"Apa kau akan membiarkannya menunggu?"
Suara Henri dari belakang tubuhnya membuat Galang memutar kedua matanya dengan malas. Dia menghela nafas kesal. Kemudian menjawab dengan acuh tak acuh.
"Aku tidak peduli."
"Kau tahu, sudah seminggu terakhir ini aku melihatnya duduk di taman samping gedung fakultas kita. Aku rasa dia ingin berbicara denganmu."
"Aku tidak peduli."
"Dia terlihat sangat menyedihkan. Terkadang aku memergokinya tengah melamun. Kadang aku melihatnya menangis,"
Saat mendengar kata terakhir, Galang sedikit terganggu. Tubuhnya seperti ingin bergerak sendiri melawan pikiran dan hatinya. Entah kenapa dia juga sedikit merasakan nyeri.
"Aku tidak peduli."
Henri di belakang kemudian menatap ke bawah. Disana Biru tengah duduk bersama sebuah totebag besar. Entah apa isi dari tas besar itu. Karena itu selalu bersama Biru selama semunggu terkahir ini.
Setiap pagi hari, Biru sudah berada di taman itu. Walaupun dia melihat Galang dan berusaha menghampirinya, Galang sudah lebih dahulu bersama orang-orang. Jadi, Biru enggan untuk menyapa Galang.
Biru seolah menunggu momen Galang sendirian. Atau Galang yang langsung mendatanginya.
"Apa kalian bertengkar hebat?" Tanya Henri.
"Kau tanya itu sekarang?" Tanya balik Galang.
"Kan aku tidak tahu detailnya," keluh Henri. "Kau sendiri tidak menceritakannya," tambah Henri.
"Setelah apa yang dilakukannya, membuat lukisan itu hancur dan aku gagal masuk dalam pameran, apa yang kau harapkan? Apa aku akan berbelas kasihan kepadanya?" Tanya Galang dengan jengkel.
Sedari tadi dia berusaha melukis, tapi, tidak sedikitpun cat yang tergores di atas kanvas. Semua konsentrasinya telah buyar semenjak seminggu yang lalu.
"Tapi, tidak seharusnya kau terlalu keras kepadanya," kata Henri.
"Tampaknya kau begitu peduli kepada anak itu dari pada yang aku bayangkan."
Suara Galang terdengar dingin, dia menoleh hanya untuk menatap tajam kepada Henri. Kemudian dia terdiam, seperti menunggu respon Henri.
"A-aku tidak. Aku hanya bicara sebagai temanmu," bela Henri.
"Terserah," balas Galang.
"Lalu, apa dia tidak pernah berusaha menghubungimu?" Tanya Henri penasaran.
"Kau ini kenapa? Sepertinya sangat tertarik dengan topik ini. Jelas-jelas aku tidak ingin membahasnya. Sekali lagi kau bertanya tentangnya. Keluar. Kau tanya sendiri kepada dia!" Seru Galang dengan kesal dan jengkel. Dia yang emosi kemudian menendang stand kanvas, cat dan kuas langsung berserakan di atas lantai.
Henri menghela nafas pelan. Tanpa mengucapkan apapun, dia langsung pergi keluar.
Setelah beberapa saat kemudian, Galang berdiri dan berjalan menuju jendela. Disana dia melihat Biru, tampak seperti seekor kucing yang ditinggalkan pemiliknya. Tampak sangat menyedihkan.
Sejak kejadian itu, Galang sudah memblokir nomor Biru. Dia tidak mau berhubungan lagi dengannya. Dia tidak peduli kalau Biru mencoba menghubunginya tapi akhirnya tidak bisa.
Dia masih kesal dan marah kepada Biru.
Di bawah, dia melihat Henri mendatangi Biru. Henri dan Biru kemudian duduk berdampingan. Biru tampaknya tidak terlalu canggung bersama Henri. Padahal Galang yakin kalau mereka sama sekali tidak mengenal satu sama lain.
Tapi, apa urusannya dengan Galang?
Galang kembali duduk di tengah studio, berusaha mencerna pikirannya. Agar bisa menjadi tenang dan konsentrasi.
Selama beberapa jam ke depan, Galang hanya diam. Tidak ada satupun ide yang keluar. Dan tangannya pun seperti kehilangan kekuatannya.
Galang akhirnya memilih untuk mencari angin segar. Saat berjalan turun ke luar gedung. Hati sudah berganti malam, dan dia bertemu dengan Biru.
Raut wajah Galang langsung berubah marah,
"Apa lagi?!" Tanyanya dengan keras.
Bahkan beberapa orang yang lewat sampai kaget.
"Itu, aku—"
"Aku sudah katakan dengan jelas! Aku tidak mau mendengar penjelasan apapun darimu!"
"Tapi, Galang—"
"Jangan sebut namaku! Itu menjengkelkan!"
"Maaf,"
Biru menunduk, dan Galang malah semakin kesal dengan sikap Biru yang terlihat lemah ini. Kemana Biru yang telah percaya diri?
"Bahkan melihat dirimu, sudah membuat aku jijik. Jadi, tidakkah kau mengerti. Aku sudah tidak mau melihatmu lagi. Apa kata-kataku sebelumnya tidak terdengar sangat jelas? Apa kau tidak memahaminya? Atau kau memang pura-pura tidak tahu, seperti yang biasanya kau lakukan?"
Kemudian hujan tiba-tiba turun dengan deras. Suasana di sekitar mereka menjadi lebih basah dan dingin serta suara air hujan yang cukup berisik.
"Aku hanya—"
"Berhenti. Aku bahkan muak mendengar suaramu itu."
Biru menatapnya dengan tatapan nanar. Wajahnya terlihat sangat sedih tapi masih berusaha untuk tegar.
"20 detik saja. Beri aku kesempatan," kata Biru dengan suara lirih.
"Pergi. Atau kau mau aku usir?" Tanya Galang dengan galak.
"Tidak. 10 detik saja,"
"Pergi."
Biru menggigit ujung bibirnya, seperti seseorang yang menahan tangisnya. Dan Galang sangat terganggu.
"Maaf."
"Aku pergi."
Tanpa menunggu jawaban Galang, Biru langsung berlari, menerobos derasnya hujan sambil memeluk totebag yang berada di pangkuannya. Galang melihat kalau tubuh Biru semakin basah kuyup. Hingga lama-kelamaan tubuh Biru menghilang dari kedua matanya.
***
Sejak malam itu, Galang sudah sibuk dengan dunianya sendiri. Dia mulai berusaha untuk pulih dan melukis lagi. Dia kembali ke dunianya, dunia sebelum dia bertemu dan Biru.
Berkumpul kembali dengan teman satu gengnya yang bermuka dua. Bergaul dengan para perempuan yang selalu datang tanpa henti. Bermain kesana kemari tanpa arah yang jelas.
Kemudian ujian akhir semester datang, Galang sangat sibuk dengan berbagai tes yang datang silih berganti. Dia sampai tidak mengingat apapun lagi tentang Biru. Dia benar-benar tenggelam dalam dunianya.
Hingga beberapa minggu berlalu begitu saja.
Karena saking sibuknya, Galang sampai tidak pernah kembali ke apartemennya. Dan lebih memilih untuk tinggal di kediaman kedua orang tuanya.
Setelah dia akhirnya memiliki waktu luang, Galang menyempatkan untuk datang kembali ke apartemennya.
"Maaf, Mas Galang!"
Saat Galang berjalan melewati pos penjaga, penjaga itu menahannya. Galang menoleh dan bertanya, "Kenapa Pak?"
Petugas itu seperti mengeluarkan sesuatu dari bawah sana. Kemudian dia mengangkat sebuah tas merah. Dan menyerahkan itu kepada Galang.
"Maaf, ini ada titipan untuk Mas Galang."
"Dari siapa?"
"Ah, itu saya lupa namanya. Tapi saya ingat, dia orang yang pernah Mas Galang bawa kesini."
Galang menerima itu, kemudian dia ingat.
Kalau satu-satunya orang yang dia bawa ke apartemennya, hanyalah Biru.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Playboy Trap |Biru&Galang|
Aktuelle LiteraturGalang Mahendra hanya menganggap Biru Samudera sebagai objek tantangan konyol. Setelah di tolak oleh Biru, Galang tetap tidak menyerah dengan tanyangan konyol yang mengharuskannya jadian dengan Biru. Galang berusaha melakukan segala cara agar Biru m...