Ternyata Eva tidak rewel, mendengar penjelasan Mama tentang rencana BMP, besok. Wajahnya sempat meringis, mata dipicingkan, tanda ngeri. Terutama sewaktu mendengar kata "bor".
Namun itu hanya beberapa saat saja. Beberapa detik saja. Dia hanya bertanya enteng:
"Berapa lama prosesnya, Ma?"
Nah... ini dia yang belum sempat dijelaskan dokter, tadi. Juga, Sugiarti tidak sempat bertanya. Mereka tadi terlalu ulet bernegosiasi mencari alternatif cara pemeriksaan.
"Mama lupa menanyakan. Dokter lupa menjelaskan. Dia sering mengatakan, itu tidak sakit... Ini aman karena ditangani dokter ahli... Ntar Mama tanyakan dulu, ya."
"Mama ini gimana, sih?"
"Ntar, Mama tanya dokter," ujarnya, bergegas, beranjak.
"Gak usah.. Gak usah... Gak papa, Ma. Aku gak takut, kok. Yang penting aman. Penyakitku segera diketahui."
"O, ya. Ntar sore kamu diambil darah lagi. Katanya, untuk mengetahui kondisi terbaru."
"Nggak masalah. Mama nggak usah nangis, nggak usah sedih."
"Mama khawatir... kamu syok, Nduk..." ujar Sugiarti.
"Nggak usah khawatir, Mama... aku yang njalani nggak takut."
"Tapi, besok waktu BMP jangan gerak ya, sayang..."
"Aku ngerti, Ma. Dulu, Mama pernah bilang, kalo disuntik jangan gerak. Ntar jarumnya putus di dalam. Aku masih ingat, Ma... BMP sama aja. Cuman, ini jarum suntiknya bor."
Sugiarti tak menduga Eva seberani ini. Bicara enteng begitu rupa.
Dulu, jika diberi tahu akan disuntik, pasti Eva menangis kelojotan. Apalagi jelang detik-detik disuntik, tangis meledak menjadi-jadi. Berguling-guling berontak.
Sugiarti tak menduga kini terjadi kebalikan. Dia menangis, Eva meredam.
Eva sebenarnya syok mendengar penjelasan Mama soal BMP. Tapi entah mengapa hanya sekejap, lalu hilang sendiri. Tidak dibuat-buat.
Sejak beberapa waktu lalu Eva sudah pasrah atas apa yang bakal terjadi dalam sisa hidupnya. Dia sudah berserah diri kepada Tuhan. Apa pun yang terjadi.
Jarum suntik dan jarum infus sudah diakrabinya. Jadi saudara. Tadi pagi jarum infus baru dilepas. Kini akan meningkat ke mata bor. Ibarat dapat saudara baru. Dapat pengalaman baru.
Eva justru sedih melihat Mama menangis. Dia membayangkan, andai dia jadi Mama. Begitu berat beban hatinya. Begitu pontang-panting jalan hidupnya.
Padahal Mama tidak bersalah. Hanya demi merawat dan menjaga anak-anak. Menjaga dari apa pun, termasuk menjaga agar anaknya tidak takut memandang hari esok.
"Selamat sore, Eva..." dokter Chaterine masuk diiringi seorang suster.
"Selamat sore, Dok."
"Bagaimana kondisimu sore ini?"
"Baik, Dok. Sejak semalam sudah tidak demam, tidak pusing."
"Sekarang kita ambil darah, ya."
"Hayoo aja, Dok."
dr Chaterine dan suster tertawa. Sugiarti tersenyum bangga memandang anaknya pemberani.
Pengambilan sampel darah pun dilakukan suster. Sementara, dokter berbisik-bisik sesuatu ke Sugiarti, kemudian Sugiarti mengangguk-angguk.
Usai pengambilan darah, dokter memeriksa Eva dengan stetoskop. Dilanjutkan dengan senter. Menyorot bagian dalam tenggorokan, mata, dan paling lama memeriksa pipi.
Ruam kemerahan kian jelas disitu. Kini ruam membentuk seperti sayap kupu kupu, membentang dari pipi kiri dan kanan.
"Eva sudah mantap BMP, ya?" tanya dr Chaterine.
"Seratus persen, Dok."
"Nanti jangan gerak, lho. Nggak sakit, kok. Aman, karena ditangani dokter ahli."
"O, ya. Berapa lama itu, Dok?"
"Nggak sampai lima menit."
Eva tertawa kecil. Dokter dan suster terheran. Lebih heran lagi, karena Eva berkata begini:
"Apa nggak bisa lebih lama lagi, Dok?"
"Ha... apa?"
Semua tertawa.
Mereka kaget Eva bisa bercanda soal BMP. Sedangkan, orang dewasa pun kebanyakan ngeri jika akan menjalani itu. Tentu, dokter senang. Sehingga dia berani melakukan semacam gladi resik.
"Nanti pelaksanaannya begini, Eva. Coba, kamu tidur miring," ujar dokter.
Eva memiringkan badan ke kiri. Lalu dokter menekan pundak dan pinggul Eva, sedikit mendorong.
"Sedikit lagi. Posisimu kayak membungkuk gitu," kata dokter.
Eva menekuk tubuh sedikit lagi. Meringkuk, tulang punggung melengkung. Dokter membenarkan posisi ini.
"Nah, sempurna. Trus... cuuus... Selesai," Chaterine mencolek punggung Eva.
Contohnya sederhana sekali.
Eva kembali terlentang. Dia memandang dokter dengan senyum. Dokter membalas dengan senyuman pula. Sebelum berpisah, dokter menyampaikan jadwal pelaksanaan kepada Sugiarti:
"Bu, pelaksanaan besok tidak bisa pagi. Diundur sore, pukul 16.00."
"Baik, Dok."
"Terima kasih, Bu. Sampai jumpa besok, Eva..."
"See you... Dok..."
----------------- Lanjut ke 14 Sebaiknya Anda Tutup Mata
KAMU SEDANG MEMBACA
728 HARI
RomanceIni kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini). Mengapa novelis terke...