Chapter-53

455 63 9
                                    

Seberapa kalut pun hatinya, dunia tetap berjalan seperti biasa. Seolah tidak memperdulikan perasaan. Namun, begitulah dunia. Bergerak sesuai porosnya tanpa terganggu apapun.

Biru dan Dion telah bangun. Berbeda dengan wajah kakaknya yang terlihat murung dan lemah, Dion begitu bersemangat dan penuh energi.

"Kak Biru, ayo kita pergi ke vila! Aku mau main sama Si Hitam!"

Anak kecil pun sama.

Mereka tidak akan terganggu oleh apapun. Mereka begitu lugas dan terus terang. Hanya memikirkan keinginan mereka. Tidak memusingkan apapun dalam hidupnya.

Biru merasa iri kepada Dion, dia juga ingin selamanya hidup sebagai anak-anak. Menjadi dewasa tidak seenak yang didengarnya ketika kecil. Saat masih kecil dia ingin segera besar karena bisa bebas melakukan apapun, tapi setelah dewasa dia sadar, kalau dia memiliki konsekuensi besar dibelakangnya.

"Iya, tapi Dion habiskan dulu sarapannya, ya?"

"Emm!"

Dion segera melahap makanan yang kemarin diantarkan Indra. Dia menghabiskan semuanya dalam waktu yang cepat, alhasil dia banyak nasi yang berserakan.

"Pelan-pelan," Biru mengingatkan.

"Ayo, Kak Biru!"

Selesai meneguk air minuman, Dion turun dari kursi makan dan segera menarik tangan kakaknya. Biru enggan untuk pergi, tapi dia tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengan Galang.

Tapi, semakin dia membuang waktu, matahari semakin naik ke atas. Atas desakan terus menerus dari Dion, Biru akhirnya setuju untuk pergi ke vila.

"Pak Galang sudah pergi barusan. Dia bilang datang saja sore nanti."

Itu adalah hal yang dikatakan Pak Agus ketika mereka tiba. Biru merasa lega mendengar itu, tapi Dion sangat kecewa. Dia cemberut sepanjang jalan menuju restoran Indra.

"Nanti sore kita kesana. Sekarang Dion main dulu di restoran. Ya?"

"Ya."

Mereka tiba di restoran yang diberi label tutup di bagian pintu. Namun, dari luar, Biru masih bisa melihat Indra yang mulai sibuk di dapur. Suara bel terdengar berdenting ketika Biru mendorong pintu kaca.

"Kamu disini?"

"Ya."

Suara Biru bergetar, dia tidak sanggup menatap Indra. Yang kemarin mengatakan dirinya bodoh. Mungkin Indra memang benar, tapi Biru tidak bisa mengabaikan rasa sakit di hatinya.

Tidak pernah ada yang memanggilnya seperti itu. Sekalipun dulu orang-orang mengejek dirinya karena kedua orang tuanya membuangnya. Ataupun karena kepribadiannya. Tapi—

"Kemarilah, jangan hanya melamun disana."

Biru mendongak dan mengangguk pelan. Dion sudah pergi ke tempat favoritnya. Dimana ada beberapa mainan untuk anak kecil. Dia mulai menyibukan dirinya disana, dan melupakan kekecewaannya tidak bisa bertemu Si Hitam beberapa saat lalu.

Di bagian belakang counter kasir, terdapat area untuk memasak. Biru berdiri tepat di samping Indra. Memperhatikan Indra yang tengah mencoba menu baru. Karena dia melihat buku resep yang terbuka.

"Cobalah, apakah rasanya enak?"

Biru melahap satu sendok ikan ke dalam mulutnya. Ikannya terasa lembut dan hangat. Bercampur dengan rasa asam manis yang akan membangkitkan nafsu makan.

"Ya."

Indra tersenyum lebar, kemudian mengecilkan api kompor dan menghadap ke arah Biru yang masih menunduk.

"Apa kamu merasa tidak nyaman berada disisi, ku?"

"Tidak. Bukan begitu..."

Biru tersentak ketika Indra tiba-tiba memegang kedua tangannya. Perlahan dia mendongak dan bertemu kedua mata lembut dan ramah. Seolah sorot mata marah dan merendahkannya telah sirna dibawa ombak.

"Maafkan aku atas kata-kataku kemarin. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kamu sadar."

Walaupun hatinya masih berat, namun Biru tetap mengangguk pelan.

"Aku tidak ingin kamu tersakiti lagi. Bukankah, satu pengalaman saja sudah cukup? Tidak perlu mengulanginya lagi?"

"Ya."

"Sekarang tersenyumlah dan jangan hanya diam saja. Aku merindukan Biru yang ceria."

"Iya, Kak Indra."

"Oke, bagus."

Setelah itu, Biru mulai melupakan kejadian kemarin. Dia merasa Indra benar. Jika dulu Galang bisa menyakitinya, kenapa tidak sekarang? Kemungkinan kedua bisa saja terjadi. Karena manusia terkadang sulit untuk berubah.

Restoran telah dibuka ketika Biru selesai membersihkan. Ada beberapa pengunjung yang mulai datang dan memesan makanan. Biru mulai sibuk bergerak ke depan dan ke belakang, mengantarkan dan mengambil makanan.

Tidak terasa, waktupun sudah tiba di sore hari. Biru sangat kelelahan karena bekerja terus menerus dan membuatnya melupakan pikiran kalutnya.

"Kamu pulang saja, biarkan aku yang menyelesaikan semuanya."

"Tapi, masih ada pelanggan."

"Tidak apa. Aku bisa mengatasinya."

"Baiklah. Terima kasih, Kak Indra."

Biru berpamitan dengan Indra setelah mengemas barang bawaan. Dia juga menarik Dion bersamanya. Tepat ketika mereka tiba di jalan, mereka bertemu dengan Galang.

"Paman!"

Dion sudah berseru lagi kepada Galang.

"Hi, Dion!"

"Aku mau ketemu Si Hitam."

"Boleh. Ayo, kita pergi sekarang."

Setelah itu, mata mereka bertemu. Dan Biru menghindarinya lebih dahulu. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam vila. Berbeda dengan Dion dan Galang yang langsung mencari Si Hitam. Biru bergegas menuju dapur untuk segera menyelesaikan tugasnya.

"Kenapa terburu-buru?"

Galang bertanya sambil berdiri di ambang pintu. Biru tidak menjawab apapun dan mengabaikannya.

"Beristirahat sebentar. Kamu baru saja selesai bekerja, kan?"

Biru tidak menghiraukan itu dan terus bergerak membersihkan beras. Mengisinya dengan air dan memasukkannya ke dalam mesin penanak nasi.

"Kenapa kamu jadi kembali seperti dulu lagi, padahal kemarin hubungan kita sudah meningkat ke tahap yang lebih baik. Apa karena kejadian sore kemarin?"

"..."

"Jadi, kamu sebenarnya tidak pernah hilang ingatan, kan? Kamu hanya pura-pura melupakannya."

"..."

Galang datang mendekat dan mematikan kompor. Dia memutar tubuh Biru agar mereka bisa saling berhadapan.

"Aku tidak peduli kamu membohongiku atau apapun itu. Aku kira kamu pantas melakukannya, setelah aku pernah melakukan hal yang sama saja. Aku anggap kita impas. Namun, ada hal lain yang jauh berarti bagiku."

Biru meringis mendengar itu. Dia berpaling tapi, Galang memegang wajahnya dan menahannya agar tetap bertatapan dengan Galang.

"Karena kamu ingat, aku harap kamu memegang teguh janjimu, Biru. Ingat apa permintaan pertamaku? Aku ingin kamu menerima semua perjuanganku tanpa penolakan."

"..."

"Jadi, bisakah kamu tetap melakukan itu?"

"...Aku ingin berhenti bekerja."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Playboy Trap |Biru&Galang|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang