~~••~~
Pertemuan untuk membicarakan hari pernikahan pun tiba. Om Gunawan menyempatkan diri untuk hadir sebagai wali dari Bening, begitu juga dengan Tante Rika, mengingat kerabat-kerabat Bening tidak mungkin datang dari tempat jauh, Aceh dan Bali. Toh Gunawan dan Rika sudah menganggap Bening seperti anak sendiri, sudah seperti kembaran Fifah. Pun mereka juga bersyukur karena berteman dengan Bening, Fifah saat ini menjadi anak yang sangat baik. Dari segi pergaulan maupun akademis, keduanya sangat terjaga.
“Kamu jangan khawatir masalah biayaya ya? Om sama Tante siap bantu, jangan sampai jual-jualin yang ada, Bening.”
“Pasti Fifah ya yang cerita sama Om?” ujar Bening. “Tenang kok Om, Bening masih ada tabungan dari uang asuransi Mama dulu. Uang jual rumah dan mobil waktu Mama enggak ada. Jadi Om jangan khawatir. Toh pesta pernikahan Bening juga enggak bakalan semegah itu.”
“Ya kalau kamu mau megah-megah juga enggak apa-apa.”
“Bening tahu kok kalau Om Gunawan banyak uang buat bantu Bening, tapi beneran deh Om, enggak usah. Lagian selama ini Om dan Tante udah banyak banget ngurusin Bening. Bantuin ini dan itu sampai Bening enggak tahu harus berterimakasih pakai apa. Untuk yang kali ini, Bening maunya mengandalkan diri sendiri aja. Bukan menampik pemberian dari Om loh ya ini.”
“Bening, tuh keluarga Garda udah ada di depan.” Fifah masuk ke dapur, mendapati Bening yang masih memberesi makanan sembari berbicara dengan sang Papa.
Dan dengan baik hati, Gunawan menarik pekerjaan Bening. “Kamu ke depan duluan aja, biar ini Om yang urus.”
“Eh tapi ….”
“Udah deh, bener apa yang Papa bilang, lagi pula itu dikit lagi, Papa juga enggak bakalan lama buat beresin di meja.”
“Yaudah.” Tergesa Bening menghampiri Fifah untuk duduk di sofa ruang tamu sementara Mama sudah menyambut mereka di depan. Tak lama Gunawan menyusul, menyimpan baki kue-kue di atas meja sebelum menyambut dan mempersilahkan keluarga Garda untuk masuk.
“Makasih banyak sudah menyambut kami dengan sebegininya.” Kini Gema yang berkata.
“Kami dengan senang hati menyiapkan semua ini untuk kedatangan kalian.” Gunawan membalas lalu kembali mengobrolkan beberapa basa-basi dengan para orang tua dan sesekali mengajak Garda untuk ikut bergabung dalam pembicaraan mereka. Hingga akhirnya obrolan tersebut dengan sendirinya mengalir pada bahasan yang cukup serius tentang pernikahan yang akan dilaksanakan bagi Bening maupun Garda.
Dan sesekali menanyai kedua belah pihak yang akan menikah apa benar mereka menyetujui dengan rencana atau pun usulan para orang tua tentang bagaimana baiknya acara pernikahan ini berlangsung.
Melihat semua orang yang nampak amat sangat excited dan bahagia dengan pernikahan ini, Bening jadi senang sendiri. Mungkin benar, jalan ini adalah jalan terbaik yang pernah ia ambil dalam hidupnya. Banyak orang yang bilang bahwa ia amat sangat beruntung karena bisa menikahi sosok laki-laki seperti Garda dan calon ipar serta mertua yang amat sangat baik dan perhatian.
Bening tak menemukan celah sedikitpun dari rencana pernikahan ini. Langkah-langkah yang mereka ambil benar-benar terlihat sempurna dan seolah ada di jalur yang seharusnya. Segala sesuatu nampak mulus, tak pernah Bening menemui setitik pun kesulitan dalam melalui perjalanan dalam pernikahan ini. Seolah semesta amat sangat mendukung bersatunya ia dan Garda.
Meski begitu, apakah semua kesempurnaan ini akan bertahan lama? Apakah semua kesempurnaan ini tak akan pernah sirna? Dan apakah semua kesempurnaan ini bukan angan belaka?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjajali benak Bening lagi.
Karena ia sadar bahwa, dunia ini tak ideal untuk sebuah perjalanan hidup yang sempurna.
^^^^^^^
Bening menatap cincin yang melingkar pas dan cantik di jari manisnya. Ia sudah benar-benar resmi akan menjadi calon istri dari seorang Garda Rahadi. Pernikahan akan terlaksana tiga bulan ke depan. Tak bisa lebih cepat karena mereka mempunyai banyak sekali hal yang harus diurusi.
“Udah deh, jangan ditatap mulu itu cincin, enggak bakalan hilang kok.”
“Ya emang, tapi kan kayak … tangan aku jadi keliatan lucu banget kalau pakai ini.”
“Ck, kayak enggak pernah pakai cincin aja.” Fifah menggelengkan kepala.
“Bilang aja kamu iri, enggak kuat kan pengen buru-buru dihalalin sama Mas Imam-mu itu?”
Tak ada jawaban dari Fifah, mungkin benar apa yang diucapkan oleh Bening barusan, ia mempunyai rasa iri karena kini wanita itu akan segera menikah. “Tapi kamu yakin setelah menikah nanti, kamu yang mau boyong Garda ke sini?”
“Iya, why not? Mas Garda kan emang nawarin opsi, mau bikin rumah, beli rumah atau gimana? Dia mampu tapi akunya aja yang enggak mau karena sayang banget sama rumah ini, baru aku tempatin. Mas Garda enggak keberatan dan aku seneng juga, jadi ya udah.”
“Terus kamu beneran nolak kalau dia mau beli rumah ini? Bayarin semuanya meski dokumen dan surat masih atas nama kamu?”
“Iya, aku nolak. Ribet gak sih? Dan buat apa juga memangnya?”
Fifah duduk di sisi pembaringan. “Dia tuh cowok, pasti pengen banget dan punya imipian buat seenggaknya nyediain rumah buat istri dan anak-anaknya nanti.”
“Nah, dia bisa beli rumah baru buat aku dan anak-anak di masa depan. You know? Rumah ini mungil banget, cuma punya dua kamar. Kalau anak aku sama Mas Garda lebih dari dua di masa depan, aku akan amat sangat setuju buat jual rumah ini dan pindah ke tempat baru.”
“Kalau kamu udah nikah, kayaknya aku enggak bakalan bisa nginep lagi di rumah ini kecuali pas Mas Garda nanti enggak ada. Dan sebaliknya, kamu juga enggak bakalan bisa sering-sering lagi nginep di rumah Mama sama Papa.”
Dan kalau dipikir lagi, memang benar apa yang dikatakan Fifah barusan. Akan ada banyak sekali hal yang berubah dari pertemanan mereka berdua setelah Bening menikah.
“Ya tapi kan bagaimanapun kita harus terus maju. Akan ada masa di setiap hubungan. Sekarang kamu, nanti aku, kalau kita menikah, masa dari hubungan persahabatan kita juga enggak bakalan bisa selengket sekarang. Karena pasti kita sibuk dan lengketnya sama pasangan masing-masing.”
“Seengaknya aku harap, kita bisa luangin waktu barang satu kali seminggu dan kalau bisa lebih sering dari itu buat ketemu, buat teleponan sama chatingan. Ngomongin hal-hal random tentang apapun itu.” Bening berkata dengan nada yang terdengar sedih. “Lagian selama kamu masih jomblo, aku masih bisa kok nemenin kamu kemana-mana, Mas Garda bukan tipe cowok yang sering ngekang deh kayaknya. Jadi kamu santai aja.”
Dengan mata yang menyipit, dengan senyum geli yang merekah di bibir, Fifah pun menggelengkan kepalanya.
“Kenapa ekspresi kamu kayak gitu coba?”
“Ya apa yang kamu bilang barusan tuh kayak omong kosong, jangankan inget aku, kalau udah nikah nanti kayaknya kamu bakalan merasa kalau dunia ini cuma milik kamu sama Mas Garda aja.”
Katanya, orang jatuh cinta memang suka tidak sadar diri, terlalu dibuai oleh kebahagiaan rasa, membuat mereka lupa akan dunia dan orang-orang di sekeliling. Tapi Bening pikir, ia sudah terlalu dewasa untuk melakukan hal itu sekarang. Lupa dunia karena cinta? Justru itulah omong kosongnya dalam kamus kehidupan Bening. “Enggak mungkinlah.”
~~••~~
Vote + komen kalian bener-bener berarti buat aku, makasiiii
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK!
Любовные романы"Nikah yuk?" Bagaimana jadinya kalau orang yang baru kamu temui sebanyak dua kali tiba-tiba mengajukan ajakan pernikahan? Apakah kamu akan menerimanya? Atau justru kamu menolaknya? "Mas Garda ... gila ya?" Atau justru, jawabanmu sama seperti jawaba...