Nikah, Yuk! 3.6

936 127 31
                                    

~~••~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~••~~


Bening buru-buru membuka pintu rumah tanpa mengucap salam. Wanita itu malah sibuk sendiri memanggil-manggil nama sang suami meski tidak ada jawaban sama sekali. Kemana Garda? Tadi ia pergi ke bioskop, Garda sudah tidak ada. Memang sih salahnya. Karena ia telat lebih dari dua jam. Lalu Bening baru sadar di tengah-tengah rapat kalau ponselnya mati. Sehingga ia tak bisa menelepon Garda dan memberitahukan laki-laki itu bahwa ia ada rapat dadakan.

"Ya Allah, kemana sih Mas Garda?" Bening menempatkan sebelah tangan di dahi. Lalu mencoba menelepon sang suami. Meski tidak diangkat lagi. "Apa dia marah ya? Apa dia pulang ke rumah Ummi?"

Tentu saja, dalam hati terdalam, Bening gelisah. Ia sudah melakukan kesalahan yang fatal. Mana Garda nampaknya sudah amat sangat menunggu-nunggu waktu menonton mereka.

Sesaat karena lelah, Bening duduk di sofa dan mengembuskan napas. Menatap sekeliling, Bening baru menyadari keadaan rumah yang bersih. Garda dengan telaten mengurus semua hal saat berlibur. Sesekali dia akan mengganti lampu yang rusak di bagian belakang yang luput dari perhatian Bening. Memotong rumput-rumput yang sudah memanjang atau melakukan segala hal yang bisa dilakukan.

Bening jadi merasa bersalah. Setelah semua yang sudah dilakukan Garda, ia mengecewakan sang suami. Padahal Garda hanya ingin menonton berdua.

Di situasi Bening yang tengah penuh dengan penyesalan, ponsel Bening berdering. Ada panggilan dari Fifah. Padahal Bening harap, itu dari Garda. Tapi tentu Bening tetap menggeser tombol hijau di ponsel.

"Wa'alaikumssalam, ada apa?"

"Wiiih sibuk banget kayaknya, seminggu lebih ini kita belum ketemu loooh."

"Emang sibuk tahuuu. Kantor baru aku ngasih setumpuk pekerjaan yang aku sendiri ngerasa enggak manusiawi."

"Cungpret banget ya kehidupan kamu akhir-akhir ini."

Bening meringis, membenarkan ucapan Fifah barusan. "Bahkan waktu buat berduaan sama suamiku aja susah banget."

"Ih, padahal aku mau ngajak kamu makan. Di rumah Mama sama Papa juga udah kangen. Kalau bisa, kamu sama Garda aja ke sini. Kita makan malam sama-sama."

"Masalahnya itu, dari kapan hari Mas Garda ajak aku buat ke bioskop di hari libur ini. Tapi tadi pagi, aku malah nerima telepon buat masuk ke kantor sebentar. Aku mau gak mau berangkat. Eh tapi lama banget. Jadi kayaknya, Mas Garda nunggu berjam-jam di bioskop tanpa aku bisa ngasih kabar kalau aku belum bisa datang karena masih meeting. Hp-ku lowbat tahu."

"Ya ampun, terus gimana sekarang?"

"Aku enggak tahu Mas Garda di mana. Di telepon juga enggak bisa, enggak dia angkat. Apa Mas Garda marah ya?"

"Kamu pikir deh, kamu kalau ada di posisi dia emang enggak bakalan marah?"

"Marah siii. Tapi kan dia cowok."

"Emang cowok enggak berhak marah apa?"

Bening mendesah. "Berhak, berhak banget. Duh, aku harus minta maaf sama dia."

"Memang tuh. Coba deh kamu kasih kejutan romantis, masakin atau apa gitu?"

Boleh juga ide Fifah barusan. "Oke, makasih banyaaaaak. Dan Sabtu nanti aku main deh ke rumah Mama sama Papa."

"Boleh, bisa di atur kapanpun."

"Aaaaa love you. Nanti aku telepon kamu lagi kalau rencana minta maaf ini berhasil."

"Siap, kalau gitu aku tutup, assalamualaikum."

"Wa'alaikumssalam."

^^^^^^^^

Garda baru saja melepas apron dari tubuh dan berniat untuk beristirahat sesaat setelah membantu para pekerja untuk menyiapkan pesanan-pesanan dari para pelanggan. Dari pada tidak mempunyai kegiatan, lebih baik ia berada di sini. Mengurus bisnis. Dan tentang Bening, Garda tidak tahu apakah sang istri sudah pulang ke rumah atau bagaimana yang jelas, ia ingin menghabiskan waktu libur di kafe. Sengaja juga Garda menyimpan ponsel di laci kantor. Ia tak ingin mendapatkan gangguan dari siapapun termasuk Bening.

Katakan kalau ia memang terlalu kenakanak-kanakan yang jelas, wajar kan kalau Garda merasa sedikit marah dan kecewa akan apa yang terjadi hari ini?

"Mas mau jajan keluar, ada yang mau nitip?" tanya Garda pada karyawan kafe. "Gratis kok ini."

"Samain aja deh Mas. Enaknya sih batagor."

Garda terkekeh mendengar ocehan pekerja baru di kafe. Yang kali ini laki-laki, jadi mereka cukup akrab.

"Oke deh, tungguin ya kalian semua."

"Makasih Mas."

"Sama-sama." Garda melangkah keluar dengan sebelah tangan yang menyusup ke dalam saku celana. Segera ia membeli beberapa makanan untuknya, Hadi dan para karyawan sebelum kembali ke kafe dan makan bersama-sama.

Seperti biasa, jam makan siang mereka selalu telat, bisa pukul satu bahkan setengah dua.

"Sumpahan Da, dari tadi hp lo geter-geter terus," ungkap Hadi kala mereka berdua tengah duduk di meja kosong. Kafe tidak terlalu penuh sekarang. "Mungkin Bening ya teleponin lo?"

"Enggak tahu juga gue." Garda lahap makan dan tidak mau terlalu peduli akan ucapan Hadi.

"Yaelah Da."

"Gue lagi kerja dan mau fokus ke kafe dulu Di. Masalah Bening kan bisa ngobrol nanti di rumah. Kalau lewat telepon doang mah enggak bakalan asik."

"Ya oke deh, terserah lo. Omong-omong ada yang nawarin bangunan strategis Da. Siapa tahu kita ada niatan bikin cabang."

"Gue sebenernya agak takut Di buat bikin cabang. Belum kuat gue."

"Ngapa sih?"

"Ya bikin cabang itu enggak semudah yang lo bayangin. Kalau cabangnya collaps, bisa-bisa kafe utama juga collaps. Karena gimana pun, kalau bikin cabang pasti kita harus jor-joran modal lagi. Takutnya enggak nutup."

"Iya juga sih." Hadi mendesah.

"Nah kalau kita buka outlet aja gimana? Kalau lo mau, kita bisa beli dulu bangunanya. Jangan langsung buka kafe. Tapi ya outlet kecil-kecilan dulu. Biar orang-orang tahu dulu. Nanti semisal banyak yang suka sama minuman kita, baru perbesar dan jadiin kafe."

"Emang boleh Da?"

"Ya boleh Di, lagian kan ini usaha kita berdua yang rintis. Kenapa lo selalu sungkan gitu kalau masalah bisnis sama gue?"

"Karena lo yang gedein kafe ini Da. Dan lo yang lebih banyak ngurus ini sama itu. Gue mah ngerasa jadi asisten aja."

"Halah." Garda mengambil tisu dan menyeka bibir yang terasa berminyak. "Enggak banget lo Di."

"Ya sorry." Hadi meringis. "Entar deh gue tanyain dulu ya sama temen. Terus kabarin lo lagi kalau udah lihat gimana bangunan dan harganya."

"Oke gue tunggu."

Hadi tersenyum dengan tangan yang sigap mengambil ponsel. Ada sebuah pesan masuk. Dari Bening.

"Kak Hadi maaf banget, aku mau ngerepotin Kakak. Kalau Mas Garda ada sama Kak Hadi, minta dia pulang agak cepet ya? Aku nunggu Mas Garda di rumah."

Segera diberikan ponsel itu ke hadapan Garda. "Bening ngechat, minta lo buat cepet-cepet balik."

~~••~~

Jangan lupa komen, vote dan follow akunku, see you besoook

NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang