Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ironis, dua keluarga besar, Badarudin dan Abdullah, sama-sama tidak mengetahui hasil pemeriksaan lab Eva. Belum diberitahu.
Kegembiraan mereka menyambut calon cucu benar-benar murni. Gembira luar biasa. Inilah calon cucu pertama bagi dua keluarga besar itu. Patut disyukuri. Harus disambut sebagaimana mestinya.
Maimunah ingin Nanan-Eva kembali tinggal di bekas kamar Nanan.
Sejak Nanan-Eva menikah empat tahun silam, kamar itu hanya mereka huni beberapa pekan saja. Setelah itu mereka tinggal di keluarga Badarudin.
Kini kamar sudah dibersihkan. Segala persiapan ditata Maimunah. Minggu siang hari ini Maimunah memanggil Nanan dan Eva, diajak ngobrol.
"Bagaimana kesehatanmu Nak Eva..." sapa Maimunah, saat anak dan menantu datang.
"Alhamdulillah sehat, Ma. Cuman pengen makan yang asem-asem," jawab Eva.
"Nah... itulah kalian Mama undang kesini," sergah Maimunah. "Sudah Mama siapkan rujak pencit (mangga muda). Mama juga masak sayur asem, sambal terasi."
Eva memekik kegirangan.
Dia peluk-cium Mama. Lalu dia buru-buru masuk ke ruang tengah. Membuka tudung saji di meja makan.
Tampaklah sambal kecap di cobek besar. Di sebelahnya, sebaskom irisan pencit, mentimun, bengkoang, pepaya. Juga sayur asam, ayam goreng, tempe goreng, dan cobek kecil isi sambal terasi.
"Ayo... kita langsung saja," ajak Maimunah ke Eva dan Nanan.
Abdullah keluar dari kamar, ikut bergabung. Nanan menyuruh Eva makan nasi dulu, sebelum rujak. Mereka makan bersama. Eva makan rujak dengan lahap.
"O, ya... Mama sudah rapikan kamar kalian dulu," ujar Maimunah.
Semua menengok ke kamar Nanan yang sejak tadi terbuka. Kelihatan: Bersih rapi. Bed cover baru motif kembang-kembang hijau muda.
Dan – ini yang baru – sebuah ranjang bayi dari kayu warna coklat. Lengkap dengan kelambu. Ranjang dan kelambu sudah terpasang, tapi masih tertutup plastik. Masih baru.
Eva-Nanan terkejut. Eva sampai meninggalkan rujaknya. Beranjak, masuk menengok dalam kamar.
Baby box indah. Tak terlalu sempit untuk kamar ukuran 3 X 4 itu. Penempatan di pojok, membuat ruangan terkesan lega.
Eva kembali memeluk Mama. Mereka berdiri di depan kamar.
"Terima kasih, Ma... aku belum sempat beli."
"Papa yang membelikan," ujar Maimunah, melirik suami.
"Terima kasih, Pa..." ujar Eva. Abdullah tersenyum saja.
Nanan hanya melihat mereka. Dia tetap duduk, sambil menggerogoti paha ayam di genggaman.
Dia, tampaknya tak tertarik melongok kamar. Dia malah melihat potensi konflik. Embrio konflik. Pada saatnya nanti bakal meledak jadi konflik beneran. Tak mungkin dicegah lagi.
"Kapan mulai kalian tempati?" tanya Maimunah pada Eva.
Eva melirik suami yang asyik makan. Bertanya:
"Kapan kita pindah sini, Mas?"
"Gini, Ma..." ujar Nanan pada Mama. "Mama Eva ingin bayi kami tinggal disana. Dia sudah ngomong ke aku seminggu lalu."
Sepi. Kaku.
Semua terdiam. Muncul rona kecewa di wajah Maimunah. Eva baru tahu pesan Mama pada Nanan soal itu. Abdullah datar tanpa ekspresi.
Segera, Maimunah mencairkan situasi:
"Ya, nggak masalah. Setelah bayi lahir, dari rumah sakit kesini. Sebulan disini lalu sebulan disana. Gantian. Gak masalah 'kan?" kata Maimunah.
Semua tak menjawab. Semua tak komentar. Semua takut masuk ke persoalan ini.
"Gimana Eva? Kamu yang berhak memutuskan, Nak," tanya Maimunah.
"Saya... saya... ikut kata Mas Nanan, Ma."
"Gimana Nan?" tanya Maimunah beralih ke Nanan.
"Gampang. Nanti aku bicarakan dengan Mama Eva ya Ma," jawab Nanan.
"Putuskan aja. Kalian yang berhak," desak Maimunah.
Dalam kondisi meruncing begini, Abdullah tampil bicara:
"Papa kira, sebaiknya Eva-Nanan merundingkan ini dengan Mama-Papa Eva. Semua bertujuan baik, kok. Jangan sampai tujuan baik, hasil tidak baik," tutur Abdullah.
Kata-kata Abdullah terasa adem. Walaupun Maimunah tidak puas.
------------------ Lari ke 49 Apakah keluarga besar benar-benar adem?