"Ini karena debu saat pulang kesini," Biru mengucapkan sebuah kebohongan.
"Benarkah?" Galang terlihat ragu-ragu mendengar jawaban Biru.
"Benar, jangan khawatirkan ini." Kata Biru berusaha meyakinkan Galang atas kebohongannya.
"Jadi, kenapa kamu kesini?" Tanya Biru setelahnya.
Galang mengerutkan keningnya setelah mendengar itu. Dia terlihat tidak senang. "Kamu bertanya kenapa aku datang kesini?" Galang balik bertanya.
"Ya," jawab Biru.
"Aku tidak percaya," gumaman Galang masih bisa terdengar oleh Biru karena mereka masih saling berpelukan. Wajah Galang memancarkan aura sedih, namun Biru tidak mempercayai penglihatannya.
"Kenapa kamu tadi malah kabur begitu saja?" Tanya Galang.
Dalam situasi seperti itu, Galang mengharapkan apa? Biru tentu sakit hati. Tapi dia merasa tidak berhak untuk marah. Dia tahu karena dia hanyalah mainan sementara Galang saja.
"Aku tidak mau mengganggu," jawab Biru pelan sambil menunduk. Biru tidak melihat kalau wajah Galang sekarang sudah marah dan kesal.
"Kamu tahu, aku mencarimu seperti orang bodoh. Merasa kesal dan marah terhadap diri sendiri karena membuat kesalah pahaman. Kamu tahu. Aku tidak benar-benar mencium perempuan itu. Dia datang untuk melihat lukisanku, tapi tiba-tiba dia menciumku. Namun, aku rasa kamu tidak mau tahu ini," ucap Galang dengan nada parau. Wajahnya terlihat sedih dan kecewa.
Padahal Biru yang berhak memasang wajah seperti itu. Kenapa malah sebaliknya? Baik Biru dan Galang, keduanya tidak mau mengekspresikan apa yang mereka inginkan dengan jelas.
"Aku pergi," ucap Galang meninggalkan Biru begitu saja di dalam kamarnya.
Biru hanya diam menunduk.
Setelah beberapa saat, Biru berlari keluar berusaha untuk menyusul Galang. Dia berusaha mengejar Galang. Mencari Galang di sepanjang jalan, namun dia tidak menemukan Galang. Biru lalu ingat, jalan menuju jalan rahasia yang waktu telah ditutup.
Dan benar saja, Galang duduk di bawah sana. Galang menoleh ke atas menatap Biru. Biru merasa air mata sudah berada di ujung tanduk dan siap untuk keluar.
Biru berjongkok dan segera memeluk Galang.
"Aku minta maaf."
"Aku minta maaf."
"Aku minta maaf."
Ucap Biru beberapa kali. Seolah-olah itu adalah sebuah mantra sihir. Galang merasakan hatinya nyeri, dia kemudian memeluk Biru dengan erat. Menghirup aroma Biru, lalu menemukan kenyamanan di dalamnya.
"Aku seharusnya berbicara kepadamu, bukannya langsung pergi," Biru merasa menyesal atas kebodohannya sendiri.
"Tidak apa," balas Galang berusaha menenangkan Biru.
"Aku merindukanmu," jawab Biru sambil menatap Galang dengan lekat. Galang tertegun selama beberapa saat. Mencerna baik-baik kalimat Biru.
"Aku merindukanmu, Galang." Kata Biru lagi. Galang kaget dan kehabisan kata-kat. Namun akhirnya dia mengecup dahi Biru dengan pelan.
"Aku juga merindukanmu," balasnya dengan nada hangat dan penuh kasih sayang.
"Kemana saja kamu beberapa hari terakhir ini? Tidak ada kabar sama sekali." Tanya Biru.
"Aku sibuk," jawab Galang.
"Oh," Jawab Biru pelan. Biru tidak lagi menuntut banyak pertanyaan. Dia tidak mau dianggap Galang sebagai orang yang clingy.
***
Setelah kesalahpahaman itu terselesaikan, Biru mengajak Galang untuk makan siang bersamanya. Di dapur kosan Biru yang sempit, Biru memasak makanan khas rumahan. Dan Galang di belakangnya memperhatikan Biru yang masih fokus.
Sesekali dia memeluk Biru dari belakang. Biru terkekeh pelan karena merasakan geli di bagian tengkuk dan punggungnya. Galang yang suka melihat respon Biru kemudian mulai menggoda Biru dengan menyentuh telinga Biru.
"Ahh— Galang. Hentikan. Ini geli," pinta Biru kepada Galang.
"Tidak mau, ini adalah hukuman karena tadi kamu malah kabur!" Seru Galang dengan seringaian di wajahnya.
Jari-jati yang besar itu terus menggoda telinga Biru, bergerak masuk, keluar, memutar dan sesekali mencubit.
"Ahh—" Erangan sesekali keluar.
"Hentikan! Nanti tetangga di samping mendengar!" Keluh Biru kepada Galang. Ini karena dinding yang tipis. Sehingga tidak bisa membuat suara tetap ada di dalam.
"Jadi, kalau kita berada di ruangan yang kedap suara, kamu tidak keberatan?" Goda Galang.
"Bukan itu maksudku," ucap Biru merasa malu mendengarnya.
"Hehe,,, kamu lucu," kata Galang sambil mencubit pipi Biru dengan gemas.
"Kamu mirip si hitam," tambah Galang.
"Jangan ganggu. Duduk di sana dan tunggu aku. Aku tidak akan lama."
"Siap, sayang." Jawab Galang sambil mengedipkan matanya.
Biru merasa wajahnya semakin panas. Entah karen api dari kompor ataupun dari hal lain.
Saat selesai, Galang menatap semua hidangan dengan ragu-ragu. Cah kangkung, ikan asin, tempe goreng serta sambal terasi.
"Kamu beneran makan ini?" Tanya Galang ragu-ragu.
"Iya, memangnya kenapa? Kamu tidak suka?" Tsnya Biru.
"Bukan itu, hanya saja. Aku tidak pernah makan yang seperti ini." Jawaban Galang membuat mata Biru melototi terkejut.
"Kamu hidup di dimensi mana?" Tanya Biru sambil terkekeh pelan.
"Kamu ini," jawab Galang sambil terkekeh pula.
"Cobalah. Ini adalah makanan yang selalu mengingatkanku akan kampung halaman. Seperti bernostalgia. Aku yakin kamu akan suka." Kata Biru menjelaskan.
Galang mengangguk mengerti. Awalnya dia mengambil ragu-ragu. Kemudian mengambil suapa pertama dengan perlahan. Namun setelah dia menelan makanan itu, Galang tersenyum tipis.
"Enak, kan? Jangan malu-malu. Habiskan," kata Biru.
Galang pun makan dengan lahap. Entah kenapa, kata-kata Biru tadi malam mengingatkan Galang pada suasana desa yang masih asri dan sejuk. Seperti yang dulu dia lihat di iklan televisi.
Biru merasa lega karena Galang tampaknya suka. Dia memperhatikan Galang yang makan dengan lahap.
Setelah puas makan, keduanya kembali ke area kampus.
"Aku masih ada kelas sore hari," ucap Biru.
"Jika kamu selesai. Mau temani aku nanti? Aku masih belum menyelesaikan lukisanku," kata Galang.
"Aku mau."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Playboy Trap |Biru&Galang|
General FictionGalang Mahendra hanya menganggap Biru Samudera sebagai objek tantangan konyol. Setelah di tolak oleh Biru, Galang tetap tidak menyerah dengan tanyangan konyol yang mengharuskannya jadian dengan Biru. Galang berusaha melakukan segala cara agar Biru m...