~~••~~
"Lo ngapa bawa koper ke klinik?"
Garda menaikan alis lalu berkata dengan tenang, "Gue mau menyibukkan diri di klinik mulai sekarang dan tinggal di mess. Lagian mess atap enggak ada yang nempatin jadi, why not kan?"
"Ya iyaa, masalahnya, sekarang kan lo udah punya istri."
"Ya emang kenapa? Istri gue juga sibuk sama pekerjaannya sendiri."
"Da, masalah lo sama Bening belum beres?"
Garda tak menjawab ucapan Hadi. Lelaki itu lebih memilih untuk tetap menyantap kupat tahu dengan nyaman dan lahap.
Mendapati reaksi tersebut, Hadi pun mendesah. Menyimpan sendok di atas piring. "Gini, gue enggak tahu masalah lo sama Bening apa. Tapi gue ngerasa kalau, lo enggak bijak dalam menyikapi hal ini."
"Gue harus sebijak apalagi? Gue capek, Di. Gue harus selalu ngertiin kesibukan dia. Gue harus selalu nahan diri buat enggak negur dia karena dekat sama atasannya atau apapun itu. Gue enggak apa-apa masak tiap pagi padahal dulu dia marah-marah karena gue selalu masak. Gue enggak apa-apa nunggu berjam-jam di bioskop sementara dia masih sibuk sama kerjaannya. Gue menahan bosan makan malam sendirian. Gue enggak apa-apa di rumah nunggu dia pulang sampai larut malam tapi enggak apa-apa itu harus sampai kapan, Di?"
"Hubungan pernikahan kalian kok ribet banget sih?"
Gedikan bahu Garda terlihat. "Gue juga enggak ngerti kenapa bisa kayak gini. Padahal gue udah melakukan semua hal. Mencarikan solusi, minta Bening buat ngurus kafe aja kalau memang masih mau kerja tapi dia yang enggak mau. Minta dia buat bagi waktu sebaik mungkin tapi sampai sekarang, dia begitu-begitu aja. Wajarkan kalau gue kesel? Wajarkan kalau gue marah? Dan wajarkan kalau gue cemburu sama atasannya yang bisa makan siang, makan malam sama bini gue? Yang bahkan bisa ketemu di luar di hari weekend. Ya meski Bening bilang enggak sengaja. Bening bilang dia jaga batasan. Tapi kecemburuan gue tetep aja enggak terbendung."
"Lo cinta sama dia?"
Tanpa ragu Garda menjawab, "Banget. Sejak tertarik dari awal, semenjak lihat dia, kelakuannya dan lain hal, pikiran gue selalu diisi sama dia. Let's say kalau gue lebay masalah ini. Tapi gimana lagi? Gue enggak bisa mengelak. Sayang aja semenjak menikah, kami enggak pernah menemukan titik temu yang baik bagi keutuhan rumah tangga kami."
Melihat Garda yang kini mengembuskan napas berat seolah dadanya tengah membendung beban yang amat sangat menyesakan, Hadi pun iba. Ditepuknya bahu sang sepupu dengan lembut. "Semoga kedepannya hubungan lo sama Bening makin baik. Ini bukan solusi yang tepat tapi, kalau ada anak mungkin kalian akan saling memperbaiki diri. Mempertahankan rumah tangga dan kayaknya Bening betah di rumah juga."
"Anak?" Garda terkekeh kecil namun pahit mendengar penuturan Hadi.
"Da, jangan bilang kalau lo sama Bening ... enggak pernah macam-macam?" Hadi menyelidik penasaran.
"Right, kami belum pernah macam-macam."
"What? Kok bisa sih? Udah berbulan-bulan dari malam pertama kalian berlalu Da!" Hadi menggelengkan kepala, kehilangan kata. "Tapi kalian tidur sekamar kan?"
"Ya, kami tidur sekamar. Tapi kami memutuskan untuk lebih dekat dulu, menghubungkan emosional kami, perasaan kami dan lain hal. Gue menahan diri selama ini buat enggak minta hak sama Bening."
"Terserah lo berdua deh, ribet banget tahu enggak sih? Enggak masuk di akal pula. Hubungan pernikahan macam apa yang kayak gini sih Da?"
"Iyakah?" jawab Garda pendek sembari menggeserkan piring kosong di depannya lalu membuka botol minum.
"Iya banget!"
"Jangan ngoceh mulu, makan Di, mubazir."
Hadi menuruti ucapan Garda. Tak ada saran yang bisa ia berikan kepada sang sepupu. Hanya Garda dan Bening yang bisa menyelesaikan masalah rumah tangga yang rumit ini.
^^^^^^^
Bening nampak murung di kantor. Wajahnya pucat, ia tetiba menjadi sosok yang tak banyak bicara. Dan tentu hal tersebut disadari oleh teman-teman yang lain.
"Makan siang yuk Mbak?"
Lesu, Bening menggelengkan kepala. "Enggak, makasih."
"Kamu kenapa?"
Melirik Rian yang tiba-tiba ada di sampingnya, Bening tersenyum sopan. "Enggak kok Mas."
"Lah terus? Enggak biasanya banget."
"Enggak apa-apa Mas."
"Enggak mau cerita?" tanya Rian lagi.
Dan Bening mulai tak nyaman, ia terganggu dengan kelakuan sang atasan yang entah kenapa, terasa terlalu ikut campur. "Masalah pribadi."
"Sama suami?"
"Sama diri sendiri Mas. Kalian kalau mau makan silahkan aja." Lalu Bening kembali mengalihkan fokus pada pekerjaan sedang dua orang yang tadi mengintrupsi sudah pergi meninggalkan ia sendiri.
Melirik ponsel, air mata Bening tiba-tiba menetes. Biasanya ia akan menemui pesan dari Garda di siang hari. Menanyakan sudah salat atau belum, menanyakan akan makan siang di mana, dengan apa dan siapa saja? Atau mengirimkan Bening foto-foto random. Dan Bening baru menyadari sesuatu saat melihat room chat mereka berdua. Banyak sekali pesan dari Garda yang tidak Bening balas. Banyak sekali spam chat Garda yang tak Bening perdulikan. Atau tunda-tunda untuk dijawab hingga ia lupa sendiri.
Mata Bening semakin deras mengeluarkan tangis.
Tapi saat bertemu di rumah, Garda tidak marah, tidak membahas apapun, bahkan dia selalu sabar dengan segala hal yang Bening lakukan. Dia selalu menempatkan Bening dalam posisi terbaik dan ternyaman. Dan Bening sadar kalau di waktu-waktu lalu, ia tak menghargai semua itu.
Kini Bening menyesal.
Pantas kalau Garda marah, pantas kalau Garda kesal, pantas kalau Garda memutuskan untuk melepasnya. Bening belum tentu bisa bertahan selama Garda kalau tidak dihargai, kalau selalu diabaikan, kalau selalu ditempatkan di nomor sekian.
Dengan gemetar, siang itu Bening mengetikan pesan untuk Garda.
"Mas, maafin aku, kamu dimana?"
"Mas, nanti kamu pulang kan?"
"Mas, makan siang yang benar ya?"
Pesan itu terkirim, namun tak sama sekali Garda jawab. Padahal Bening menunggunya dengan penuh pengharapan. Hingga Bening pulang. Buru-buru datang ke rumah, berpikir seperti biasa, sang suami tengah menunggui ia di sana sembari berkata tak sabar ingin makan malam bersama. Namun tak ada. Sama sekali tak ada. Jejak tubuh Garda menghilang di sepenjuru hunian. Di sofa yang sering ia tempati, di dapur, di kasur, dan semuanya. Hidup Bening tiba-tiba berubah abu gelap. Sepi melilit tubuh Bening erat.
Meringkuk di tengah-tengah pembaringan. Bening memeluk diri dalam tangis yang tidak memiliki ujung.
Ia merindukan sang suami. Ia juga diberatkan oleh rasa bersalah. Ia harap bisa menemui Garda. Ia harap, Garda akan pulang dan memberikan pelukan yang nyaman atas tubuhnya.
~~••~~
100 komen langsung update lagiiiii yuk bisa yuuuuk
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK!
Romance"Nikah yuk?" Bagaimana jadinya kalau orang yang baru kamu temui sebanyak dua kali tiba-tiba mengajukan ajakan pernikahan? Apakah kamu akan menerimanya? Atau justru kamu menolaknya? "Mas Garda ... gila ya?" Atau justru, jawabanmu sama seperti jawaba...