~~••~~
"Gimana?"
Bening mengembuskan napas lalu menganggukan kepala. Dan kala itu, Garda tersenyum sembari mendekat ke arahnya.
"Enggak ada pilihan lainkan?"
"Seharusnya kita ngapa-ngapain sejak awal, jadi sekarang, aku enggak akan malu untuk seenggaknya, minta kamu gantiin baju. Atau ... bantuin aku mandi."
"Saya rasa beberapa waktu terakhir kamu sering nawarin hal itu? Duduk dipangkuan saya? Mandi bareng dan lain hal."
Garda sudah ada di sisi Bening. Hari ketiga di rumah sakit, Bening tak bisa menahan untuk tidak lagi mandi. Tubuhnya gerah, lengket dan tak nyaman. Tadinya, hanya tadinya, Bening ingin meminta suster atau siapapun itu, mungkin Fifah, mungkin Ummi atau Mbak Ayu untuk membantu ia bersih-bersih. Tapi ia terlalu malu, terlalu kaku untuk memohon pertolongan pada mereka. Dan barusan, kala ia memuntahkan keluhan pada Garda tentang keinginannya untuk mandi, sang suami dengan begitu santai menawarkan diri dengan kata, "Biar saya aja yang mandiin kamu, Nuansa."
"Waktu itu, Bening tahu kalau Mas enggak akan mau. Karenanya Bening berani." Tangan besar yang melingkar dipinggang belakangnya terasa amat sangat nyaman. Bening berdiri dan berjalan secara hati-hati ke arah kamar mandi. Bersama Garda, berdua.
"Ya sudah, enggak apa-apa, yang sekarang itung-itung pemanasan," kata Garda. Keduanya sudah ada di dalam kamar mandi saat ini. Berpandangan sesaat dengan perasaan yang sejujurnya sama-sama gugup, mereka pun terkekeh-kekeh. Kaku, Garda mengangkat tangan, meletakan jari-jari di atas kancing teratas baju Bening. "Saya buka ya?"
Bening menganggukan kepala. Membiarkan Garda melakukan yang seharusnya.
Dan kesal sekali, dalam situasi ini, Garda tak bisa menahan diri. Kala melihat permukaan kulit Bening menampakan diri, sedikit demi sedikit, ujung kepala hingga ujung kaki Garda kebas, kemudian gemetar. Ia seolah menjadi beruang Grizzly yang tengah lapar dan Bening di depannya adalah seonggok ikan yang seharusnya, ia makan sejak lama.
"Wajah kamu merah."
"Saya mau kamu," ungkap Garda.
"Sekarang?"
"Sejak kemarin, sejak beberapa hari yang lalu, sejak malam pertama kita. Selama itu Bening."
Bening tak tahu harus bereaksi seperti apa selain bersemu.
"Saya harus menahan seenggaknya sampai tangan kamu nyaman untuk bisa diluruskan."
"Maaf."
Dan kala itu, akhirnya Garda bisa melihat apa yang sebelumnya tak bisa ia lihat. Jangan tanya lagi gejolak keinginan melahap di dalam diri. Kalau tidak ingat sang istri sedang sakit, mungkin Garda akan mengeksekusi Bening detik itu juga.
Tapi untung saja, semua berakhir seperti yang seharusnya. Sampai Bening kembali memakai pakaian yang nyaman, Bening masih tetap menyandang gelar sebagai seorang gadis. Seminggu atau dua minggu kedepan, gelar tersebut akan Garda renggut, sungguhan.
"Kamu lapar enggak?" tanya Bening setelah keduanya terdiam sejak lama. "Kamu belum makan siang kan Mas?"
"Saya mau makan kamu." Kepala Garda terkulai lemah di sisi pundak Bening. "Kenapa kita enggak akur dari sejak lama? Kenapa kita enggak saling jatuh cinta di malam pertama?"
"Karena pertemuan kita terlalu mendadak. Pernikahan kita terburu-buru tapi lambat. Karena kita belum meleburkan diri dalam tujuan dan pemahaman yang sama, dalam pemakluman yang juga besar."
"Nuansa."
"Ya?"
Garda kini menatap Bening, wajah mereka dekat. Ia melirik ke arah pintu ruang rawat. Lalu berdehem. Kelereng hitamnya kembali menatap permukaan wajah cantik sang istri, matanya, hidungnya, bibirnya, segala-galanya yang indah di sana.
"Cium saya." Pipi Garda dielus lembut oleh sebuah tangan mungil yang halus. Nampak senyuman dari bibir Bening menggodanya, dalam sekejap, bibir yang merekah itu mendekat, mengecup wajah Garda.
"Ini rumah sakit Mas, bukan tempat bulan madu."
"Kita mencinta di saat yang kurang tepat ya?"
"Mau bagaimana lagi?"
^^^^^^^^
Matahari muncul tenggelam, muncul tenggelam, secara terus menerus saat Bening harus menghabiskan waktu di rumah sakit seminggu lamanya. Kala kondisi Bening dinyatakan membaik, lukanya sudah mengering, tangannya tak perlu lagi dibebat dan bisa digerakan meski ada larangan yang mengatakan bahwa, ia belum terlalu bisa menggunakan sebelah tangan itu untuk mengangkat hal-hal berat, Bening pun diijinkan untuk kembali ke rumah.
Urusan demi urusan sudah selesai, baik dengan kepolisian, baik dengan seonggok laki-laki bernama Rian, atau pun dengan permasalahan rumah tangga yang menghampiri ia dan Garda.
Semuanya usai dengan memuaskan.
Dan disinilah Bening, dengan banyak orang yang menyambut kedatangannya. Rumah mungil itu ramai, dipenuhi oleh wajah-wajah yang nampak bahagia. Mereka memberikan pelukan, mengucapkan syukur dan membawa setumpuk makanan bagi Bening.
"Kamu beruntung, dalam kecelakaan yang terlihat parah itu, diantara puing mobil yang penyok di sana dan di sini, lukamu ringan, tak ada yang benar-benar perlu dikhawatirkan. Penyembuhan kamu juga cepet banget." Tante Rika memberikan sepiring kecil puding dan duduk di sisi Bening.
"Kepalanya juga cepat sembuh, padahal dia geger otak berat."
"Enggak seberat itu." Sangkal Bening pada ucapan Fifah. "Makanya bisa cepet sembuh. Karena kalau aku luka berat, enggak akan masuk akal seminggu di rumah sakit bisa pulang. Tapi aku beneran bersyukur juga, seperti apa yang kalian bilang, aku kira dengan kecelakaan yang separah itu, aku bakalan bangun di ruang kubur."
"Jangan bicara sembarangan, Nuansa." Garda menyimpan segelas air di depan sang istri.
"Ya kan bisa aja Mas." Bening cemberut.
"Gimana pun sekarang, kamu udah pulang ke rumah, udah mulai sehat, Garda, urus Bening sebaik mungkin ya?"
"Iya, Tante tenang aja. Akan Garda urus dengan baik kok." Garda menyanggupi ucapan Rika.
Hingga kemudian, siang menjelang sore itu, semua orang berkumpul ramai dan pulang satu persatu, menyisakan Bening dan Garda di dalam ruang keluarga. Dengan televisi yang menyala-nyala penuh tawa, entah acara apa sebenarnya yang kini tengah berlangsung.
Garda tak peduli, begitu juga dengan Bening.
Wanita yang kini tengah meringkukan diri berbantal paha sang suami pun menampakan kenyamanan atas helai demi helai rambut yang terus Garda elus. Sesekali, telapak jari Garda mengenai kulit kepala Bening, dan penuh perhitungan menekan dan memijatnya, hingga Bening mendesis nyaman. Masa berdua, di rumah yang sudah mereka rindu, di waktu yang ingin dihentikan. Keduanya tak banyak kata, hanya sentuhan-sentuhan yang menggambarkan. Bahkan tak jarang, Bening sesekali mengecup tangan Garda membuat sang suami bergidik. Hingga saat dia benar-benar terganggu, Garda pun mengungkap, "Kamu kalau enggak mau saya makan sekarang, tolong jaga bibir."
"Aku cuma kecup-kecup tangan kamu."
"Kenapa enggak yang lain aja? Karena enggak di tangan atau enggak di manapun tempatnya, terasa sama, saya terbakar, Nuansa."
Bening mendongakkan kepala, dan kala itu, Garda mengecup. Mengecup. Dan hanya mengecup, hingga bibir mereka terbiasa bertemu.
~~••~~
Langsung update dua part yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK!
Romance"Nikah yuk?" Bagaimana jadinya kalau orang yang baru kamu temui sebanyak dua kali tiba-tiba mengajukan ajakan pernikahan? Apakah kamu akan menerimanya? Atau justru kamu menolaknya? "Mas Garda ... gila ya?" Atau justru, jawabanmu sama seperti jawaba...