Nikah, Yuk! 1.7

1.2K 111 1
                                    

~~••~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~••~~

"Gimana rasanya mau nikah?"

Ditanyai demikian oleh Fifah, Bening pun melirik dan terdiam sesaat sebelum menjawab, "Enggak tahu kenapa rasanya ... semua biasa aja."

Dengan alis yang terangkat naik, dengan kebahagiaan yang memudar dari mimiknya, Fifah pun kembali melayangkan kata, "Kok kamu gitu sih?"

Dan Bening juga tidak tahu kenapa, ada apa dengan dirinya. Ini bukanlah perasaan yang seharusnya ia emban. Hari pernikahan semakin dekat, kurang dari empat hari lagi sejak saat ini. Tapi ia semakin tak punya daya untuk menghidupkan perasaan suka cita.

Bening semakin kehilangan alasan mengapa dan kenapa ia harus menikah. Apa ia terlalu cepat mengambil keputusan ini? Apa karena itu ia terlalu didesak oleh pemikiran tak terarahnya? Padahal jika dilihat lebih luas, pernikahan ini tak benar-benar ia butuhkan.

"Kenapa? Kamu enggak suka ya sama Mas Garda? Ada sikap dia yang bikin kamu ilfil atau gak nyaman?"

"Mungkin waktu tiga bulan terlalu lama, terlalu jauh, sehingga banyak hal dan sudut pandang yang berubah. Mas Garda itu sosok yang sempurna, aku udah bilang itu berulang kali ke kamu kan. Dia sebagai laki-laki baik, sopan, bertanggung jawab, look-nya menarik. Tapi ... kok makin lama, aku makin merasa enggak cocok sama dia."

"Enggak cocok dibagian mana?" tanya Fifah.

Bening merenung sesaat, selama mempersiapkan semua hal tentang pernikahan. Bening selalu mendengar kata 'terserah' keluar dari mulut Garda.

Saat memilih gaun, meski tidak ikut, Garda selalu dikabari melalu chat, tapi, jawabanya hanya terserah, yang penting Bening suka.

Saat memilih makanan yang akan ada dan tersedia di pernikahan mereka nanti untuk menyambut tamu, Garda tidak banyak bereaksi. Dan lagi, menyerahkan semuanya pada Bening.

Segala hal, semua hal, Bening yang pada akhirnya harus mengambil keputusan. Untuk pertama kali, kedua kali, Bening masih memaklumi.

Tapi lama-lama, Bening muak. Bening merasa ... Garda juga tidak menginginkan pernikahan ini seperti saat pertama. Dia tak lagi menggebu-gebu.

Fifah mengembuskan napas mendapati kebisuan Bening. Dengan tangannya, ia mengusap punggung sang sahabat. "Kamu gak mau cerita?"

"Aku bingung harus gimana." Bening menatap kedua tangannya. Ia tak ingin menceritakan ini, tapi merasa tak bisa kalau menahan semua sendiri. "Menurut kamu, dari sudut pandang kamu, Mas Garda itu beneran tertarik enggak sama aku?"

Dengan campur aduk, Fifah pun mengangguk.

"Ukuran dan penilaian kamu seperti apa? Kenapa kamu bisa berpendapat Mas Garda itu suka sama aku?"

"Dari interaksi kalian selama ini." Fifah merangkul Bening. "Kamu tahu enggak sih? Kalau sebelum menikah itu akan selalu ada aja ujiannya. Dari segala sisi, termasuk kayak ketidakyakinan kamu saat ini. Mungkin, hanya mungkin, semua yang membuat kamu ragu itu karena, kamu kurang komunikasi aja sama Mas Garda. Pun mengingat kalian kan enggak bisa bebas untuk melakukan itu sekarang. Belum mahram. Kalau sudah menikah, semuanya bisa dibicarakan tahu. Jadi jangan aneh-aneh deh."

"Bisa jadi, kemarin-kemarin aku juga mikirnya begitu. Tapi masalahnya, aku kedistrack." Bening menjauhkan tubuhnya dari Fifah. Lalu duduk lebih benar dan nyaman di kursi mobil. "Gimana kalau sebenarnya ini tuh petunjuk dari Allah? Gimana kalau sebenarnya ini tuh cara Allah buat menyadarkan aku kalau, jalan yang aku ambil itu salah."

"No, kamu jangan mikir kayak gitu. Kamu jangan mikir yang bukan-bukan. Bening, udah sejauh ini. Aku yakin semua yang kamu rasa cuma godaan enggak jelas. Kamu harus bertahan. Selama calon suami kamu enggak kasar, enggak selingkuh, enggak macem-macem sebelum pernikahan kalian. Semua yang kamu rasain sekarang tuh semu."

"Aku bingung." Bening mengambil tasnya dari jok belakang. "Aku gak bisa ngobrol sama kamu lebih lama sekarang."

"Seharusnya semalam kamu keluarin semua uneg-unegnya. Kenapa harus pagi ini, di depan kafe pula."

Bening tersenyum, palsu. "Maaf, aku mau masuk sekarang ya? Assalamualaikum."

"Wa'alaikumssalam."

^^^^^^^^^

Dan Bening menjadi murung selama di kafe. Ini hari terakhir ia kerja sebelum cuti menikah untuk mempersiapkan diri. Tapi ia tak bergairah untuk sekedar mengobrol dengan rekan kerjanya. Cur-col seperti biasa. Membicarakan hal-hal kosong seperti kecoa terbang di-kosan, atau beberapa kesibukan yang terjadi di kafe hari ini.

Dan nampaknya, hal itu disadari oleh Garda. Mengingat ia tak lagi terlalu sibuk di klinik, karena sudah mengurangi jadwal bertemu pasienya, jadi Garda pun datang ke kafe. Untuk sekedar membantu dan sesekali, memang tidak boleh, tapi mencuri kesempatan untuk ada di sekitar Bening.

Sekedar memperhatikan calon istrinya bagaimana? Apa dia sakit? Apa dia kelelahan? Atau hal-hal lain.

"Kamu kenapa?" tanya Garda saat tengah sibuk membuat smoothies. Bening di sisi lain baru saja mampir membawa gelas-gelas dari meja depan dan siap mencucinya.

"Aku?" Bening menunjuk dirinya. Agak bingung dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut. "Aku gak apa kok Mas."

Masih dengan kesibukannya, Garda pun berucap, "Syukur deh kalau gitu."

Dan senyum tipis Bening terlayang. Garda tipe orang yang kurang asyik diajak berbicara. Dia selalu mematikan topik obrolan remeh-temeh yang sebenarnya Bening sukai. Tapi sangat lihai ketika membicarakan bisnis, masalah di klinik dengan pasien-pasiennya dan hal-hal lain. Jadi setiap kali mereka bertemu, tak ada percakapan yang benar-benar asyik dan membuat Bening nyaman. Bahkan, Bening yang biasanya cerewet jadi bingung sendiri, apa ya topik yang harus ia ajukan saat dengan Garda agar lelaki itu dapat berinteraksi dan menyahuti dengan baik?

Tidak ada.

Kepala Bening kosong dan merasa ini terlalu serba salah.

"Mas."

"Ya?" Garda melirik Bening, nampak tangannya terdiam memegang gelas di bawah kucuran air keran.

Bening ingin mengungkapkan segala hal yang ada di benaknya. Karena itu ia melirik Garda namun saat mendongak menemui mata tegas dari lelaki itu, Bening buru-buru menunduk, hatinya gentar, perasaan yakinnya memudar. Hingga apa yang bisa Bening katakan adalah, "Enggak jadi deh Mas."

"Oke."

Dan Bening rasa, ia terlalu meninggikan Garda selama ini. Dibeberapa sisi, Garda mungkin memuncaki kesempurnaan. Bisnis, karir, tampang, gelar, tak ada yang cacat.

Tapi dari segi pertimbangan diri dalam memperlakukan pasangan ... nol besar.

Dan jujur saja, tak sesuai dengan harapan Bening.

Jadi apakah semua ini bisa berubah saat mereka menikah?

Keadaan canggung, pembicaraan irit, sulitnya mengungkap perasaan masing-masing dan hal lain, apakah mereka bisa membalikan keadaan pada hubungan yang akan berjalan dikemudian hari?

Bening ingin jawaban, Bening tak ingin membuang waktu dengan membersamai orang yang tidak seharusnya.

Tapi, Bening tahu kalau hidup bukan Indomie, yang bisa dimasak instan dalam waktu tiga menit dan matang. Untuk menemukan jawaban yang Bening mau, sayang saja, Bening harus menjalani dulu tahapan dalam hubungan ini.

"Bening, jangan melamun."

Sesaat kedua kelopak mata Bening tertutup dan terbuka dengan cepat kala teguran itu melayang.

"Kalau sudah, ada baiknya gelas-gelas di tangan kamu itu dikeringkan langsung, bukan malah diam terus. Pelanggan akan berdatangan sebentar lagi. Anak-anak kuliah yang biasa cari wifi."

NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang