"Sebelum kita deal pembuatan novel, aku ingin kamu jujur: Lupus menular atau tidak?" tanyaku (Penulis Novel) pada Eva Meliana, Senin malam, 18 Februari 2013.
Eva menjawab: "Sama sekali tidak." Suaranya jelas.
Suara Eva mantap. Tegas tapi merdu. Seperti sedang menyanyi. Meluncur lembut dari bibir tebal bawah, terpoles gincu tipis.
Waktu itu saya belum tahu dia MC (Master of Ceremony) sekaligus penyanyi. Kemudian, dia cerita biasa menyanyi di panggung, sekadar bonus bagi penyewa jasanya sebagai MC.
Malam itu kami (wawancara pembuatan novel ini) di ruang tamu 3 X 4 meter kedap suara. Ruang tamu kantor saya bekerja, Redaksi Indonesiarayanews, Jalan Iskandarsyah 1 nomor 15, Blok M, Jakarta.
Itulah wawancara pertama Novel 728 HARI. Itulah pertanyaan pertama.
Pertanyaan itu membuat Eva pertama kali tidak suka pada saya. Kelihatan dari sorot mata, yang tidak bisa dia sembunyikan.
Ya... gak masalah dia tidak suka. Bodo amat. Saya lebih pilih aman kesehatan. Menutup kemungkinan tertular penyakit.
Sebab, pada perkenalan kami, enam hari sebelumnya (12 Februari 2013) dia sudah katakan. Dia penyandang Lupus. Dari situ dia kehilangan kantung empedu dan limpa. Saya ngeri. Sehingga saya tanyakan penularan.
Meskipun sudah dia jawab "tidak menular", saya penasaran. Di laptop saya mencatat, sekalian tanya ke Google: Proses Penularan Lupus. Klik...
Tok... tok... tok...
"Silakan masuk," kata saya.
Dika, staff kantor kami membuka pintu, masuk ruangan.
"Mau minum apa, Pak?" tanya Dika ke saya, lebih ditujukan pada Eva.
"O ya, Eva... mau minum apa? Disini hanya ada kopi dan teh. Mau manis, sedang, atau pahit?" tanya saya, berusaha ramah.
"Air putih saja," jawab Eva.
"Kalau pak Dwo?" tanya Dika.
"Gak usah... Kopi masih di ruang kerja saya."
Dika keluar. Tak sampai tiga menit dia kembali membawa nampan, segelas air putih. Sementara, saya baca hasil searching penularan Lupus: "Tidak Menular".
"Silakan diminum, Eva," saya basa-basi.
"Maaf pak, saya tidak minum dingin," kata Eva.
"O, sebentar. Saya ganti," saya beranjak, mengambil gelas Eva, membawa keluar.
"Maaf pak... Jangan repot gitu," Eva mencegah saya hendak keluar.
"Ah... saya 'kan tuan rumah. Tenang aja..."
Saya keluar, mengganti minum Eva.
Sebagai 'Orang Timur' saya dilarang mengatakan: "Cerewet amat, sih elu... Masak Lupus gak minum dingin?" Tidak. Dilarang keras ngomong begitu. Tidak etis.
Tapi, betapa kaget saya ketika kembali masuk. Badan Eva miring, mengamati monitor laptop. Astaghfir... saya belum menutup searching... Dia pasti lihat monitor "Tidak Menular".
Saya pendam kekagetan. Saya ketawa:
"Tidak etis, lho..." kata saya, sambil meletakkan gelas di meja.
Eva ternyata ketawa juga. Dia malah balik menusuk saya:
"Bapak juga tidak etis, 'kan? Tidak percaya pada tamunya."
"Lho... saya 'kan wartawan, Va. Saya dilatih, dilarang cepat percaya," saya menangkis.
"Wartawan kok gak tau Lupus?" bibirnya mengerucut. Dia melanjutkan tusukan.
"Ada ribuan penyakit di dunia. Saya tidak tau semuanya," saya merentangkan kedua tangan.
"Saya 'kan sudah bilang pada pertemuan pertama kemarin, saya Lupus, pak... Mengapa tidak Bapak searching kemarin?" tusukan dia kian gencar.
"Kemarin kita belum deal. Sekarang pun, kita masih akan deal novel."
"Bapak jago ngeles... Ampuuun..."
Kami ketawa terbahak-bahak.
Suasana seketika mencair. Sorot mata Eva yang semula tidak suka saya, sudah berubah sebaliknya. Suasana jadi kondusif.
Malam semakin larut. Dari balik jendela kaca ruang tamu, bintang timur berkedip-kedip. Bulan tidak tampak. Mungkin ngumpet di balik pohon mangga di halaman samping. Wawancara baru saja dimulai. (bersambung)
---------- Tunggu sambungan novel di chapter 62 Kian seru... Tapi, sabar ya...
Note:
Jika kisah nyata ini inspiratif, cepet share ke teman-2mu. Setelah difilmkan nanti, kisah ini dihapus.
KAMU SEDANG MEMBACA
728 HARI
Roman d'amourIni kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini). Mengapa novelis terke...