74. Sebuah Kerapuhan

58 1 0
                                    

Haris berdecak kesal, saat tidak menemukan keberadaan Yoga. Pria itu tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Sial! Cepat sekali hilangnya. Baru juga Bapak satu anak itu tertangkap di matanya saat keluar dari lift. Dan Haris kehilangan jejaknya ketika menuruni anak tangga terakhir lantai satu.

Kembali matanya celingukan menatap sekitar lobby kantor. Menyerah, akhirnya dia bertanya kepada Mbak-Mbak resepsionis yang tengah berjaga.

"Risa! Henny!" panggil Haris, menghampiri kedua perempuan itu. "Lihat Yoga nggak?"

Henny mengerutkan kening, "Pak Yoga? Nggak tuh."

Haris berdecak, lalu beralih menatap Risa. "Kalau kamu, Ris?"

Risa menggeleng, "Nggak juga, Pak. Coba cari di luar aja, kayaknya tadi dia lewat sini deh. Tapi nggak tahu juga sih. Soalnya saya sama Henny lagi sibuk nerima tamu."

Haris mengangguki, lalu dia melangkah keluar kantor dengan muka tertekuk.

"Pssstt, Pak Yoga." bisik Henny, sambil menatap kolong meja. "Udah pergi tuh. Bapak pergi sekarang deh! Ganggu orang kerja aja."

Yoga meringis, setelahnya dia bangkit dan keluar dari sana. "Iya, iya. Makasih ya, Risa dan Henny. Udah bantuin saya tadi, ehehe."

"Lagian kalian ngapain sih, Pak? Kayak anak kecil aja deh. Dasar, nggak inget umur. Padahal udah ngehasilin bocah sendiri di rumah." Henny mendengus bete, sementara Risa sudah cekikikan disebelahnya.

Yoga tersenyum jahil, "Bilang aja sih, kamu sirik sama saya kan? Makanya cari laki sana, betah amat ngejomblo kamu."

"Dih, malah ngatain orang." ketus Henny, hampir menimpuk Yoga dengan pulpen digenggamannya.

"Ampun, Hen. Astaga, galak bener jadi cewek. Kalem dikit kenapa sih? Nggak laku tahu rasa kamu."

Dan kali ini Henny benar-benar melempar pulpennya ke arah Yoga dengan penuh dendam. Melihat hal itu, Yoga langsung menghindar. Setelahnya dia buru-buru kabur menaiki lift menuju lantai dua kembali. Menyisakan Henny dan gerutuan mautnya.

"Nyebelin banget sih. Tahu gitu, nggak gue bantuin tadi! Huh!" dengus Henny.

"Sabar, sabar! Sabar, Hen!" Risa terkikik geli. "Mau gue kenalin sama cowok ganteng nggak, Hen?!"

Henny langsung menoleh dengan pelototan tajam, "Ini lagi satu! Cari mati Lo, Sa! Lo kira gue beneran nggak ada yang mau apa? Enak aja. Gue jomblo karena prinsip tahu, bukan jones. Hih."

"Duh, santuy, Hen. Nggak perlu ngegas. Gue kan cuma nawarin doang. Kalau Lo nggak mau, ya udah. Gue nggak maksa juga kok." ringis Risa.

Henny berdecak malas, "Balik kerja sana. Jangan kebanyakan bacot. Tugas Lo masih banyak tuh. Nggak usah nyusahin gue mulu. Udah cukup kemarin aja, ya! Pak Miko ngomelin gue gara-gara Lo yang nggak becus. Nerima tamu penting aja nggak bisa. Untung orangnya baik mau maafin Lo, kalau nggak habis Lo dipecat Pak Boss."

"Iya, iya. Ampun yang mulia kanjeng senior. Saya janji nggak bakal bikin ulah lagi." pasrah Risa, detik berikutnya dia kembali menyalin nama-nama pengunjung dari daftar tamu. Lalu memindainya satu persatu ke komputer.

Henny hanya menggeleng-geleng. Lelah dengan tingkah ceroboh temannya itu. Untung saja Risa baru mulai bekerja beberapa hari ini. Kalau tidak sudah habis gadis pembuat onar itu, dia tumbuk jadi manusia geprek.

******

Seharian dihabiskan Anna berjalan-jalan mengelilingi mall bersama Wulan. Dan selama hampir empat jam Anna telah melalui hal-hal melelahkan. Selama itu pula dia terus menahan sabar dan beradu argumen dengan Wulan. Hingga diperjalanan pulang pun keduanya masih tetap membahas hal yang sama. Membuat Anna jadi kesal sendiri.

"Sekarang Mama bahagia punya suami yang penyayang dan dua anak yang patuh. Nggak kayak Papa dan Mas kamu yang workaholic itu." sinis Wulan.

"Papa nggak workaholic. Papa hanya berusaha memberikan yang terbaik buat kita." bela Anna.

Wulan membalas lagi, "Papa kamu juga belum bener-bener bisa melupakan almarhum istrinya. Mama nggak pernah dianggap selama ini. Papa kamu cuma butuh Mama buat ngurusin Miko dan ngasih keturunan lagi, kamu."

"Ma." Anna menyipit tak percaya. "Bahkan Mas Miko itu sangat menyayangi Mama. Mama aja yang terlalu buta. Nggak mau melihat ketulusan Mas Miko."

Wulan hanya melirik bete.

Anna mendesah, "Mungkin waktu ngurus Mas Miko saat kecil dulu, Mama belum bener-bener ikhlas karena Mas Miko bukan anak kandung Mama."

Wulan mendengus.

"Mas Miko itu anak istri pertama dan seorang laki-laki. Jadi, udah sepantasnya Mas Miko dapet semuanya. Kepemilikan perusahaan, aset-aset kekayaan, harta, dan semuanya. Memang semuanya pantes didapatkan Mas Miko. Karena Mas Miko itu putra pertama laki-laki, Ma. Sedangkan aku perempuan. Aku nggak bisa mengurus perusahaan dan sebagainya itu."

"Ck, diam kamu!" geram Wulan.

Satu tarikan napas terdengar dari Anna, "Mungkin Mama cuma iri karena hal itu. Mama berpikir Papa hanya menyayangi Mas Miko dan ngasih segalanya ke Mas Miko. Terus Papa nggak menyayangi aku dan Mama. Padahal itu nggak bener, Ma. Bahkan kalau Mama minta ke Mas Miko posisinya di perusahaan, Mas Miko pasti kasih cuma-cuma untuk Mama."

"Ck, udahlah. Mama udah bosen dengan itu semua." sinis Wulan, kembali mengingatkan. "Jangan kamu coba rusak kebahagiaan Mama dan keluarga Mama, ya. Niat Mama cuma ajak kamu supaya kamu ikut seneng. Jangan kamu rusak."

Anna baru akan menjawab tepat ketika mobil milik Wulan menepi ke depan halaman rumahnya. Menghela napas, Anna keluar dengan sepasang tangannya masih panas dingin. Hanya hampa yang tercetak di raut wajahnya. Begitu pula dengan wajah Wulan yang mengeras.

"Terserah Mama mau bilang apa." lirih Anna. "Aku juga nggak minta Mama untuk perduliin aku. Mama nggak perlu takut, aku nggak akan ganggu kehidupan Mama kok. Aku sadar diri, Mama nggak akan pernah bisa ku raih. Jalan hidup kita udah berbeda."

Wulan masih diam dengan aura dingin yang menjalar. Ah, lagi-lagi berakhir seperti ini. Wulan memang tidak pernah berubah. Tetap egois dan mau menang sendiri.

"Kalau Mama nggak ikhlas, lebih baik jangan temuin aku lagi. Untuk rencana dinner bareng keluarga baru Mama itu juga, nggak perlu. Aku nggak mau lagi berurusan dengan kalian." Anna mengirim senyum untuk yang terakhir kalinya. "Terima kasih untuk jalan-jalannya, Ma. Selamat malam."

Setelah itu Anna segera menyingkir dari hadapan Wulan dan lamborghini merahnya. Membawa kakinya memasuki rumah dengan bulir-bulir air bening yang perlahan turun dari kelopak matanya. Tangannya mengepal kuat seiring langkahnya mencapai ambang pintu.

Nyatanya Anna masih belum bisa berdamai dengan Wulan. Ego antara dirinya dengan sang Mama sangatlah besar. Seakan sulit untuk dipersatukan kembali. Terlalu banyak luka dan argumen yang menghadang mereka. Menjadi dinding kokoh tak kasat mata yang mengubur kasih sayang diantara Ibu dan anak perempuannya itu.

Sekali lagi Anna menghela napas, saat meraih knob pintu. Sebelum masuk ke rumah, diliriknya sejenak mobil Wulan yang perlahan bergerak menjauh. Menyisakan keheningan malam yang terasa mencekik.

Ya, Anna sadar tak banyak yang bisa dia bicarakan dengan Mamanya. Hanya hal-hal tidak penting. Karena bagaimana pun selamanya ada dinding pembatas diantara mereka. Sekalipun Anna berusaha menghancurkannya, tidak ada yang bisa kembali. Wulan tetaplah Wulan. Meski terasa dekat, nyatanya sangatlah jauh.

******

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang