Nikah, Yuk! 4.2

526 79 0
                                    

~~••~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~••~~

"Lo kenapa Da?" tanya Hadi kala menemui wajah marah dari sepupunya. Ia masih sibuk menyetir saat itu namun sengaja sesekali mencuri pandang pada Garda. "Ada masalah?"

"Gue enggak tahu harus gimana lagi menjalani hubungan ini."

"Hah?" Hadi mengerutkan kening.

"Gue kurang apa selama ini sebagai suami ya Di?" Garda terkekeh perih sembari menyugar rambut. "Gue ngerasa selalu salah. Padahal semua hal, semua udah gue lakuin, usahain biar bisa menjadi laki-laki yang Nuansa mau. Biar bisa menjadi sosok yang Nuansa inginkan dan semua demi rumah tangga kami. Tapi ... begini lagi. Apa sebenarnya Nuansa itu enggak mau mempertahankan pernikahan kami?"

"Da ada apa? Harus gue berhenti dulu?"

"Enggak, gak apa-apa, lanjut aja." Garda menyimpan ponsel tanpa membalas pesan dari Hani. Sungguhan, amarahnya kini tengah membara-bara. Belum masalah kemarin selesai, kini Bening kembali membuat kemarahan lain. Astaghfirullah.

"Kita enggak perlu pergi aja ya Da? Masalah Gedung kan bisa dilihat kapan-kapan."

"Enggak apa-apa Di. Gue pengen pergi sekarang. Lebih baik ada kerjaan dari pada cuma bengong nantinya. Gue mau ngalihin pikiran dan nenangin diri."

Hadi tak ingin membantah lagi dan membuat Garda semakin tidak nyaman. Kala itu, ia hanya mengemudikan mobil dengan tenang. Terus melaju hingga tiba di depan salah satu gedung dua lantai.

"Lihat Da. Tepat di sebelah sana, UI." Hadi menunjuk ke suatu arah. "Disekitaran sini, kantor-kantor Bro. Ada sekolah SMA juga kalau enggak salah. Pokoknya ini tempat strategis banget. Makanya enggak pengen gue sia-siain karena dikasih harga temen."

Garda menganggukan kepala.

"Sebelum ini gue udah survey Da. Dan rata-rata apapun yang dijual di sekitaran pasti rame. Masalah gedung juga kokohlah. Kalau mau bisa renovasi dikit."

"Di!"

Hadi menemui seseorang yang kini keluar dari pintu gedung. Temannya. "Woy, Dipa!"

Kedua lelaki yang nampak akrab itu kemudian bertos ria.

"Oh iya, ini Garda, sepupu yang gue ceritain sama lo."

Dan meski perasaan Garda campur aduk. Dia tetap mencoba profesional, menunjukan pada Dipa bahwa ia tengah baik-baik saja dan seolah tidak memiliki masalah apapun.

^^^^^^^^^

Bening mengerutkan kening kala Garda tak juga membalas pesan. Padahal tadi ia sudah mengabari bahwa, ia sudah menerima bunga yang Garda berikan. Ia sangat suka pada bunga mawar tersebut. Dan pun ini sudah amat sangat sore. Hampir magrib. Kenapa Garda belum pulang juga? Padahal Bening pikir, paling lama, Garda akan pergi sampai pukul tiga.

Karena risau dan penasaran, akhirnya Bening menelepon nomor Garda. Aneh, tak diangkat, apa sang suami sesibuk itu? Apa yang sedang Garda urusi sebenarnya?

Padahal Bening sudah memasak sejak tadi berharap mereka bisa makan bersama.

Terdiam sesaat, Bening pun mengingat Hadi. Katanya tadi, Garda akan pergi dengan Hadi. Meski merasa selalu merepotkan Hadi, tapi Bening tak punya pilihan lain. Ia akhirnya menanyakan posisi Garda melalui chat.

"Kami udah pisah sejak tadi di kafe. Pukul setengah tiga. Terus Garda pergi, enggak Kakak tanyain. Soalnya dia kayak lagi marah dan punya segudang pikiran, Kakak mana berani ganggu dia."

Marah? Punya segudang pikiran?Bening semakin bingung, kenapa Garda marah?

"Makasih banyak kalau gitu ya Kak, maaf banget ngerepotin Kakak."

"Sama-sama, semoga kalian bisa menyelesaikan masalah yang ada."

Kalian? Masalah? Apa ia dan Garda mempunyai masalah? Bening rasa tidak. Mereka berdua baik-baik saja.

Kecuali kalau Bening membuat kesalahan secara tidak sengaja. Mungkin itu masuk akal. Tapi apa? Kenapa Garda tidak sama sekali membicarakan hal tersebut.

^^^^^^^^

Garda menatap ponsel yang kembali berdering. Ada telepon masuk dari Bening untuk yang kesekian kali. Bahkan ada puluhan pesan dari sang istri yang belum bisa Garda jawab karena kini, ia masih asik di rumah sang Ummi.

"Kamu enggak pulang?"

"Enggak," jawab Garda cepat.

"Kenapa? Nuansa di mana?" tanya Baba sembari mendudukan diri di sofa kamar Garda.

"Mana Garda tahu, Ba."

"Kalian lagi berantem?"

Garda terdiam. "Gak juga. Cuma Garda butuh untuk menenangkan diri."

Mendengar jawaban sang anak, Gema pun menganggukan kepala. Mungkin memang ada masalah. "Kamu enggak mau cerita ke Baba? Enggak akan Baba kasih tahu ke Ummi kok dan insyaallah, Baba juga bisa ngasih arahan dan solusi untuk semua yang bergelut di pikiran kamu."

Dengan sorot mata kalut, Garda menatap wajah lembut Gema dengan seksama. Dia adalah sosok ayah yang baik, yang senantiasa membimbing Garda selama hidup puluhan tahun di dunia. Gema selalu ada di belakang Garda, mendorongnya untuk menghadapi segala jenis masa, yang mudah, yang sulit, yang penuh tawa maupun yang menguras air mata. Tapi kini, hal yang harus Garda hadapi menyangkut Bening. Membicarakan masalah ini sama dengan—hanya mungkin—menjelekan Bening di mata sang Baba.

Bagaimana jika ia harus menceritakan kelakuan sang istri yang seringkali bercengkrama dengan lelaki, menemui dan makan berdua di sebuah kafe serta lain hal. Semua itu ... buruk. Dan Garda tak bisa mengungkapkan kepada siapapun.

"Enggak dulu Ba. Doakan saja semoga Garda bisa menghadapi masalah ini seorang diri. Doakan saja semoga Garda bisa menyelesaikan semuanya sebaik mungkin."

Meski agak kecewa, Gema mencoba memahami Garda. Memahami perasaan sang putra. Mungkin ini masalah rumah tangga. Dan dimana, itu sangat personal bahkan untuk diceritakan kepada keluarga sendiri. "Ya sudah kalau gitu. Jangan berlarut-larut ya Nak? Dan kalau bisa cepat diselesaikan, lebih baik di selesaikan. Lalu, Baba bukannya mengusir kamu dari rumah. Kamu mau menginap di sini pun silahkan. Asal ajak istrimu, jangan tinggalkan dia sendiri. Kalau enggak bisa begitu, lebih baik kamu pulang."

"Iya Ba, Garda enggak akan menginap. Garda akan pulang kok. Tapi Garda masih butuh waktu buat membenahi pikiran."

Diusaknya gemas kepala Garda. Seorang anak akan tetap menjadi anak-anak di mata orang tua. Berapapun umur mereka, setinggi apapun tubuh mereka, tetap saja, bagi Gema, Garda hanyalah anak-anak yang masih meraba-raba dunia. "Baba keluar, Baba ngasih kamu waktu untuk berpikir ya Nak? Jangan lupa turun buat makan. Tadi Ummi masak ikan. Enak banget looooh."

Garda terkekeh mendengar nada bicara sang ayah. Pulang ke rumah adalah keputusan yang paling tepat bagi Garda. Karena di sini, ada Baba. Sosok yang paling bisa menghibur dan menghangatkan suasana. Baba adalah orang yang akan dirindukan semua penghuni rumah kala dia pergi jauh ke luar kota.

"Makasih banyak ya Ba? Udah jadi ayah yang baik, udah jadi ayah yang pengertian, udah jadi ayah yang luar biasa. Garda bangga dan bahagia punya Baba yang hebat."

"Baru sadar kamu? Kemana aja selama ini?"

"Dih, dipuji bukannya merendah malah meroket."

"Iya doooong, biar beda sama yang lain. Udah ah, Baba keluar, mau romantis-romantisan sama Ummi." Lalu Gema menunjukan love sign ala Korea sembari berjalan mundur.

Tawa Garda pun pecah saat itu juga.

NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang