Nikah, Yuk 54

777 112 7
                                    

~~••~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~••~~

"Kamu tuh ya, emang enggak becus jadi suami."

"Baba, jangan marahin Mas Garda. Semua ini enggak semata-mata karena Mas Garda kok Baba. Bening juga sebagai istri belum bener-bener bisa mengabdi dan menjalankan peran dengan baik." Bening membela sang suami yang sejak tadi sudah dimarahi oleh semua orang, Ummi, Baba dan Mbak Ayu. Mereka panas dan terus menceramahi Garda sejak datang menjenguk.

"Ya tapi kan kalau Garda bisa lebih menjaga kamu, semua ini enggak akan terjadi."

"Mas Garda udah mencoba, Bening-nya aja yang enggak nurut Ba."

"Kamu tuh ya, belain Garda mulu, biarin dia dimarahin dulu sama semua orang."

"Tapi Mas Garda enggak salah Mbak."

"Gak apa-apa kok, Nuansa. Ini kan risiko saya. Saya pribadi juga menerima ucapan dari Ummi, Baba dan Mbak." Garda mengusap tangan Bening yang kini tengah ada di dalam genggaman. "Tapi ada baiknya, kalian berhenti dulu ngoceh, kepala Bening masih sering sakit karena benturan kemarin bikin dia terdiagnosis geger otak yang cukup fatal. Belum lagi luka jahitannya juga belum kering. Biar Bening bisa istirahat."

"Kamu harus cepet sembuh ya Nak?" Baba menatap sang menantu.

"Ya sudah kalau gitu, kamu istirahat aja dulu." Ummi menyarankan.

"Iyaa, mumpung dia baru bisa pindah ruangan. Kemarin di kelas dua karena  VVIP kosong, baru bisa nyaman sekarang," ujar Garda.

"Padahal aku enggak apa-apa kok Mas di kelas dua juga."

"Kurang nyaman buat kamu. Udah ya? Tidur dulu, istirahat."

"Ada baiknya Mas Garda juga pulang aja, bersih-bersih dan istirahat," kata Bening dengan suara yang masih lemah diantara mekar keceriaan yang hinggap di wajah. Semua seperti mimpi bagi Bening, kehangatan dan tatapan Garda yang tertuju kepadanya seperti sinar matahari pagi. Tak terlalu menggebu, tak terlalu menyilaukan, namun hangat, nyaman dan enak dipandang. Seolah porsi perasaan yang tersaji di dada Garda sudah diproses dengan bahan yang amat sangat pas.

"Saya enggak mau ninggalin kamu." Sedikit lebih erat namun tetap penuh dengan kelembutan, Garda memegang jari-jemari mungil Bening yang kini ada dalam selimut genggamnya.

"Gak apa-apa Garda, kamu gak lihat kalau di sini ada Ummi-mu, Baba, Mbak Ayu, kami siap jaga Nuansa. Kamu pulang dan urus apa yang bisa diurus dulu. Lalu kembali secepatnya."

Bening mengangguki ucapan itu dengan segera. Lalu kembali beberapa kata meluncur dari bibirnya yang tipis dan layu. "Iya Mas, pulang saja dulu. Bening ada Ummi dan yang lain."

Mencoba membangkitkan logikanya. Garda sadar kalau banyak yang harus ia urus. Sejujurnya begitu. Mulai dari diri, rumah dan tentang kecelakaan sang istri yang sudah pasti ia harus menyambangi kantor polisi. Pun karena sejujurnya kemarin yang mengurus hal tersebut adalah ayahanda Fifah. Tak enak jika ia merepotkan mereka. "Kamu gak apa kalau saya tinggal?"

"Gak apa-apa kok."

"Saya akan membereskan urusan secepatnya dan kembali ke sini."

"Hati-hati Mas."

"Iya, assalamualaikum." Tangan Garda naik sesaat, memberikan tekanan lembut dua kali di pipi Bening yang kemerahannya masih sirna direnggut sakit.

"Wa'alaikumssalam." Melihat kepergian Garda, Bening masih merasa ia ada di alam mimpi yang menyenangkan. Tapi tidak, ini nyata, Bening tahu betul, pasalnya ia sendiri sudah mencubit beberapa kali kulit tangan.

Syukurlah masalah ini berakhir, syukurlah Garda tidak mengajukan talak dan syukurlah keduanya mampu untuk melangkah ditapak-tapak pernikahan yang kedepannya akan lebih baik. Semoga ... semoga saja begitu.

^^^^^^^^^

"Hubungan kamu dengan Garda baik saja kan Nuansa?"

Bening menatap wanita tengah baya yang sedang menyimpan air minum di atas meja. Dia tak memberikan pandang saat bertanya hal tersebut. Malah dia melanjutkan kata yang mungkin sudah menyumpali benak di waktu-waktu lalu.

"Ummi ngerasa kurang nyaman, enggak enak pikiran beberapa waktu terakhir. Ummi juga ngerasa Garda sedikit berubah. Kamu kecelakaan seperti ini, sebetulnya karena apa? Bagaimana? Apa itu menyambung pada suatu masalah yang tak kalian ceritakan pada kami para orang tua?"

Bening tersenyum. Ia menunduk sesaat menatap jarum yang menancam di punggung tangan. "Baik, Ummi tidak perlu khawatir."

Sekarang, baru baik. Kemarin-kemarin, memang kacau. Mereka berdua seperti sepasang manusia yang datang dari planet yang berbeda namun tertarik akan satu sama lain. Akan sulit untuk menyatukan dua kebiasaan, dua pemahaman dan dua sudut pandang. Ada kalanya, mereka ingin berpisah, ada kalanya, mereka tak terpisahkan, ada kalanya mereka selalu sedih dan merenungi apa yang terbaik, dan ada kalanya, mereka berbahagia dan memutuskan untuk bersama, untuk waktu yang lama. Lamaaaa sekali hingga maut memisah. Seperti kini.

"Kami berdua bahagia Ummi, setelah mengarungi berbagai masa suka juga duka, berbagai rasa, berbagai pemikiran beberapa bulan terakhir. Kami sudah saling lebih memahami, mengerti dan bisa saling memuliakan satu sama lain."

"Apakah anak Ummi mampu membahagiakan kamu Nak?"

Tanpa keraguan sedetikpun, Bening menjawab iya. "Dia adalah kebahagiaan Bening, Ummi. Hingga rasanya, kebahagiaan yang sudah Ummi besarkan dengan baik dan sempurna itu tak ingin Bening lepas meski maut menjemput. Ingin Bening bawa kemanapun Bening pergi. Bening jatuh cinta, Ummi. Cinta yang begitu dalam. Seolah kalau diselami, perasaan itu tak memiliki ujung dan batas."

Mendengar jawaban menantunya, Ummi pun tersenyum penuh haru. Ia bahagia anaknya bisa mencintai dan dicintai dengan begitu hebat. "Alhamdulillah."

"Makasih ya, Ummi." Wanita paruh baya itu mendekat, kembali duduk di kursi tanpa sandaran dan Bening memegang tangan keriput Ummi. Tangan yang sudah membesarkan suaminya dengan penuh cinta, penuh kasih sayang. "Makasih untuk segala hal."

"Assalamualaikum."

Bening menatap ke arah pintu yang terbuka, menampilkan Garda memakai kaus cokelat kopi dan celana hitam. Nampak lelah di wajahnya meski senyum tetap mengembang saat mata mereka beradu tatap.

"Wa'alaikumssalam."

"Kalian ngapain? Kok pegangan tangan gitu?" tanya Garda penasaran dengan langkah yang mulai mengikis jarak antara ia dan sang istri.

Bening dan Ummi saling berpandang sesaat sebelum sama-sama mengembangkan senyum.

"Kita hanya sedang berbasa-basi, Garda. Ngobrol ngalor-ngidul. Tentang banyak hal."

"Begitu ya, Ummi." Garda mendekat pada Bening, mengecup kulit pelipis sang istri tanpa malu, tanpa ragu, meski ada Ummi di depan mereka.

Malah Bening yang kini memerah muda sendiri. "Mas ih."

"Gak apa-apa." Melihat bagaimana Garda yang sebelumnya dingin bahkan tak sanggup untuk sekedar memeluk Bening kini nampak natural dengan tingkah jatuh cintanya, sang ibu malah senang bukan main. "Mbak-mu sama Baba udah pulang. Biar mereka urus rumah dan urus anak."

"Iya, enggak apa-apa Mi. Ummi juga pasti capek kan? Mau pulang? Mau Garda antar?"

"Iya, Mas. Antar dulu Ummi pulang, kasian Ummi sejak tadi di sini."

"Enggak perlu, nanti Mas-mu jemput. Sebentar lagi."

"Ya sudah, beruntung kalau gitu, Garda enggak perlu tinggalin Nuansa sendiri lagi."

Saling menatap, senyum keduanya pun berlomba untuk memekar.

~~••~~

Huaaa maaf ya, karena satu dan lain hal, aku jadi lupa updateeee

NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang