62. Membangun Rumah Impian

1.7K 69 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Awal April 2012 Eva menyampaikan ke Nanan, tanah yang mereka beli di Pondok Gede perlu dipikirkan dibangun rumah.

Eva kini sudah punya tabungan cukup. Operasi angkat limpa, Agustus lalu ternyata gratis, berkat bantuan Ketua YLI Tiara Savitri.

Kamar gratis dari RS Kramat. Biaya operasi, setara setahun gaji Nanan, juga gratis. Ditanggung donatur (hamba Allah). Obat-obatan dari donator juga kepada YLI, diteruskan ke Eva.

Sebagian dokter menolak dibayar, karena kenal Eva, sesama berkantor di RS Kramat.

Tabungan siap digunakan membangun rumah sederhana. Dia minta Nanan menambahi. Mendengar itu, Nanan mengeluh:

"Tabunganku sedikit, Dik. Kalo tabunganmu segitu ditambah tabunganku, kayaknya belum cukup untuk membangun rumah," kata Nanan.

"Kalo gitu, supaya uang gak habis, kita belikan material bangunan aja. Trus ditumpuk di tanah itu," ujar Eva.

"Nah, itu bagus. Ditumpuk, sedikit-sedikit kita tambahi material. Setelah kita punya uang, barulah dibangun."

Sejak itu mereka mulai membeli bahan bangunan. Setiap ada uang, mereka menambahi. Batu, pasir, semen, besi, kayu, genteng. Tapi, sampai akhir 2012 belum juga mampu membangun rumah.

Sepanjang 2012 dan 2013 adalah era zero flare up (tanpa kambuh). Jarang-jarang Eva tidak kambuh selama hampir dua tahun. Rekor terlama tanpa kambuh.

Padahal, kegiatan sangat padat. Job MC banyak. Jika kebetulan tidak MC, Sabtu sampai tengah malam sibuk di markas Dahlanis. Minggu pagi sudah senam di lapangan Monas bersama Odapus anggota YLI.

Hasil kerja sebagai MC ditambah gaji Nanan dicurahkan untuk terus menambah material bahan bangunan. Eva-Nanan gigih menabung.

November 2013 di atas tanah mereka mulai dibangun rumah.

Akhirnya... impian mereka bakal segera jadi nyata.

Eva minta bantuan kawan, arsitek, menggambar rancang bangun. Eva yang aktif mengarahkan bentuk dan tata letak bangunan. Arsitek menyempurnakan, menggambar.

Keinginan Eva, dua kamar tidur. Sebisanya, ada halaman depan dan belakang. Ukuran demi ukuran ditentukan, mengisi lahan yang sempit. Mereka banyak debat soal ukuran.

Gambar final, langsung menyewa kontraktor. Lebih tepatnya, sekelompok tukang pembangun rumah. Pembangunan pun dimulai...

Tapi, di bulan yang sama Eva mengeluh ke Mama, matanya bermasalah. Pandangan memburam.

Perubahan jadi buram melesat terlalu cepat.

September 2013 normal, Oktober 2013 mulai buram. Kini, sebulan kemudian, obyek berbayang. Benda pada jarak lima meter, kelihatan berbayang. Seperti kembar. Pada jarak lebih jauh lagi: Kabur. Buram.

Allah maha besar... lagi maha mengetahui. Apa yang baik bagi Allah, belum tentu menyenangkan manusia.

Pakar tempat Eva bertanya adalah Prof Zubairi. Eva sudah konsultasi ke pakar.

Mendengar itu Zubairi kaget. Dia menduga, mata Eva bukan minus, melainkan: Lupus sudah menyerang mata...

Untuk memastikan harus diperiksa. Pemeriksaan tidak sesederhana pemeriksaan mata di optik. Ini khusus. Spesial. Harus melalui serangkaian uji laboratorium. Detilnya mengerikan.

Kegelisahan ini disampaikan Eva ke Mama:

"Kata Prof Zubairi, diperiksa dulu untuk memastikan," ujar Eva.

Sugiarti menunduk. Diam. Merenungi nasib anaknya yang terlalu malang.

Dia menyembunyikan borok di hati yang terus-menerus dirobek-robek Lupus. Tapi, dia harus kuat. Dia harus kelihatan seolah-olah kuat. Dia harus menguatkan Eva:

"Kalo gitu, ayo periksa ke RSCM," kata Sugiarti.

"Ntar aja, Ma. Setelah pembangunan rumah jadi. Ini gak mendesak."

"Ayo... Mama bantu biaya."

"Gak usah, Ma... Aku sudah punya uang, kok. Nanti, tunggu setelah rumahku jadi."

"Terserah kamu, anakku..."

Eva cepat menangkap getar hati Mama. Dia spontan menyesal sudah mengeluh.

Dia tahu, Mama sudah gempor digempur Lupus. Sama gempor dengan Eva. Apa boleh buat, hanya Mama curahan hati. Tiada lain.

Dialog ibu-anak di malam temaram itu singkat. Tidak bertele-tele. Namun mereka sama-sama tahu, bahwa bahaya besar sedang menunggu. Tidak bisa dihentikan. Tidak bisa ditunda.

Benci saat sedih, cinta tatkala gembira. Dua sisi hidup yang tak terpisahkan. Eva punya pengalaman hidup melebihi rata-rata orang. Dia kenyang pengalaman. Membuat dia ahli mengelola: Sedih jangan berlarut-larut.

Sedih-gembira harus diterima ala kadarnya. Sesuai porsi. Sedih tidak menangis meraung-raung. Gembira tidak terbahak-bahak. Harus seimbang. Sebab, dua sisi ini selalu datang, kapan pun juga.

Kalau ini dipikirkan terus-menerus, pikir Eva, hidup hanya berisi keluhan. Bisa stress, lalu depresi. Berakibat fatal. Harus ada rekreasi supaya seimbang.

--------------------Lari ke 63 Ada sesuatu yang aneh disana.

728 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang