Beda Pergaulan

5K 266 60
                                    

"Tanganmu bisa terluka tahu. Duduklah. Itu hanya barang yang bisa diganti, tapi kamu gak apa-apa, kan?"

"Itu hanya barang. Barang kalau rusak bisa diganti bahkan dibeli yang baru, tapi manusia tidak. Manusia lebih penting dari barang."

Afra termenung mengingat kembali perlakuan Adam di bakso langganannya saat kejadian dia menjatuhkan gelas. Dia beralih menatap pergelangan tangannya yang sempat digenggam Adam, mengingat tatapan dingin pria itu, dan sikap pria itu yang selalu menyebalkan. Tapi entah kenapa membuatnya galau sendiri.

"Dia terlihat jahat dan dingin, tapi tahu cara memperlakukan gue. Hah ...." Afra menenggelamkan kepala di lipatan tangannya lantaran semakin terserang galau. Bagaimana bisa saat ini dia justru sangat merindukan bocah SMA seperti Adam saat dia tengah menjalani hubungan serius dengan seorang tentara yang ingin menikahinya setelah wisuda?

"Afra?"

Afra terkejut dan mendongkak melihat Dhea sudah berdiri di hadapannya. Entah apa yang dia lewatkan, tapi dia merasa Dhea cepat sekali berubah. Lihat saja penampilannya. Hijab panjang menutupi dada, tidak lagi memakai celana dan menggantinya dengan rok longgar lengkap dengan baju berlengan panjang yang longgar menutupi bagian belakangnya. Tidak hanya Dhea, Wati pun sama. Afra merasa kedua temannya itu berpenampilan seperti ibu-ibu pengajian.

Belum lagi bahasa yang mereka gunakan. Ada "Astaghfirullah" "Masyaallah" "Insyaallah" dan sejenisnya yang sebelumnya tak umum mereka ucapkan. Bagi Afra, dua temannya itu sangat berlebihan dan mendadak dia yang merasa tak cocok. Kedua temannya ini masih seperti diri mereka sebelumnya, hanya saja dalam versi yang berbeda.

"Shalat dzuhur yuk di masjid."

"Hah ...." Afra menghela napas jengah. Dia semakin muak dengan Dhea dan Wati yang setiap hari tak lelah mengajaknya untuk shalat dan mengirim jadwal kajian rutin kepadanya melalui pesan. "Gue lagi males. Lo berdua duluan aja."

"Tapi shalat itu wajib dan penting, Afra. Gimana kita mau merubah hidup kita menjadi lebih baik kalau shalat aja kita tinggalin?"

Afra memutar bola mata malas. "Yang khawatir itu harusnya lo sama Wati. Umur segini gue udah tinggal di rumah sendiri, ya. Isinya lengkap. Punya kendaraan lagi. Lah, lo sama Wati gimana? Masih aja tuh tinggal di kosan sempit walaupun sering shalat."

Dhea geleng-geleng. "Diberi itu belum tentu tanda cinta. Seharusnya lo mesti introspeksi, justru semakin lo diberi, lo harusnya lebih bersyukur melalui tindakan dengan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang udah ngasih ini semua ke lo bahkan tanpa lo harus usaha. Ingat, Pak Arka itu hanya perantara rezeki Allah Subhanahu wa Ta'ala buat lo. Jadi lo harus ingat sama yang sesungguhnya memberi rezeki buat lo.

"Jangan sampai lo diberi terus, tapi gak mau sadar-sadar. Akhirnya nikmat itu jadi buat lo semakin menjauh dari-Nya. Bisa jadi nikmat itu dicabut atau lo juga mesti ingat, mati mah gak ada yang tahu lho. Jangan sampai mati dalam keadaan lalai."

Afra malah kesal sambil menatap Dhea dengan tajam. "Kenapa sih ngomong tentang kematian?! Memangnya lo tuh siapa sih?! Surga lo udah terjamin gitu sampai menasehati gue macam gue orang paling tersesat di dunia?! Sok alim banget! Gue tuh udah kenal lo ya dari lo ke mana-mana pakai celaja jins ketat dan masih gila waktu lihat cogan. Dan, sekarang lo sok menasehati gue tentang agama dengan modal belajar beberapa bulan doang? Sok!"

"Dhea? Ayo shalat." Wati yang baru tiba itu langsung merangkul Dhea untuk pergi keluar dari kelas dan menuju masjid sekaligus berusaha meminimalisasi ketegangan antara Dhea dan Afra untuk sementara.

"Heran deh gue sama Afra. Dia diajak shalat malah gak mau. Ngomongnya juga kayak gitu lagi." Dhea ikut kesal.

Wati menghela napas pelan. "Mungkin kita juga harus instrospeksi sih, Dhea. Afra belum siap gitu nerima perubahan kita yang sekarang. Jadi kita harus lebih baik  lagi akhlaknya sama dia. Kemudian nasehat juga tuh kayak kado, kalau kita ngasih dengan bungkus yang jelek, ya, bisa aja ditolak sama orang yang menerima meskipun isinya bagus. Jadi menurut gue, kita berdua harus lebih lembut dan santun lagi dalam mengingatkan Afra atau mengingatkan siapa pun.

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang