~~••~~
Pagi itu, ditengah ruangan yang tidak seberapa, dihias dengan kain-kain putih dan pink muda, tersusun pula bunga-bunga di beberapa sudut, Bening duduk di atas kursi. Di sampingnya, ada Garda yang sedang menjabat tangan adik dari almarhum sang ayah dan tepat di depan Bening, ada seorang penghulu yang sedang cermat mendengarkan sederet kata yang terucap tegas dan yakin dari bibir Garda.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nuansa Bening binti Gumilang Tirtayasa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Kedua tangan Bening bergetar hebat, begitu juga dengan tubuhnya. Ada sesuatu yang membucah, bertumpah ruah di ruangan ini. Mungkin kebahagiaan, mungkin ketenangan atau mungkin rasa cemas.
Dan bucahan rasa cemas itu ... milik Bening. Ia cemas, pernikahan ini akan seperti apa. Ia cemas, bagaimana ia harus mengabdi sebagai seorang istri di masa mendatang. Ia cemas, bahwa langkah yang kini ia ambil adalah hal fatal yang akan memorandakan kehidupannya yang sejak kemarin pun tidak benar-benar rapi.
Kata sah bersahutan di gendang telinga Bening setelahnya doa-doa mulai dilantunkan. Perut Bening terasa mual. Kepalanya sakit sekali kala gema-gema ucapan aamiin terdengar. Entah mungkin karena ia yang tak bisa tidur dengan baik sehingga kepalanya hampir meledak atau mungkin karena hatinya yang masih memegang ketidakyakinan yang tak seharusnya ada.
Meski begitu, Bening masih mencoba menguatkan diri. Dalam kecanggungan, ia langsung menandatangi dokumen pernikahan, mengecup tangan Garda dan berfoto bersama. Dan lama-lama, tubuh Bening hampir runtuh, tak lagi menapaki keseimbangan yang seharusnya.
"Bening, selamat ya?"
Bening tersenyum lemas dan pias pada kata selamat yang diucapkan oleh sahabat dekatnya, Fifah. Kulit wajah yang kini tertutup makeup membuat tak ada seorang pun yang menyadari bahwa Bening dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Sumpah, aku udah bilang berkali-kali sejak tadi kan? Tapi kamu cantik banget hari ini. Selain itu, aku mau ngasih doa juga, semoga pernikahan kalian langgeng, bahagia selalu, semoga hidup kamu dan Mas Garda kedepannya semakin baik ya, Bening?"
Langgeng dan bahagia selalu, Bening juga mengharapkan hal yang sama. Tapi bisakah seperti itu?
"Aku seneng, sampai nangis begini." Fifah mendekap Bening erat dan penuh haru. "Masih percaya enggak percaya sebenarnya, ngerasa semua berlalu begitu cepat. Sumpahan."
Garda memalingkan wajah sesaat setelah sejak tadi memperhatikan bagaimana wanita di sampingnya berinteraksi. Ia memang sudah menilai sejak awal kalau, Fifah dan Bening adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
"Kamu ngomong dong dari tadi. Aku ngerasa ngajak ngobrol tembok loh."
Bening tersenyum lagi, lalu berkata, "Maaf ya?"
"Kamu setidaknya aamiinkan doa-doa aku juga."
"Aku mengaminkan apa yang udah kamu ucap, Fifah." Bening menunduk, pemandangan yang ada di sekeliling matanya semakin aneh. Cahaya bak kunang-kunang terlihat merayap. Wajah Fifah di depannya nampak memburam.
"Kamu kenapa sih? Kok lemes gitu kayaknya?"
Dan benar saja, Bening terhuyung parah setelah mendengar ucapan Fifah.
Hal tersebut membuat Fifah panik setengah mati dan langsung menopang raga Bening. Tak berbeda jauh dengan Garda yang juga nampak sigap dengan raut khawatir.
"Kamu kenapa?" tanya Garda.
Bening ingin menjawab bahwa, ia baik-baik saja. Kebohongan yang tentu tidak akan dipercaya oleh semua orang. Pun karena sehabis itu, Bening benar-benar tak mengingat apa yang terjadi karena ia pingsan.
^^^^^^^^
Garda dengan setia menunggui Bening. Mereka sudah ada di klinik terdekat sejak beberapa saat lalu, keputusan tersebut diambil karena Bening tak kunjung sadar juga sejak dua jam terakhir. Garda tak tahu bagaimana situasi di acara pernikahannya, yang jelas, Garda hanya ingin di sini, menemani sang istri.
Sesaat Garda mengembuskan napas dan mengambil sebotol air yang tersimpan di nakas sebelum kemudian meneguknya. Ketika itu, ia menyadari ada pergerakan dari tubuh Bening. Senang, Garda buru-buru berdiri untuk memastikan.
"Nuansa?"
Panggilan tersebut membuat perlahan mata Bening terbuka, menatap langit-langit di mana sebuah lampu putih menyala meski masih samar.
"Alhamdulillah, kamu sadar." Garda mengucap syukur.
Sedang di sisi lain, Bening masih mencoba memfokuskan diri, mengais ingatan sebelum benar-benar menyadari semua hal.
"Mas?"
"Iya? Kenapa? Kamu perlu apa? Mas udah manggil dokter, sebentar lagi datang kok."
"Aku ... dimana?"
"Kamu lagi ada di klinik, kamu pingsan lama karena kecapekan, kurang cairan, kurang tidur dan asam lambung juga ya?"
Klinik?
Kalau begitu ... bagaimana dengan acara pernikahan mereka?
Bening duduk secepat cahaya di atas brangkar sembari menatap Garda. "Terus gimana sama acara nikahan kita Mas?"
Melihat bagaimana Bening yang nampak panik tidak karuan, Garda pun mencoba menenangkan. "Tenang Nuansa, jangan asal gerak, tangan kamu lagi diinfus. Masalah nikahan, kamu juga enggak perlu mikirin itu, semua hal ada yang handle, keluarga kita di sana kok."
"Ya tapi tetep aja Mas. Masa kita biarin mereka di sana menerima tamu tanpa kehadiran kita. Mas, ada baiknya kita kembali ke gedung sekarang. Mumpung masih ada waktu."
"Nuansa." Garda memegang kedua sisi bahu sang istri, memberikan tatapan yang mendalam. "Tenang, kamu harus istirahat dulu, kamu kecapekan, mereka enggak apa-apa, semuanya mengerti. Jadi kamu jangan panik."
Garda melirik ke arah samping kala suara gorden yang disibak terdengar, seorang dokter yang bertugas langsung memeriksa keadaan Bening dengan seksama sebelum memberikan penjelasan yang sama, bahwa Bening terlalu lelah, kurang tidur, kurang minum dan kurang makan hingga mempengaruhi keadaan asam lambung di tubuh. Bening diharuskan untuk tetap beristirahat hingga saat kantung infus yang tergantung kosong.
"Dan kalau bisa, jangan terlalu membebani diri dengan pikiran. karena pikiran itu awal dari semua penyakit. Contohnya ya lambung ini. Inget makan, inget minum."
"Makasih banyak dok." Garda tersenyum dan menganggukkan kepala, membiarkan dokter di depannya berlalu. Menyisakan ia dan Bening seperti semula.
Bening menunduk dan sesaat, suara isakan terdengar.
Tahu jika sang istri tengah bersedih hati, Garda pun menatap Bening dalam-dalam, berpikir sebelum memberanikan diri memegang tangan Bening yang tidak terinfus.
"Kenapa?" tanya Garda. "Ada yang sakit? Kamu nangisin apa?"
Bening tak mampu menjawab, ia hanya menggelengkan kepala.
"Kalau kamu belum bisa dan belum mau cerita enggak apa-apa, saya ngertiin kamu." Jempol Garda bergerak pelan membelai lembut kulit tangan Bening. "Silahkan kamu menangis kalau itu membuat kamu lega."
Dan Bening semakin menjadi setelah Garda menyuruhnya. Ia merasa sudah menghancurkan banyak hal. Pernikahan yang mereka siapkan susah payah malah ia kacaukan dengan tiba-tiba sakit dan pingsan. Lalu, kehidupan yang tak terarah ini, Bening bingung harus dibawa kemana. Apalagi ia juga sudah bersama Garda. Sah sebagai suami dan istri. Bening sungguh kesal pada dirinya sendiri. Bening sungguh membenci segala hal yang sudah ia lakukan dan putuskan beberapa waktu terakhir. Kalau bisa memutar waktu sedikit saja, Bening akan berlari ke hari pertama ia bekerja di kafe dan bertemu Garda. Saat itu, ia tak akan menunggu lama, ia akan langsung menolak ajakan pernikahan Garda. Bukan memaksakan dengan rasa ragu seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK!
Любовные романы"Nikah yuk?" Bagaimana jadinya kalau orang yang baru kamu temui sebanyak dua kali tiba-tiba mengajukan ajakan pernikahan? Apakah kamu akan menerimanya? Atau justru kamu menolaknya? "Mas Garda ... gila ya?" Atau justru, jawabanmu sama seperti jawaba...