Chapter-24

1.2K 98 7
                                    

Biru tengah memandangi ruang pesan dirinya dengan Galang. Dia menggeser layar ponselnya menuju ke atas, melihat riwayat pesan lama. Dimana, Galang adalah orang pertama yang selalu menghubungi Biru.

Namun, saat menggulir ke bawah, pada riwayat pesan terbaru, semua pesan berasal dari Biru semua. Sayangnya sudah tidak ada balasan apapun dari Galang. Pesan dari Biru ditinggalkan begitu saja. Dengan sebuah tanda ceklis satu.

Biru menghela nafas pelan, wajahnya sedih dan murung. Dia tidak tahu kenapa, tapi Galang beberapa hari terakhir ini tidak aktif. Pesan dari Buru tidak pernah dibalas. Telepon dari Biru pun sama tidak diangkat.

"Apa Galang tengah sakit?"

Biru merasa khawatir akan pemikiran itu. Dari pada diam tidak mendapatkan informasi apa-apa. Biru memilih untuk bangkit dan mendatangi gedung fakultas Galang.

Saat datang di fakultas seni rupa, Biru tidak mengenal siapapun disana. Yang dia kenal hanyalah Galang seorang. Biru juga tidak tahu siapa saja teman Galang atau sahabatnya. Dia hanya berkeliaran di depan gedung sambil berusaha mengumpulkan keberanian untuk menanyakan keberadaan Galang kepada siapapun.

"Sedang apa?" Tepukan tangan seseorang pada pundak Biru. Biru menoleh dan mendapati kalau itu ternyata Henri. Henri terseyum ramah kepadanya.

"Hai, Henri." Sapa Biru merasa canggung.

"Iya, kenapa kamu ada disini? Sedang mencari Galang?" Tanya Henri.

Biru mengangguk dan berkata, "Ya. Sudah lama aku tidak bisa menghubungi. Aku mengkhawatirkannya. Takut dia tengah sakit."

"Galang baik-baik saja," jawab Henri.

Biru merasa lega setelah mendengar itu, tapi dia langsung bertanya-tanya, lantas kalau Galang tidak sakit, kenapa dia tidak bisa dihubungi.

"Tapi aku kesulitan untuk menghubunginya," kata Biru.

"Oh soal itu," kata Henri lalu memberi jeda, "Bagaimana kalau kita duduk di kursi taman. Disini terlalu panas dan terik."

Biru mengangguk setuju. Mereka berdua duduk di kurai di bawah pohon lebat.

"Jadi?" Tanya Biru.

"Kamu tahu, sebenarnya Galang, akhir-akhir ini tengah sibuk dengan tugasnya. Dia tengah berpartisipasi dalam sebuah badan amal. Dimana lukisan yang dikerjakan jika telah selesai akan diaumbangkan dalam sebuah pameran untuk badan amal tersebut," jelas Henri kepada Biru.

Biru mengangguk pelan, "Pantas saja. Ternyata dia tengah sibuk." Gumam Biru.

"Memangnya kamu tidak diberitahu Galang?" Tanya Henri.

Biru menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak."

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku membawamu untuk menemui Galang?" Tanya Henri.

"Boleh, kalau kamu tidak keberatan," jawab Biru berasa menahan semangatnya.

"Tentu," jawab Henri tersenyum Hangat.

Kemudian Henri membawa Biru menuju gedung fakultas mereka. Naik ke lantai paling tas. Biru tahu kalau ini adalah jalan menuju studio Galang. Dia merasa lega setelah bertemu dengan Henri. Tanpa Bantuan Henri, dia tidak bisa masuk ke dalam fakultas secara sembarangan.

"Kita sampai," kata Henri.

"Nanti, kamu masuk saja ke dalam. Karena aku harus pergi, aku memiliki hal yang perlu aku kerjakan," tambah Henri.

"Tidak masalah. Terima kasih telah membawaku kesini. Tanpa bantuanmu, aku tidak akan bisa kesini."

Henri menepuk bahu Biru pelan, kemudian pergi meninggalkan Biru sendirian di depan pintu. Biru menghirup nafas dalam-dalam. Berusaha menenangkan detak jantungnya yang sudah menggila. Dia kemudian membuka pintu, hanya untuk menemukan Galang tengah berciuman dengan seorang perempuan.

Baik Galang dan perempuan yang tengah berada dipelukannya, menoleh ke tempat Biru berdiri. Biru membeku di tempatnya. Selurih dunianya entah kenapa seolah berhenti. Dan dia merasakan ada suatu suara retakan besar dan menyakitkan berasal dari dalam hatinya.

Tatapan Biru dan Galang terkunci. Galang menatapnya dengan datar. Kedua tangannya memeluk perempuan itu dengan erat. Biru kemudian menunduk dan berkata, "Maaf."

Setelahnya dia mundur dan menutup pintu secara perlahan. Biru merasa kosong, hampa, dan terkejut. Dia berusaha menopang tubuhnya dan segera berjalan menuju tangga darurat gedung fakultas.

Disana dia menatap ke bawah, menuju dasar tangga. Dan perlahan air matanya mengalir. Biru menutup mulutnya, berusaha menahan suara isak tangisnya.

"Aku tahu, kamu hanya mempermainkanku. Tapi melihatmu bersama perempuan lain membuat hatiku hancur." Ucap Biru pelan.

Biru tahu kalau dia tidak layak, tapi dia sangat cemburu sekarang ini. Dia tidak rela Galang bersama dengan orang lain selain dirinya. Tapi, dia bisa apa?

"Aku bukan siapa-siapa. Aku tidak berhak," ucap Biru pada dirinya sendiri.

Dan kenyataan itu semakin menyakitkan bagi Biru.

"Seharusnya aku tidak mencarinya,"

Biru menyesali inisiatifnya hari ini. Kalau saja dia tetap menunggu Galang sampai Galang datang menemuinya atau membalas pesannya, Biru tidak akan mendapati pemandangan menyakitkan ini.

Tidak, dia seharusnya tidak membuka pintu secara sembarangan. Dia seharusnya mengetuk pintu terlebih dahulu. Lalu berbagai penyesalan silih berganti di pikirannya.

Setelah merasa tenang, Biru memutuskan untuk pulang ke kosannya. Berusaha melupakan kejadian barusan.

Namun, ada sosok yang tidak diduga di depan kosannya.

"Galang?" Panggil Biru. Dia merasa tidak percaya dengan pemandangan di depannya ini. Sekitar satu jam lalu, dia menemui Galang di studio miliknya. Dan sekarang Galang sudah berdiri di depan pintu kosannya.

"Kenapa kamu—"

"Kamu kemana saja tadi?" Galang sudah lebih dahulu berbicara sebelum Biru sempat bertanya kepadanya. Galang menatap Biru dengan tajam, dan Biru merasa gemetar.

"Aku, tadi ada di gedung fakultasmu." Jawab Biru pelan.

"Tapi kenapa aku tidak bisa menemukanmu? Aku sudah mencarimu kemana-mana!" Galang terlihat frustasi dan kesal. Biru tidak tahu mengapa. Dan kenapa pula Galang berusaha mencarinya.

"Aku ada di tangga darurat," balas Biru.

Galang memijat pelipisnya kemudian dia menunjuk pintu kosan Biru, "Cepat buka. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu,"

Biru buru-buru membuka kunci pintu. Saat dia masuk pintu, berbagai pikiran khawatir terkait kemungkinan Galang memutuskan Biru cukup sudah membuat Biru takut.

Saat Biru memutar tubuhnya, Galang sudah masuk ke dalam dan mengunci pintu dari dalam. Dalam waktu secepat kilat, Biru sudah berada di antara dinding kamar dan tubuh Galang.

Detik berikutnya, Galang sudah meraup kedua bibir merah Biru. Dia menghisap bibir Biru secara posesif. Biru yang keealahan dengan tindakan Galang, akhirnya pasrah.

Galang terus menjelajahi ruang mulut Biru dengan menuntut. Sesekali menggoda lidah Biru dan menggigitnya. Biru merasa kewalahan dan erangan kecil selalu keluar di antara suara-suara cabul.

Saat Biru kehabisan nafas, dia berusaha melepaskan tubuhnya. Dia mendorong tubuh Galang. Tapi Galang terus mengeratkan pelukannya. Menarik Biru semakin lebih dekat. Lebih intens dan lebih dalam.

Baru ketika Biru semakin tidak berdaya, Galang melepaskan Biru. Keduanya saling bertatapan. Biru menelisik kedua mata Galang, begitupun sebaliknya.

"Kenapa kedua matamu merah?" Tanya Galang setelahnya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Playboy Trap |Biru&Galang|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang