~~••~~
Garda pulang ke rumah larut malam, kala membuka pintu, ia melihat Bening yang masih menunggunya di sofa ruang tengah rumah yang masih benderang.
"Kamu kemana aja sih Mas? Aku teleponin dari tadi tahu enggak? Chat aku juga enggak dibalas sama sekali."
Garda menaikan alis mata. "Penting saya ngasih tahu kamu kemana saya bakalan pergi?"
Dengan gerik mata yang menatap Garda heran, pikiran Bening jadi tidak karuan. "Kamu kenapa Mas?"
"Saya gak kenapa-kenapa." Garda melengos pergi ke arah kamar.
Melihat itu, Bening yang merasa jika pembicaraan mereka belum selesai memutuskan untuk menyusul sang suami bahkan menyegat tangannya. Hingga mau tak mau, Garda pun berhenti melangkah. "Enggak kenapa-kenapa tapi sikap kamu kayak gini."
"Kamu coba pikir." Garda melepaskan lembut cekalan tangan Bening. "Apa yang kamu lakukan hari ini?"
Bening mundur selangkah. Ia bingung. "Apa? Aku enggak ngelakuin apapun."
"Enggak ngelakuin apapun?" Garda tersenyum skeptis. "Kamu ijin hari ini mau ketemu Fifah dan Neneng kan?"
Sesaat Garda mengotak-atik ponsel dan menunjukan sebuah foto kepada sang istri. "Lalu ini apa? Coba kamu pikir, Nuansa."
Melihat sebuah foto dimana ada dirinya dan Rian ada di dalam satu frame dan duduk di meja yang sama siang tadi di salah satu kafe, Bening pun menelan ludah. "Mas, kamu salah paham, ini enggak seperti apa yang kamu pikirin."
"Template banget jawaban kamu." Garda menggelengkan kepala. Menahan amarah yang sejujurnya Garda pikir tadi sempat surut. Namun ternyata tidak. Kemarahan itu masih membakar seluruh logikanya. "Saya udah capek sama semua ini, Bening."
Bening?
Kemana panggilan Nuansa yang selalu Garda ucapkan?
Dan kenapa Bening merasa sudut hatinya amat sangat sakit kala mendengar panggilan tersebut?
Seolah Garda sudah jauh, seolah Garda sudah tak lagi menganggapnya sosok yang spesial.
"Kemarin kamu bilang apa? Mau mengajukan pembatalan pernikahan atau cerai? Iya? Saya penuhi, saya patuh, saya bebaskan agar kamu bisa fokus pada hidup sendiri. Enggak perlu memedulikan apapun. Silahkan kerja sepuas hati, 24 jam sehari enggak masalah. Kamu mau ketemu dan bercengkerama tanpa batasan dengan laki-laki lain, enggak apa-apa. Saya udah terlalu capek untuk mengerti dan memaklumi kamu, Bening."
"Mas maafin aku, tapi aku enggak maksud untuk melakukan semua itu. Aku enggak maksud untuk mengabaikan kamu, enggak sama sekali."
"Iya, itu. Kamu memang enggak maksud Bening. Saya ngerti tapi sejauh ini, saya lelah." Dengan sorot yang penuh luka, Garda menatap Bening. "Bening, kalau kamu mau pisah, saya turuti. Saya enggak mau mengungkung kamu dalam ketidak nyaman sebagai istri. Karena kamu seharusnya tahu, ada tanggung jawab yang harus kamu emban selain menjadi karyawan teladan, yaitu menjadi sosok istri dan perhiasan rumah tangga. Bening, saya sudah melakukan semua hal untuk mempertahankan rumah tangga ini. Saya sudah mencoba untuk menjadi yang kamu mau, apapun itu saya lakukan. Tapi berbalik dari saya, kamu ... malah membuat semua ini semakin hancur."
Bening menggelengkan kepala. Air mulai menggenang di pelupuk mata. "Aku jelasin Mas. Beneran, aku enggak sengaja ketemu sama Mas Rian."
"Sengaja atau enggak, itu urusan kamu. Silahkan, saya enggak akan halang-halangi lagi mulai sekarang, Bening."
"Enggak bisa begitu Mas!" Bening meninggikan sedikit intonasi suaranya. Meski terdengar bergetar. "Kamu udah enggak cinta sama aku ya?"
"Kenapa kamu bawa-bawa perasaan saya?"
"Seharusnya kalau kamu cinta, enggak begini jalannya Mas."
"Saya cinta, Bening. Tapi saya lelah terluka, saya lelah dengan semua kata 'enggak apa-apa, mungkin Bening lagi sibuk' atau 'enggak apa-apa, mungkin dilain waktu' kamu enggak ada di posisi saya, Bening. Kamu enggak akan ngerti gimana kecewanya saya selama ini."
Bening mati kutu, ia tak bisa menjawab ucapan Garda lagi.
"Udah ya? Maaf, saya membuang waktu kamu terlalu lama. Seharusnya sejak awal, saya tunduk atas segala yang kamu mau. Saya kira, saya bisa bertahan. Tapi pertahanan saya ini malah melukai saya dan mengekang kamu. Membatasi gerak kamu. Kita bener-bener enggak menemukan titik kebahagiaan bagi satu sama lain."
"Tapi ini salah paham Mas!"
"Saya enggak tahu harus gimana. Mau salah paham atau enggak, apapun yang terjadi, apapun penjelasan kamu, saya udah kecewa, Bening."
"Maafin aku." Bening memegang sebelah tangan Garda. "Maafin aku."
Namun Garda terdiam, melepas tautan mereka dan melangkah ke kamar tamu. Memutuskan untuk pisah ranjang untuk beberapa waktu ke depan. Mereka berdua butuh waktu untuk menenangkan diri.
Di sisi lain, Bening tak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya berdiri di tempat yang sama dengan tangis yang semakin menderas.
Bening masih berpikir bahwa, apa yang ia lakukan selama ini tidak salah. Garda ... terlalu egois. Cinta? Mana bentuk cinta itu? Bening tak melihatnya hari ini. Karena bagi Bening, seharusnya, cinta memberikan sudut pengertian atas apa yang sudah dilakukan oleh pasangan. Tapi hal tersebut tidak muncul dari sikap sang suami.
Bercerai?
Bening berjongkok dengan wajah yang tenggelam di lipatan tangan. Kalau dari awal Garda menyetujui, mungkin Bening tak akan berpikir panjang untuk memberikan dukungan. Toh itu juga yang ia mau. Tapi ... hubungan mereka sudah sejauh ini. Waktu yang telah mereka habiskan juga tak sedikit. Tawa, kebersamaan hangat, sentuhan dan banyak rencana masa depan yang telah mereka obrolkan, Bening tak ingin melenyapkan semua.
^^^^^^^^^
Keluar kamar dengan mata sembab, Bening menemui Garda sudah siap dengan setelan rapi-nya. Dia tak menanyakan siapa yang harus memasak sarapan di pagi itu. Dia tak menyapa Bening dengan hangat. Memberikan pelukan yang nyaman dan kecupan- kecupan ringan di dahi serta kepala tidak menghias lagi seperti hari-hari yang lalu.
Bening mengembuskan napas. Ia mengikuti langkah Garda ke arah depan. "Mas."
Tapi Garda tidak menoleh, lelaki itu terus melangkah seolah tuli.
"Kamu mau kemana? Kenapa pagi begini?" Bening mengerutkan kening kala menemui koper Garda. "Mas, jawab! Kamu mau kemana?"
"Bukan urusan kamu."
Kata-kata dingin itu langsung menusuk hati Bening. Bagai sebuah anak panah yang berlari pesat dari induknya dan menancap kokoh di dada Bening. Menusuk dalam hingga ke hati.
"Mas, jangan begini."
Tapi Garda terus melangkah dan sibuk memasukan koper ke dalam bagasi.
"Mas, jawab! Aku enggak akan ijinin kamu pergi sebelum aku tahu kamu mau kemana?"
"Seperti kamu yang sibuk bekerja, maka saya pun begitu. Mulai hari ini, saya tidak akan menahan diri. Saya akan bekerja dan menghabiskan waktu saya untuk itu."
"Kerja? Bawa koper?"
"Saya akan menempati mess."
"Kenapa? Ngapain aja? Kapan pulang?"
"Bening, udah ya? Saya gak punya waktu untuk itu."
Bening lagi? Sungguh, untuk pertama kalinya, Bening tak suka saat seseorang memanggilnya begitu.
"Kamu jahat tahu enggak sih Mas?" Air mata kembali meleleh di pipi Bening.
"Enggak ada waktu buat nangis pagi ini Bening. Seharusnya kamu siap-siap lebih cepat, kantor kamu dan Mas Rian sudah sangat amat menantikan kehadiran wanita yang amat sangat mereka suka," sindir Garda sembari membuka pintu mobil dan pergi. Wajahnya penuh dengan kekalutan. Ia tak bisa dan tak ingin melihat Bening menangis. Tapi entahlah, ia juga tak bisa meredam diri dan kemarahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK!
Romance"Nikah yuk?" Bagaimana jadinya kalau orang yang baru kamu temui sebanyak dua kali tiba-tiba mengajukan ajakan pernikahan? Apakah kamu akan menerimanya? Atau justru kamu menolaknya? "Mas Garda ... gila ya?" Atau justru, jawabanmu sama seperti jawaba...