MOS selesai hampir pukul tiga sore. Eva pulang jalan kaki, ke rumah kerabat, sekitar 300 meter dari sekolah. Jika naik angkot cuma lima menit. Dia pilih jalan.
Itu rumah Syamsudin Wibowo, saudara Papa, karyawan swasta. Eva memanggilnya Om Bowo. Isteri Om Bowo, Tante Erna, belum punya anak dari belasan tahun menikah.
Badarudin menitipkan Eva ke keluarga Bowo. Dijelaskan, Eva sakit, dilarang capek dan kena matahari. Tiap hari Eva akan kesitu, sore dijemput Badarudin sepulang kerja.
"Assalamualaikum..." salam Eva.
"Waalaikumsalam... O, Eva. Masuk, Nak. Sudah makan, belum? Tante masak sayur bayam, nih."
"Sudah makan di sekolah, Tante. Jangan repot."
"Ya sudah, ganti pakaian dulu. Anggap rumahmu sendiri."
Pakaian Eva sudah disitu. Ketika ganti pakaian, Eva baru ingat surat dari cowok tadi. Dibuka:
"Hi... Eva, namaku Ryantori Ahmadi, panggilan Ryan, kelas 1.2. Aku suka kamu pede mengadepin banyak orang. Ngomong2 critanya gimana sih kok bisa gitu? Kita bisa ngobrol nanti kan? Cita2ku jadi dokter seperti bokap. Sampe temu di sekul, ya..."
"Keren juga dia," gumam Eva.
Wajah cowok itu tak begitu jelas dilihat Eva. Hanya sekilas, kayaknya tampan. Setelah itu yang terlihat bagian belakang. Rambut hitam pendek, kulit putih, tinggi kira-kira sama dengan Eva 168.
Baru kali ini Eva suka pada cowok. Mungkin, karena si cowok tegas dan berani, memuji, punya cita-cita keren. Atau gabungan dari itu semua.
Dia menilai, suka pada cowok beda dengan suka pada cewek. Kalau pada cewek bisa saling cerita, ledek-ledekan, ketawa lepas, minta jajanan seenaknya. Kalau pada cowok, jaga gengsi, penampilan dikeren-kerenin, ngomong diatur.
Eva melihat fisik cewek biasa saja, begitu juga jika fisik dia dilihat cewek. Tapi dengan cowok, beda. Kalau fisik Eva dilihat cowok, malu tapi senang. Sebaliknya dia melihat fisik cowok pemberi surat, kagum tapi pura-pura biasa.
Rasa ini muncul belum lama. Kira-kira satu-dua bulan setelah dia menstruasi pertama. Dia mulai mens sebelum dirawat di RSCM. Sejak itu pandangannya terhadap cowok berubah. Tak seperti masa kecilnya dulu.
Eva melihat (punggung) cowok pemberi surat tadi, terasa: Gleduk-gleduk... di dalam dada. Bergetar, tapi bukan kaget.
Terasa: Nyut... nyut... nyut... di pembuluh darah. Tensi naik, tapi bukan hendak marah-marah. Malu, tapi ingin lari mengejar untuk melihat wajahnya.
"Eva kok bengong," tegur Erna.
Refleks, Eva menggenggam surat. Dia lupa menutup pintu kamar yang memang disediakan khusus untuknya.
"Kertas apa itu? Surat cinta, ya?" ledek Erna.
"Oh... catatan MOS tadi, Tante."
"Ya sudah, istirahat dulu. Papamu masih lama jemput."
KAMU SEDANG MEMBACA
728 HARI
RomanceIni kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini). Mengapa novelis terke...