Bagian Satu (1986 - 1989) Dari Dokter ke Dokter

10.4K 242 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Imajinasi anak

Sering tak terduga

Maka, jangan remehkan

---------------

1. Bawelnya Anak-anak

Di SDN 3 Pondok Bambu, Jakarta Timur, ruang kelas 5 – A, guru mengevaluasi soal ujian Catur Wulan (Cawu) 1. Ujian sudah selesai pekan lalu. Ini jadi bekal ujian Cawu 2 dan 3 nanti.

Soal begini:

Berikut ini yang termasuk tanaman perkebunan adalah:

a. padi, jagung, kacang

b. tebu, singkong, ketela

c. coklat, teh, padi

d. teh, kopi, coklat

Ibu Guru mengatakan: Jawaban benar adalah "d".

Sama seperti jawaban Eva. Namun, Eva berpendapat, bahwa jawaban "b" mestinya juga benar. Dia angkat tangan, minta bicara:

"Silakan Eva..." kata Guru.

"Waktu ujian kemarin, saya sempat bingung, Bu. Sebab ada dua jawaban benar," katanya.

"Jawabanmu apa?" potong Guru.

"D, Bu."

"Ya sudah. Benar."

"Tapi, jawaban b juga benar, Bu."

"Sudah Ibu katakan, Eva... Kalau jawabanmu d, maka benar."

Eva diam. Semua murid juga diam.

Eva protes karena waktu kecil tinggal di kampung. Dia akrab mendengar nenek menyebut kebon tebu, singkong, ketela. Itulah mengapa dia bersikeras, jawaban "b" juga benar.

Eva lahir di Dusun Duduhan, Desa Mekarsari, Kecamatan Kotawinangun, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Minggu Pon, 5 September 1976.

Itu dusun kecil dengan jumlah penduduk sekitar seratus lima puluh keluarga pada 1980-an. Disana waktu itu hanya ada satu TK dan dua SD. Eva sekolah TK disana. Tinggal bersama nenek dari pihak ayah, Musinah. Kadang dengan nenek dari pihak ibu, Sukarmi.

Ayah Eva, Badarudin, anak keluarga petani. Orang tuanya pemilik sawah seper-delapan bahu. Ini ukuran tanah yang digunakan masyarakat Jawa peninggalan Hindia Belanda. Bahu dari bahasa Belanda: Bouw, artinya garapan. Berdasarkan cultuurstelsel, 1 bouw 7069,5 meter persegi. Tapi, orang tua Badarudin tak pernah mengukur tanahnya.

Ibu Eva, Sugiarti, anak keluarga tentara. Ayah Sugiarti, Masribi anggota ABRI bertugas di Kodim 0709 Kebumen. Tapi, ibunda Sugiarti, Sukarmi, bertani juga. Mengurus sepetak kebon milik keluarga ditanami singkong, ubi, kentang.

Badarudin dan Sugiarti waktu kecil tinggal sedusun. Mereka saling kenal, walau tidak berteman. Badarudin kelahiran 1950 lebih tua delapan tahun. Badarudin lulus SMA, melanjutkan ke Univeritas Jakarta, mengambil jurusan Administrasi Niaga. Tidak sampai lulus, lalu dia jadi PNS Pemprov DKI. Tahun 1975 dia menikahi Sugiarti di desa, lalu diboyong ke Jakarta.

728 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang