Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
15 Maret 2014 Eva ditelepon mandor bangunan, diberitahu, rumah Pondok Gede selesai dibangun. Eva dan Nanan segera berangkat berboncengan motor. Melihatnya.
Luar biasa... rumah bagus. Eva memekik riang, begitu dia dan suami tiba disana.
Rumah mungil tapi bagus. Rumah pertama sejak sepuluh tahun pernikahan. Rumah rancangan Eva dibantu arsitek.
Luas seluruh areal 6 X 15 meter. Ada halaman depan 6 X 3 meter, sudah ada pagar besi halaman.
Ruang tamu 3 X 3 meter ternyata tidak lega. Di gambar seolah besar, kenyataan kecil.
Dua kamar tidur masing-masing 2,5 X 3 meter. Belum terbayang, bagaimana jika diisi ranjang. Satu kamar mandi, satu dapur. Lantai keramik krem motif bunga.
Di belakang tersisa halaman sekitar 3 X 3 meter. Eva suka ruang terbuka ini.
"Bisa kita isi taman bunga disini, Mas," ujar Eva bersemangat.
"Ya, bagus, sayang..." balas Nanan. "Pakai pot bunga supaya praktis. Sebab, jemuran juga disini."
"Kalo dibuat beton dak, jemuran bisa di atas, Mas."
"Ah... itu nanti. Biaya besar."
Memang, belum finishing. Tembok belum dicat, handel semua pintu belum ada, kran air juga belum.
Sementara itu...
"Uangku udah habis, Mas. Hmmm... Bisa gak, Mas utang kantor untuk beresin finishing?"
"Kucoba ngomong ke atasan dulu, ya."
"Usahain dong, Mas... Biar kita tinggal disini mulai satu April. Biar keren di catatan sejarah hidup kita. Ini masih ada waktu dua minggu, lho Mas..."
"Ya... ya... ini langsung kutelepon atasanku," ujar Nanan, memencet HP.
Nanan bicara dengan atasan. Dia sampaikan, ada keperluan keluarga yang mendesak. Tapi, kelihatan sulit.
Nanan diam, mendengarkan penjelasan panjang-lebar di seberang sana. Eva cemberut, manyun.
Nanan coba merayu lagi, setengah merengek. Janji potongan langsung pada gaji bulan-bulan berikut. Dirinci besaran potongan. Akhirnya...
"Baik, Pak... baik,,, saya ambil besok di Bu Mur. Terima kasih banyak, Pak," ucap Nanan menutup pembicaraan.
Meledaklah kegembiraan Eva. Dia melonjak-lonjak riang. Dipeluknya Nanan kuat-kuat, sampai dia sesak napas sendiri. Jadi tersengal-sengal.
"Udah... udah... ntar kamu pingsan, lagi," ujar Nanan.
Eva mengatur napas:
"Besok, setelah Mas ambil uang, langsung serahkan ke mandor bangunan, ya. Biar cepet dikerjain."
"Ya... ya..."
Sesungguhnya, tidak masalah mereka tinggal di rumah Badarudin. Di rumah itu kini hanya ditempati Badarudin-Sugiarti, Nanan-Eva. Semua adik-adik Eva sudah menikah, dan semua sudah membeli rumah sendiri-sendiri, tinggal di rumah masing-masing.
Kendati, Eva tak mau kalah. Dia ingin membangun rumah tangga sendiri, terpisah dari orang tua.
Maka, selama dua pekan ini Eva aktif SMS ke mandor, menanyakan perkembangan finishing rumah. Dia mendesak mandor agar cepat selesai akhir bulan ini.
Akhirnya sukses... Mandor telepon Eva pada Minggu malam, 30 Maret 2014.
"Pekerjaan sudah beres semua, Bu," kata mandor.
"Terima kasih, Pak," balas Eva.
Tapi, Senin besok Eva belum bisa melihat rumah. Sebab, ada kesibukan seharian di Dahlanis. Malam itu dia mengatakan ke Nanan: "Aku ada waktu lusa, Mas. Lusa siang, kita ketemu di rumah baru, ya..."
Nanan oke saja.
Jadwal rencana untuk lusa: Eva akan meluncur dari Markas Dahlanis di Blok M ke Pondok Gede. Sedangkan, Nanan diminta meninggalkan kantor saat istirahat makan siang. Mereka ketemu di rumah baru sekitar 12.30.
"Kita liat rumah kita sebentar, trus Mas balik ke kantor, kerja lagi," kata Eva. "Rabu kita angkut barang, pindah kesana."
Nanan mengangguk-angguk.
------------------Lari ke 65 Suatu pembuktian siap meledak disana...