Pagi, untuk pertama kali Eva dikunjungi dokter, namanya sesuai di medical status: dr Prasetyo Wibisono. Wajah tampan, usia sekitar 40, badan tinggi besar. Dia didampingi dua perawat.
"Selamat pagi... apa kabar anak cantik?" sapa dokter ramah.
"Selamat pagi. Saya baik, terima kasih."
"Apakah semalam bisa tidur?"
"Bisa. Saya sakit apa sih, Dok?"
"Tunggu hasil pemeriksaan, ya."
"Kapan, Dok?"
"Sabar, tidak lama lagi."
Perawat memasang thermometer di ketiak kanan, dan tensimeter di lengan kiri. Lengkaplah, di lengan kanan ada infus juga.
Usai perawat, ganti dokter memeriksa dengan stetoskop. Dilanjutkan senter menyoroti bagian dalam mulut Eva, mata dan telinga.
Dokter tertarik pada rona kemerahan di pipi kiri dan kanan. Tepatnya, ruam-ruam warna merah. Seperti efek alergi. Tapi, ini tidak sampai bentol seperti bekas digigit nyamuk. Hanya bintik-bintik halus.
Pipi pasien disenter, diamati seksama. Dipencet-pencet. "Sakitkah?" Eva menggeleng. "Apakah gatal?" tanya dokter lagi. Eva menggeleng.
"Adakah yang begini di bagian lain? Coba buka bajunya," kata dokter.
Segera tirai ditutup suster. Di dalam tirai ada dokter, dua suster, dan Sugiarti. Eva membuka pakaian, tinggal pakaian dalam.
Ini pengalaman baru Eva di pemeriksaan. Dokter meneliti semua bagian. Tidak ditemukan ruam seperti itu lagi. Pemeriksaan selesai, setelah dokter menulis sesuatu di medical status.
"Sakitnya apa, Dok?" tanya Sugiarti.
"Nanti setelah hasil uji laboratorium, Bu."
Dokter mengatakan ke suster, setelah infus habis tak perlu diganti. Kondisi Eva membaik. Suster mengangguk. Lalu mereka keluar meninggalkan ruangan.
Eva termenung sedih di bed. Siang nanti jadwal dia latihan baris Paskibraka di sekolah. Apa daya, kini dia bagai burung terkurung sangkar. Dia hanya membayangkan, teman-teman yang bangga latihan.
Jadi anggota Paskibraka tidak gampang. Kriteria pertama, tinggi badan Eva 165 Cm. Kedua, postur berdiri dan jalan, tegap. Ketiga, rongent struktur tulang belakang dan kaki, ideal. Tulang kaki tidak membentuk O atau X.
Padahal, SMPN 51 Pondok Bambu, Jakarta Timur, sudah diminta pihak Walikota mengirimkan Paskibraka di upacara HUT Kemerdekaan RI di kantor Walikota, tahun depan. Berarti Eva ikut. Setelah itu akan diseleksi tingkat provinsi. Setelah itu seleksi nasional, mengikuti upacara di Istana Negara, dipimpin Presiden RI.
Tapi, andai Eva bisa pulang besok, masih mending. Dia bisa latihan basket, lusa. Guru olahraga Pak Roto pasti menunggunya. Sebab, dia termasuk pemain andalan dari kelas satu.
Eva dikagetkan masuknya serombongan dokter dan suster. Tapi, bukan dokternya tadi. Rombongan ini langsung menuju bed Rini, di sebelah.
Kondisi Rini pagi ini beda dibanding semalam. Kelihatan sehat. Masker oksigen baru saja dilepas suster. Tampaklah hidung mancung, bibir tipis merah pucat.
Rini berkomunikasi lancar. Dia menjawab semua pertanyaan dokter dengan rasional. Malah, dia tersenyum sewaktu suster bertanya tentang kejadian semalam.
Dia menjawab: "Ya... tadi malam perut saya sakit sekali. Seperti ditusuk-tusuk. Maafkan saya, Suster," katanya.
Gadis ini ramah. Senyum mekar dari wajah pucat. Tampak lesung pipit dan deretan gigi putih rapi. "Saya tidak akan teriak-teriak lagi, Suster. Maafkan saya," katanya.
Suster memberitahu, bahwa yang menangani Rini semalam bukan dia, melainkan suster lain dan pagi tadi sudah pulang. Rini menjawab: "Makasih, Suster. Nanti saya akan minta maaf langsung padanya."
Ryadini melihat ada kemajuan pada Rini. Setelah dokter dan perawat pergi, dia dekati anaknya.
"Mau sarapan, Rin?"
"Jangan dulu, Bun. Masih mual. Minum aja."
Ryadini mengambil botol minuman, memasangkan selang yang biasa digunakan untuk minum sambil tiduran.
Rini malah bangkit, duduk. Meminta botol, meminta pipet. Kemudian menyedot air putih melalui pipet.
Syukur... kepada Allah yang maha besar. Ada kemajuan. Ryadini tersenyum gembira.
"Rini mau pipis, Bunda," ujar Rini.
"Oh... sebentar," ujar ibunda, dengan sigap mengambil pispot di kolong bed.
"Jangan itu, Bun. Rini mau ke kamar mandi."
Ryadini melongo, terbengong. Baru kali ini sejak pasca operasi Rini minta kencing di toilet. Biasanya di pispot yang dipegang Ryadini itu.
Dipandangi Rini dengan khawatir.
"Jangan malu, Rini... Gordin akan Bunda tutup dulu."
"Nggak Bun. Rini pengen jalan."
Apa mau dikata, Rini kelihatan sudah membaik. Ryadini melepaskan tabung infus dari gantungan besi, membawa dengan tangan kiri. Sementara, tangan kanan menerima tubuh Rini turun dari ranjang.
Kini Rini berdiri tegak di lantai. Tangan kiri merangkul tubuh Bunda, tangan kanan tak banyak gerak karena ada jarum infus. Mereka berjalan pelan ke toilet.
Sugiarti menyaksikan. Eva melihat dari balik tirai. Mereka seperti tidak percaya, bahwa gadis cantik tinggi semampai itu semalam teriak-teriak bagai orang tak waras.
Mereka masih terpesona saat Rini dibimbing Bunda keluar toilet. Rini berhenti, memandang tersenyum ke arah Sugiarti dan Eva, lalu:
"Ibu... maafkan saya berisik tadi malam. Adik, maafkan kakak, ya...," katanya dengan suara jelas.
Kontan, Sugiarti dan Eva membalas senyum, memberi semangat Rini agar cepat sembuh. Rini tersenyum, lantas bertanya ke Eva:
"Sekolah dimana, Adik?"
"SMPN 51, Kak."
"Kelas berapa?"
"Satu, Kak."
"O, badannya tinggi. Cepet sembuh, ya Adik."
"Sama-sama. Moga Kakak cepat sembuh juga."
Eva tersenyum, melambai pada si Kanker Pankreas. Rini membalas lambaian.
Di bed, Rini kembali dibantu Bunda naik ke ranjang. Tubuhnya di atas bed, dia mengatakan:
"Bunda... maafkan Rini merepotkan Bunda terus..."
"Sudahlah Rin. Ini semua bukan salahmu."
"Tapi, maafkanlah Rini, Bunda..." rengeknya.
"Ya... ya... sudah Bunda maafkan."
---------------- Meluncur ke 5 Bersiap Terima Kejutan
KAMU SEDANG MEMBACA
728 HARI
Storie d'amoreIni kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini). Mengapa novelis terke...