Meong
Kucing hitam gemuk itu kembali mengitari tubuh Biru, sesekali dia mulai menjilati kaki Biru. Dia juga mulai memainkan celana Biru dengan kaki kecilnya itu. Biru hanya termenung di tempatnya. Itu karena tindakan Si Hitam tidak hanya menyentuh kaki Biru, tapi itu juga menyentuh hati bagian paling dalam dirinya.
Kedua matanya terasa panas karena pertemuan yang tidak disangka itu. Setelah 7 tahun berlalu, ketika dia mengira Si Hitam yang ditinggalkannya akan berakhir dijalanan, terlantar dan meninggal.
Ternyata dia masih hidup dan mengingatnya.
Biru berjongkok dan mulai mengelus kepala Si Hitam. Si Hitam sekali lagi mengeong dan menutup kedua matanya. Merasa nyaman atas sentuhan Biru.
"Paman, siapa nama kucingnya?"
Dion menarik celana Galang yang sedari tadi fokus memperhatikan Biru. Mereka berdua tampaknya bersuka cita karena sudah lama tidak bertemu. Tidak mau mengganggu reuni mereka, Galang membawa Dion untuk duduk bersamanya.
"Namanya Si Hitam."
"Si Hitam?!"
"Iya."
Dion terlihat ragu mendengar itu, namun setelah memperhatikan kucing hitam gemuk yang seluruh tubuhnya dipenuhi bulu hitam, dia akhirnya mengerti.
"Itu bagus."
"Ya, karena kakakmu yang memberi dia nama."
"Hah?"
"Lupakan itu, kamu tadi hendak bermain dengan Si Hitam, kan?"
"Iya, Dion mau!"
Dion tidak terlalu memikirkan jauh ucapan Galang barusan, dia segera berlari ke arah Biru. Dimana kucing itu tengah mengelus-eluskan pipinya ke tangan Biru.
"Kak Biru, paman bilang Si Hitam dinamai oleh kakak!"
Setelah mendengar ucapan itu, Biru bertemu dengan tatapan Galang. Galang terlihat malu dan tanpa sadar menggaruk tengkuknya.
Biru berdiri, dan membiarkan Dion bermain dengan kucing itu. Dia berjalan mendekati Galang dan berkata, "Tidak ada bahan makanan apapun di dalam lemari es."
"Ah, ya. Itu, aku bawa ini dari hotel."
Galang menyerahkan satu kantong plastik hitam yang berisi beras, beberapa sayuran dan ayam potong. Semuanya bisa dibuat untuk sup pagi ini.
"Aku akan memasak."
Biru pergi begitu saja menuju dapur dan meninggalkan Galang di belakangnya. Tidak lama, Galang segera menyusulnya. Berdiri di samping kusen pintu sambil memperhatikan Biru.
Dari dapur terdengar suara tawa Dion yang tengah bermain dengan kucing itu. Biru merasa tenang dan mulai mengerjakan tugasnya.
"Dia sangat merindukanmu."
Biru yang saat ini tengah membersihkan sayuran berhenti karena mendengar itu, dia menoleh dan balas menatap Galang yang tersenyum puas.
"Sejak kepergianmu, dia terlihat murung. Apalagi saat aku membawanya untuk tinggal di apartemen milikku, dia selalu ingin pergi."
Biru mengabaikan itu dan melanjutkan lagi tugasnya. Lalu mencuci, kol, wortel dan kentang. Setelahnya dia menaruhnya di keranjang untuk mengeringkannya.
Biru tidak pernah mengira kalau Galang akhirnya mau mengadopsi Si Hitam. Padahal Si Hitam hanya kucing yang sering diajak main. Walaupun Biru memang sangat ingin mengadopsi Si Hitam, namun kala itu dia tidak bisa.
"Pertama kali tiba di apartemen dia terus menggaruk tangan dan kakiku. Selain itu dia juga sering menggaruk berbagai perabotan di rumah. Dia tampaknya marah karena aku yang menyebabkan kamu pergi meninggalkannya."
Sambil memotong sayuran, Biru jadi ingat pertemuan pertama Galang dan Si Hitam. Mereka sangatlah tidak akur. Karena Si Hitam begitu agresif kepada dirinya. Biru jadi membayangkan Si Hitam yang mengamuk kepada Galang.
"Walaupun begitu..."
Galang menghentikan kalimatnya, membuat Biru kembali menoleh ke arahnya.
"Pernah satu kali, ketika aku bangun di tengah malam. Aku mendapati Si Hitam tidak tidur di rumah kecilnya. Saat aku mencarinya, dia ternyata tengah duduk menghadap balkon apartemen. Lewat kaca transparan, dia menatap keluar. Cahaya bulan jatuh menyelimuti tubuhnya. Saat itu, aku sadar, kalau Si Hitam kesepian."
Hati Biru terenyuh mendengar itu. Dia juga merasakan kembali matanya yang berair dan terasa panas. Tidak mau Galang memergokinya, dia membuang muka ke arah lain.
Mendengar cerita Galang, Biru merasa sangat menyesal. Menyesali pilihannya yang tidak bisa membawa Si Hitam bersamanya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang berlalu, tidak dapat diubah sama sekali.
Yang paling penting, Si Hitam sehat.
"Kehidupan kami berdua tidak mudah. Si Hitam sulit untuk didekati. Dia selalu bersikap galak dan marah ketika aku berada di sekitarnya. Tapi, seiring berjalannya waktu. Kami berdua akhirnya bisa akur dan menguatkan satu sama lain."
Senyuman tipis terlihat di wajah Biru, membayangkan Galang yang mati-matian agar berusaha dekat dengan Si Hitam yang tidak menyukainya, pasti itu membutuhkan waktu yang lama.
Biru merasa lega atas fakta Galang tidak menyerah di tengah jalan.
"Jadi, apa kamu mengingatnya?"
"Tidak."
"Baiklah, aku yakin perlahan kamu akan ingat dia dan aku."
Setelah mengatakan itu, Galang pergi kembali menuju ruang tamu. Dia ikut bermain bersama Dion dan Si Hitam. Sedangkan Biru memperhatikan mereka semua dari dapur.
Dia kembali fokus untuk memasak, dia mulai memasukan potongan sayur dan ayam menuju panci berukuran sedang. Selain itu, dia juga mulai memasak beras yang tadi dibawa oleh Galang.
Dia mengerjakan semuanya secara bersamaan, karena dia tidak mau membuat Galang menunggu lama. Apalagi, matahari juga semakin naik ke atas.
Sebagai seorang pegawai yang digaji, dia harus melakukan tugasnya dengan cepat dan sempurna. Mungkin karena saking fokusnya, Biru tidak memperhatikan Galang yang ternyata sudah bersandar di kusen pintu dapur dan menatap dirinya.
"Aku juga kesepian."
Mendengar suara Galang, Biru berhenti bekerja dan menoleh ke belakang. Namun, Galang sudah pergi dari tempatnya. Biru termenung di tempatnya selama beberapa saat sebelum akhirnya tersadar oleh air yang sedikit tumpah dari atas panci.
Biru merasakan hatinya kembali terusik.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Playboy Trap |Biru&Galang|
General FictionGalang Mahendra hanya menganggap Biru Samudera sebagai objek tantangan konyol. Setelah di tolak oleh Biru, Galang tetap tidak menyerah dengan tanyangan konyol yang mengharuskannya jadian dengan Biru. Galang berusaha melakukan segala cara agar Biru m...