Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sampai disini air mata Sugiarti meleleh. Badan terbungkuk, kedua tangan menyatu di pangkuan. Mata berkedip, airmata pun jatuh. Bibir komat-kamit, lirih, menyebut asma Allah berulang-ulang.
Dokter tidak tega melanjutkan paparan. Dia tetap berdiri mematung di dekat patung. Mungkin tertular larut dalam haru. Tapi sebagai profesional dia berjuang menguasai diri. Suasana kini sepi.
Sugiarti memecah kesunyian:
"Dokter... bisakah anak saya sembuh..." suaranya bergetar.
"Ibu harus sabar..."
"Adakah obatnya?" potong Sugiarti.
"Semua penyakit ada obatnya, Bu."
"Berapa lama dia sembuh?"
"Allah Sang Maha Penyembuh."
"Benarkah sakitnya seperti itu?" mata Sugiarti mulai menatap mata dokter.
Sekarang dokter kembali ke meja kerja. Mengambil file yang dia pegang tadi. Mencabut lembaran-lembaran dari bendel. Meneliti lagi.
"Berdasarkan uji laboratorium darah Eva, inilah hasilnya. Ibu berhak memiliki," kata dokter, menyerahkan lembaran kertas.
Sugiarti menerima dua lembar kertas. Diamati sekilas. Huruf-hurufnya buram, karena airmata terus mengalir. Juga, dia tidak bisa konsentrasi, karena hati gundah.
Dokter memahami, segera menjelaskan.
"Itu tes anti-nuclear antibody, disingkat ANA. Hasil positif. Satu lagi tes anti-double stranded DNA antibody, disingkat Anti dsDNA. Hasil juga positif," tuturnya.
"Apakah dengan ini sudah pasti anak saya kena sakit itu?"
"Ada beberapa indikator diagnosis Lupus," jawabnya.
Antara lain, ruam merah di pipi Eva. Juga demam muncul-hilang sejak dua tahun lalu ditangani dokter lain. Radang tenggorokan terus-menerus. Trombosit sering turun, disangka demam berdarah atau tipus. Nyeri sendi di pemeriksaan tadi pagi. Rambut rontok.
"Puncaknya, pemeriksaan ANA dan DNA," tambah dokter.
"Tapi, anak saya sehat. Bisa makan. Tidak diinfus lagi. Bisa lari..." Sugiarti sengit.
"Lupus penyakit kronis, Bu. Menahun. Lambat tapi pasti."
"Berarti kerusakan tubuhnya hanya perkiraan?"
"Berdasarkan standar diagnosis kami, hampir pasti Eva kena Lupus."
"Apakah dia tidak bisa sekolah?"
"Berkegiatan, termasuk sekolah, tetap seperti biasa. Asal rutin minum obat."
"Dokter belum menjawab pertanyaan saya: Apakah bisa sembuh?"
"Tidak."
Kontan, meledak tangis Sugiarti. Tubuhnya sampai terguncang-guncang. Mendung yang semula bergelayut, kini tumpah jadi hujan lebat.