid Nabawi, Pak." Dia mengeluarkan tas kecil dari kopernya sebelum menyerahkan sejumlah uang kepada Aziz dan Diman. "Belinya pakai itu saja. Sekalian belanjaan Pak Diman dan Aziz juga pakai itu. Gak perlu pakai uang sendiri. Semuanya bayar pakai itu saja. Mau beli apa pun, pakai uang yang saya berikan."
Aziz tak enak hati meskipun dibebaskan untuk belanja sepuasnya untuk diri sendiri dan keluarga. Jelas saja, sejak awal mereka tiba bahkan saat mereka mencoba kuliner di sekitar hotel saja, semua dibayar sukarela oleh Adam tanpa diminta. Mereka tak mengeluarkan uang sama sekali. Pria itu melarang mereka.
"Tapi Dam, kamu kan udah beri uang saku juga ke aku sama Pak Diman. Uangku belum dipakai sama sekali lho, Dam."
"Gak apa-apa, Ziz. Uang sakunya kamu dan Pak Diman disimpan saja. Izinkan aku yang bayar kali ini."
Aziz dan Diman tak ada pilihan selain menurut saja, tapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba langkah mereka terhenti.
"Aziz? Bisa minta tolong lagi?"
"Minta tolong apa Dam?"
Adam menyerahkan ponselnya kepada Aziz.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengasuh Mr. A (TAMAT)
Spiritualité#Karya 16 📚 PART LENGKAP Pekerjaan : Pengasuh Benefit : 1. Gaji dua digit + tunjangan 2. Makanan terjamin 3. Tersedia tempat tinggal full fasilitas "Ini jagain cucunya presiden, ya?" tanya Afra. Pekerjaan pengasuh dengan gaji fantastis itu sangat...