~~••~~
"Kamu kerja mulai hari ini Mas?"
"Iya."
"Kenapa enggak bilang aku dari kemarin sih? Kenapa kamu masuk ke klinik lebih cepat?" tanya Bening dengan wajah muram.
Dan melihat ekspresi itu, Garda bingung. Apa ia membuat salah karena mengakhiri masa cuti lebih cepat dari apa yang seharusnya?
"Kamu ... kenapa? Enggak mau saya kerja lebih cepat?"
"Bukan gitu, tapi Bening belum nyiapin apa-apa, sarapan, bekal makan siang, baju dan hal-hal lain yang kamu butuhin sebelum berangkat kerja." Itu kan tugas Bening sebagai istri. Atau lebih tepatnya, sesuatu yang Bening ingin lakukan setelah menikah. Menyiapkan keperluan suami sebelum dia berangkat bekerja. Tapi lihat Garda! Lagi, dia malah mengambil keputusan seenaknya, membuat Bening tak bisa menjalankan tugas sebagai istri dengan benar.
"Enggak apa-apa, Nuansa. Enggak perlu kamu capek-capek dan repot-repot, saya enggak perlu dibikin bekel kok. Saya gak terbiasa juga bawa bekel ke klinik. Nanti bisa beli."
"Kamu juga belum sarapan Mas. Aku baru mau nyiapin." Iya, kini Bening sudah di dapur, mengenakan celemek, memegang pisau dan mengiris sayuran yang sudah ia siapkan. Tapi tadi Garda datang dengan kemeja rapi, celana bahan dan wajah segar dilengkapi kacamata. Tampan memang, tapi pengakuannya yang akan berangkat kerja sekarang juga membuat Bening ... ingin menampar Garda sekeras yang ia bisa.
"Aku biasa beli roti sama kopi di kafe depan klinik, kamu enggak usah khawatir."
Tapi apa Garda tidak melihat bahwa kini Bening tengah menyiapkan makanan untuk mereka berdua? Bening mendengus. "Setelah ada aku, seharusnya kamu ngerti kalau kebiasaan itu enggak perlu kamu lanjutkan lagi Mas."
Dengan kesal Bening menyimpan pisau di atas talenan. Lalu melepas apron dan beranjak dari dapur melewati Garda dengan raut yang masih muram.
Garda benar-benar tidak pengertian, apa dia tak mau menghargai perjuangan Bening atau masakan Bening? Apa ia tak bisa meluangkan waktu untuk menunggu masakannya jadi dan mereka bisa sarapan bersama? Telat sedikit saja, harusnya kan bisa ditolerir.
"Kamu kenapa, Nuansa?"
"Aku gak apa-apa," jawab Bening dengan intonasi datar. Terdengar di belakang sana Garda masih mengikuti langkahnya.
"Saya ada salah? Kamu bilang dulu." Garda menahan siku Bening agar wanita itu tidak lagi menjauh darinya. Namun dengan cepat, Bening melepaskan cekalan tangan Garda.
Sembari berbalik dengan mata yang terpejam menahan gejolak kekesalan, Bening berkata, "Aku gak apa-apa, kamu kalau mau berangkat kerja yaudah sana."
"Kamu gak mau saya kerja?"
"Enggak ada yang bilang kayak gitu." Bening mengulum lidahnya dan berpaling. "Tapi seenggaknya kamu ngerti, kamu udah enggak hidup sendiri lagi, ada aku Mas! Kamu enggak bisa ngambil keputusan—lagi-lagi, sendiri. Kamu harus melibatkan aku untuk hal-hal terkecil sekalipun tapi kayaknya, sulit ya bagi kamu."
"Nuansa saya—"
"Bisa enggak sih Mas Garda pergi aja sekarang? Jangan bikin aku tambah kesel, tambah bingung, aku enggak apa-apa. Please, berangkat sekarang aja. Jangan peduliin aku dulu, aku butuh sendirian, aku takut kalau kita bicara terus, aku malah bablas keselnya. Oke?" Kembali Bening berbalik, meninggalkan Garda untuk pergi ke kamar tamu dan mengunci ruangan itu dari dalam. Tubuh Bening merosot di sebalik pintu dan terduduk dengan kedua kaki tertekuk di lantai. Sesaat ia menyembunyikan wajah merah marahnya lalu mulai menangis. Ini sudah di luar batas, ia sangat kesal kepada sang suami. Ia tak bisa mentolerir Garda lagi. Ia seperti istri yang tak dianggap, istri yang tak berguna, sebenarnya mereka menikah untuk apa? Sebenarnya mereka bersama untuk melengkapi apa? Tak ada. Bening tak merasakan kecocokan antara ia dan Garda setelah beberapa hari hidup bersama.
Dan Bening yakinkan diri mulai sekarang, memang ada baiknya mereka hidup masing-masing meski ada di rumah yang sama. Bening akan menjalani hubungan ini sampai ia benar-benar lelah nanti. Pun memang kalau tidak ada perubahan baik dari ia maupun Garda, lebih baik mereka berpisah saja dan mencari kebahagiaan masing-masing.
^^^^^^^^
Sepanjang bekerja, Garda terus memikirkan tentang pertengkaran kecil yang terjadi di rumah pagi tadi. Sungguh, ia tak mengerti sama sekali dimana titik kesalahannya, ia hanya tak memberitahu Bening bahwa ia akan bekerja. Ia juga tak ingin membuat Bening lelah dan repot mengurusi semua keperluannya jadi tak meminta wanita itu untuk menyiapkan bekal atau pun sarapan. Pun memang kalau mau, Bening bisa membuat Garda makan dulu sebelum berangkat. Garda akan meluangkan waktu. Bahkan jika Bening melarang Garda untuk bekerja, Garda akan membatalkan pergi ke klinik hari ini.
Dan kerena itu, sejak tadi pagi, Garda terus merasa tidak fokus. Apalagi kala mengingat wajah kecewa, marah dan kesal Bening.
Sesaat Garda mengambil ponsel karena ia bisa beristirahat. Tidak ada pasien yang kembali datang. Akhirnya Garda menghubungi Bening yang sayang saja, tidak wanita itu angkat sama sekali. Jadi Garda mendesah dan beranjak melepas perlengkapan dokternya.
"Ada pasien lagi enggak kiranya hari ini Han?"
"Ada, tapi yang punya janji sama dokter Fatia aja."
"Kalau gitu, saya bisa enggak ya kiranya pulang lebih cepat?"
"Silahkan Mas. Lagian kan masa cuti Mas belum habis, pasien punya Mas masih ditangani sama dokter Fatia sampai beberapa hari ke depan."
"Yaudah kalau gitu." Garda baru saja ingin keluar dari klinik kala menemui dua orang paruh baya yang masuk. Nampak sebelah pipi calon pasien membengkak besar sekali. Garda yang tidak tega dalam sekejap membuat keputusan bahwa ia akan terlebih dahulu mengurus satu pasien sebelum benar-benar pulang.
Kala sampai di rumah, ia mendapati sepenjuru ruangan yang hening. Bahkan salam-nya pun tidak terjawab. Buru-buru Garda membuka kamar tamu yang Bening tempati. Kosong. Garda coba ke kamar mereka pribadi, kosong juga. Bahkan di dapur, ia mendapati semua hal nampak tak berubah. Pisau tak tergeser sedikitpun. Bahan-bahan masakan yang sudah teriris masih ada di posisi yang sama.
Apa Bening belum makan dari tadi pagi sampai sore ini?
Dan dimana dia berada?
Mungkinkah dia pergi keluar sebentar untuk menenangkan pikiran atau apa?
Garda mendesah, mencuci tangan dan membuang irisan sayuran itu, menggantinya dengan bahan masakan baru. Setelah ini semoga Bening mau memaafkannya dan makan bersama. Jadi dengan giat, Garda memasak, kedua tangannya benar-benar lihai mengiris, memotong, mengulek dan menaburkan bumbu-bumbu dimasakan yang bergejolak panas.
Menghabiskan waktu cukup lama kala itu sampai pintu depan terbuka. Buru-buru Garda menghampiri, napasnya berembus lega kala menemui Bening di sana.
"Nuansa, kamu dari mana?" tanya Garda lembut. Tapi jawaban Bening mengembus dan menikam dadanya.
"Emang itu urusan kamu ya Mas? Apa aku harus bilang kalau aku mau pergi keluar atau gimana?"
Garda tertegun sesaat. "Nuansa, kamu masih marah sama saya?"
"Enggak, aku capek, mau ke kamar dulu."
"Saya udah masak, ada baiknya kita makan."
Bening menghentikan langkah, lalu berbalik menatap Garda. "Aku enggak lapar, udah makan di luar."
~~••~~
Hai haloooooo 50 komen aku update lagi besok gimana? 💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK!
Romance"Nikah yuk?" Bagaimana jadinya kalau orang yang baru kamu temui sebanyak dua kali tiba-tiba mengajukan ajakan pernikahan? Apakah kamu akan menerimanya? Atau justru kamu menolaknya? "Mas Garda ... gila ya?" Atau justru, jawabanmu sama seperti jawaba...