Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
2 Juli 1997 Eva kembali dilarikan ke RSCM. Sesak napas hebat, demam, muntah berkepanjangan, dan badan menguning, terutama mata.
Kali ini Eva tidak berani bertahan dirawat di rumah. Sebab, sakit di perut luar biasa hebat. Sakit tembus ke punggung. Sampai dia berteriak-teriak histeris saat dibawa Badarudin ke RSCM. Napas tersengal-sengal seolah itulah napas terakhir.
Tiba di UGD RSCM diperiksa, disuntik, hasilnya dia mulai tenang. Dokter memeriksa medical record Eva. Dugaan sementara dokter, kristal yang selama ini sudah menumpuk di kantung empedu mulai membatu.
Setelah ditangani di UGD, Eva dikirim masuk ke ruang perawatan. Dokter memutuskan, dia harus dirawat inap. Balik lagi Sugiarti begadang di RS.
Sepekan Eva dirawat, Prof Zubairi mengatakan kepada Sugiarti, berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa kristal di empedu Eva sudah membatu.
Hasil USG (Ultrasonography) menunjukkan ada sebuah batu berdiameter 13 milimeter di dalam kantung empedu.
Batu tersebut merupakan endapan kristal dari makanan berlemak. Dokter menunjukkan foto hasil USG kepada Sugiarti, dan menjelaskan secara lengkap.
Juga, diketahui bahwa sudah terjadi peradangan di kantung empedu. Jadi, tidak ada jalan lain selain operasi membuang kantung empedu.
Sugiarti kaget. Seperti biasa, dia mulai menawar agar menghindari itu. "Tolonglah Dok. Usahakan tidak ada pembuangan empedu," katanya.
Zubairi mengatakan, itulah jalan terbaik bagi Eva. Sebab kantung empedu sudah rusak. Tidak mungkin dipertahankan lagi. Jika dipertahankan, justru bakal jadi masalah kelak.
Anggota tim dokter lain, Prof Mutholib dan dr Abidin, berpendapat sama. Jika itu dibiarkan, radang di kantung empedu akan bernanah. Kantung empedu bisa pecah. Isinya menyebar kemana-mana. Tindakan medis akan lebih rumit lagi.
"Kalau begitu, gantikan empedu saya ke Eva," kata Sugiarti.
Zubairi menghentikan penjelasan. Reaksi begini sering dihadapi. Tetap saja dia terharu. Dengan sabar dia mengatakan:
"Ibu... belum ada transplantasi kantung empedu," ujarnya.
Sugiarti masih bertahan. Dia berharap kejadian seperti dulu, saran membuang limpa, akhirnya dibatalkan.
Namun, kali ini kondisi beda dengan dulu. Tim dokter sepakat bahwa empedu Eva terpaksa harus dibuang. Keputusan terserah pasien dan keluarga.
Sugiarti menemui jalan buntu. Dia menelepon suami di kantor, memberitahukan ini. Pembicaraan cukup lama dan alot. Mereka kemudian sepakat, ini harus disampaikan ke Eva yang kini sudah 21 tahun.
Dia sampaikan itu ke Eva. Apa reaksi Eva?
"Ngeri amat, ya Ma."
Sugiarti tak kuasa menahan tangis. Sebenarnya dia sadar, tidak boleh menangis di depan Eva. Dia harus kelihatan tegar, apa pun terjadi. Supaya Eva juga tegar. Tapi apalah daya, dia kecplosan tangis.