Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sesungguhnya manusia milik Allah, dan kepada-Nya manusia kembali... Pasien Rini Sulistyorini meninggal dunia, selepas Maghrib, Rabu hari ini.
Ryadini tumbang. Perawat sigap menangkap. Para perawat membopong, mengangkat menuju sofa.
Dokter melepas infus, mengatupkan kedua mata pasien yang setengah terbuka. Sedangkan rahang yang juga setengah terbuka, sulit dirapatkan. Dokter sudah berkali-kali merapatkan, terbuka lagi.
Ketika dokter meninggalkan ruangan, masuklah petugas pria muda mendorong brankar kosong. Di dada kemeja seragam tertulis: "Bagian Ruang Jenazah". Dia dibantu suster memindahkan jasad dari bed ke brankar.
Petugas menyatukan kedua tangan pasien ke dada, mirip sikap shalat. Bedanya, posisi telapak kiri di atas, dicengkeramkan ke pergelangan kanan. Berkebalikan dengan sikap shalat.
Petugas mengambil seutas tali kain putih dari saku kemeja. Mengibas-kibaskan tali agar terurai, lalu mengikatkan melingkar dari bawah rahang hingga ke ubun-ubun pasien. Diikat kuat. Kelihatan dia pengalaman. Kini mulut jenazah terkatup.
Brankar didorong petugas keluar ruangan. Roda menggelinding berderit-derit. Hentakan roda melindas sambungan keramik, terdengar jelas di ruang sunyi itu. Sampai brankar menghilang.
Ryadini tersadar dari pingsan, menangis sejadinya setelah diberitahu jenazah Rini sudah dikirim ke kamar mayat. Dibimbing dua suster, dia keluar ruangan, menyusul ke kamar mayat.
Begitu sederhana akhir hidup manusia. Begitu ringkas. Mungkin, itu sekaligus mengakhiri penderitaan Rini yang ditanggung selama ini.
Eva masih duduk terbengong di bed didampingi Mama. Mereka terkesima. Sugiarti terkenang senyum Rini yang manis saat meminta maaf, kemarin.
Gadis itu kemarin seperti punya kekuatan ekstra untuk bangkit dari tidur. Tersenyum pada semua orang. Meminta maaf pada semua orang, terutama Ibunda. Seolah dia tahu bahwa itulah hari akhirnya. Sebuah akhir yang indah.
Tiba-tiba Eva menangis sesenggukan. Sugiarti kaget. Pelan-pelan dia mendongakkan wajah Eva yang menunduk.
"Ada apa, Nak?"
Eva tidak segera menjawab, sebab napasnya susul-menyusul. Dia masih berusaha menarik napas satu per satu. Lalu:
"Nggak papa, Ma," jawabnya pendek.
"Kenapa? Kamu sakit? Yang mana sakit?"
Eva hanya menggeleng, sambil mengusap airmata dengan ujung selimut.
Sugiarti masih penasaran. Dia mereka-reka yang dirasakan anaknya. Kalau sedih atas kematian Rini, mengapa tangisnya terlambat? Jenazah sudah berangkat, lebih dari lima menit lalu.
Atau, mungkinkah Eva takut, terpengaruh film pocong di televisi? Sugiarti menghibur:
"Jangan takut, Nak. Mama akan nungguin kamu terus disini."