39. Uji Cinta, Uji Logika

2.4K 88 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sementara, di kamar Nanan tidak bisa tidur. Perdebatan dengan Ortu tadi bukan satu-satunya perdebatan tentang rencana menikahi Eva. Sudah sering.

Lebih seru lagi adalah perdebatan dia dengan Eva soal itu. Juga sudah berkali-kali.

Terbaru, di RSCM siang tadi. Saat dia menggantikan Sugiarti menjaga Eva. Dia duduk di kursi kecil, Eva berbaring di bed.

Pembicaraan dibuka Eva:

"Apa ya, untungnya kita menikah, Mas?" tanyanya.

Nanan diam, sebab Eva melanjutkan:

"Kita memang bergaul asyik. Bicara nyambung. Mas melucu, aku ketawa. Aku ngebanyol, Mas ketawa. Kita sama-sama menyenangkan dan saling menghormati," tuturnya.

Nanan menunggu, Eva terus bertutur:

"Tapi, giliran aku sakit begini, Mas pasti sedih terbebani. Aku jadi tambah sedih lagi, karena melihat Mas sedih. Trus... untuk apa kita menikah? Mengapa kita tidak berteman aja sampai tua?"

Tidak gampang Nanan menjawab. Salah bicara bisa bubar. Dia pilih kalimat-kalimat puitis filosofos.

"Inti cinta itu adalah siap bergembira dan siap berkorban, Eva. Kita disatukan oleh cinta, maka dalam perjalanan hidup kita akan menemukan gembira dan berkorban. Kalau kita mau menerima kegembiraan cinta, konsekuensinya kita juga harus mau berkorban," tuturnya.

Eva membalas, cepat:

"Ya, itu idealisme cinta. Sedangkan kita, tidak ideal. Ada ketidak-seimbangan antara gembira dengan korban. Ada ketidak-seimbangan antara kegembiraan yang aku terima, dengan kegembiraan yang Mas terima. Ada ketimpangan porsi gembira yang kita terima. Ada ketimpangan porsi korban yang kita tanggung," tutur Eva.

Nanan tahu Eva cerdas. Tapi, Nanan harus memberitahukan ini:

"Pandangan Eva itu berhenti pada masa sekarang ini. Sedangkan kehidupan terus berjalan. Ada masa aku berkorban merawatmu. Tapi, ada masa kamu berkorban merawatku. Ada waktu aku mendorong semangatmu. Sebaliknya, ada waktu kamu mendorong semangatku. Itulah cinta, Eva."

"Cinta melekat komitmen," ujar Eva.

"Persis. Tanpa komitmen, tidak ada cinta," sahut Nanan.

"Komitmen inilah menyakitkan."

"Lho, tergantung sudut pandang, Eva."

"Gini, Mas. tolong dengarkan aku...."

Dijelaskan Eva, Mama selalu setia merawat selama Eva sakit. Merawat luka berbulan-bulan. Selalu siap dengan pispot, selama Eva tergolek tak berdaya di rumah.

Itu di rumah.

Sedangkan di rumah sakit, Mama biasa menunggu. Tidur sambil duduk, di kursi kecil yang diduduki Nanan itu. Supaya bisa tidur, badan ditekuk, lalu kepala rebah di samping Eva di bed. Begitulah cara Mama tidur di RS berbulan-bulan. Selama bertahun-tahun.

728 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang