Nikah, Yuk! 4.5

774 123 157
                                    

~~••~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~••~~

"Hani mau nikah?"

"Ya ... mau tapi kan belum ada jodohnya Kak."

Garda menganggukan kepala.

"Enak kan Kak nikah?"

"Enak enggak enak sih Han. Apapun itu dalam hidup, kita selalu menggenggam dua sisi rasa. Ada positif, ada negatif, ada nyaman, ada enggak nyaman, ada enak, ada enak banget."

Hani terkekeh mendengar penuturan terakhir Garda. "Omong-omong, tumben Kakak enggak buru-buru pulang?"

"Masih mau istirahat aja kok Han." Garda melirik ke arah luar. Hujan tiba-tiba mengguyur tepat lima menit lalu. "Omong-omong kamu pulangnya gimana? Hujan tuh."

"Enggak tahu, agak takut sih Kak sebenarnya." Dan tepat saat itu, pintu klinik terbuka. Hadi masuk dengan rambut dan baju yang nampak lembab.

"Ngapain?" tanya Garda dengan kening mengerut heran.

"Mau ngajak makan, ini Hani kenapa masih ada di sini?"

"Ngerjain tugas Bang. Mumpung ada yang bantuin, biasanya Kak Garda pulang jam lima. Nah ini kebetulan masih ada di sini. Kak Garda kan pinter." Padahal klinik tutup pukul tujuh, tapi Garda selalu keluar lebih awal. Tepatnya setelah dia menikah dengan Bening. Garda sosok yang amat sangat mementingkan istrinya. Karena itu, sering sekali Hani berharap kalau di masa depan sana, ia akan memiliki sosok suami sebaik Garda.

"Lah, Abang-mu ini juga pinter kok Han."

"Enggak nyambung bidangnya dong Bang." Hani memutar bola mata kesal. "Lagian kenapa baju Abang basah begitu? Mobil mana?"

"Enggak bawa, Abang naik ojek. Orang tadi pagi mobil Abang ke bengkel kok."

"Kenapa? Abang kok tumben enggak laporan?"

"Laporan? Nanti gangguuuu."

"Ya selama chat Abang penting enggak ganggu. Kalau spam stiker Spongebob joget baru ganggu." Hani memasukan laptop ke dalam tas. "Kalian mau makan kan? Hani juga."

"Da, lo mau makan apa?"

Garda menggelengkan kepala. Ia tak berselera kali ini. Karena hujan, pikirannya melayang pada sang istri. Apa dia sudah pulang bekerja? Atau sudah sampai rumah? Atau bagaimana? "Kalian aja."

"Ngapa Da?"

"Gue masih kenyang Di. Lagian kayaknya Tante di rumah juga udah masak? Kasian kalau kalian makan di luar. Jangan biarin Tante makan sendiri."

"Iya juga sih Bang, balik yuk? Kasian Mama. Mana hujan, mana sendirian."

"Yaudah deh. Beneran tapi nih Da?"

"Iya, bener." Garda mengangguk. Memperhatikan Hani dan Hadi yang kini tengah sibuk melempar-lempar kunci mobil. Di tengah hujan deras begini, siapa sih yang mau mengendarai mobil?

Dan meski malas, pada akhirnya Hadi mengalah. Keduanya pamit pulang meninggalkan Garda sendiri di klinik. Tak banyak yang ia lakukan saat sepi menyerang, Garda hanya menatap rintik hujan yang turun deras dengan seksama. Kening Garda mengerut kala lampu kendaraan menyorot pintu kaca klinik yang belum ia tutup.  Pasien? Garda buru-buru berdiri. Rautnya berubah panik kala menemui sosok yang turun dari motor gojek tersebut adalah sang istri. Sekujur tubuh Bening basah kuyup. Bahkan nampak menggigil.

"Kamu ngapain sih?" tanya Garda kesal.

"Bening nyari Mas Garda."

Garda mendesah lelah, saat gojek itu pergi, ia membawa Bening masuk ke dalam klinik dan menutup bagian depan kaca dengan gorden besi.

"Enggak kayak gini, Bening."

"Nuansa Mas! Nuansa!"

"Apa itu penting sekarang?" tanya Garda. "Ikut saya."

"Itu penting, biasanya Mas enggak kayak gitu. Biasanya Mas selalu panggil aku Nuansa."

Keduanya naik ke lantai atas. Garda mengambil sebuah handuk yang memang ada di mess klinik lalu memberikannya pada Bening. "Keringin dulu badan kamu terus ganti baju, saya antar pulang."

Dan dengan mudah, Bening melempar handuk serta baju yang Garda sodorkan. "Bening enggak mau pulang. Bening mau di sini sama Mas."

Kedua mata Garda tertutup rapat menahan kekesalan. "Ya sudah, ganti baju dulu."

"Enggak!"

"Saya pulang juga! Saya bilang kan saya yang antar kamu." Garda menatap Bening yang terdiam menatap sendu dan wajahnya tiba-tiba meringis penuh tangis.

"Bening enggak suka Mas dingin begini, Bening minta maaf."

Sebenarnya, Garda tak tega melihat Bening menangis. Hanya saja dalam keadaan dan perasaan yang tidak menentu, Garda tidak bisa melakukan apapun. "Saya tunggu di bawah."

"Mas Garda!"

Mendapati Bening yang memeluk tubuhnya dari Belakang, Garda pun menghentikan langkah. Mematung mendengar suara tangis sang istri yang menyakitkan.

"Bening tahu Bening salah Mas. Bening sadar akan semuanya. Dan janji, Bening ingin memperbaiki diri. Menebus kesalahan."

Garda menelan ludah. "Kamu juga bilang begitu sebelumnya tapi apa?"

"Bening janji Mas. Jangan, jangan urusin permintaan perceraian dari Bening. Enggak mau, Bening tarik semua perkataan malam itu. Bening butuh Mas Garda."

Rahang Garda nampak mengetat, dengan tega, ia melepas lilitan tangan Bening di perut. "Cepat ganti baju, Bening."

Dan lalu, kedua kaki panjang Garda bergerak cepat untuk turun dari mess klinik yang ada di lantai paling atas.

^^^^^^^^^^^

Garda memasuki rumah, di belakang tubuh, Bening mengikuti. Wanita itu sudah memakai baju dan celana bahan kebesaran milik Garda dan menjadikan handuk sebagai kerudung. Hujan masih cukup deras di luar sana. Mungkin akan berlangsung semalaman ini.

Tanpa bicara sepatah katapun, Garda memasuki kamar tamu. Lagi-lagi meninggalkan Bening dengan setumpuk kekecewaan yang merasuk jiwa. Sulit untuk sekedar dihilangkan meski sudah mendengar ungkapan maaf berulang kali dari sang istri.

Malam itu, keduanya kembali tidur di kamar terpisah.

Bening masih sedih. Tapi setidaknya, Garda ada di sini, Garda ada di rumah dan tak membiarkan ia sendiri.

~~••~~

sekali lagi yuuuk? 120 komen, aku langsung updateee

NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang