Bagian Dua (1989 - 1990) Inilah Colekan Pertama

3.3K 105 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rumah indah

Bukan terbuat dari mutiara

Tapi karena

Ada mutiara hati

------------------

10. Rumah Kita yang Indah

Lupus ternyata tidak mengerikan, asal pengidap disiplin pada aturan dokter. Paling tidak, Eva tetap berkegiatan seperti biasa tanpa kendala.

Obat rutin tiap hari. Dia juga selalu berupaya menghindari matahari. Walau sekali-sekali, sedikit-sedikit, kena juga. Bagaimana mungkin tidak, sedangkan di negeri ini matahari bersinar setiap hari sepanjang tahun.

Problem utama dia kini adalah ambisi. Di kelas dua SMP sekarang, dia sedang getol-getolnya unjuk eksistensi diri. Bahwa gue ada, bahwa gue bisa, bahwa gue hebat. Dan, andalan Eva bertumpu di Paskibraka-Basket.

Senin, 24 Juli 1989 pagi, Eva pingsan saat latihan Paskibraka di sekolah. Itu persiapan pagelaran upacara peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1989 di kantor Walikota Jakarta Timur.

Seperempat jam latihan di bawah terik matahari, Eva ambruk, jatuh menggelempang ke tanah. Guru-guru panik. Peserta latihan lain yang hanya empat, sibuk mengangkat Eva, membawa ke ruang guru.

Latihan otomatis berhenti. Sebab, hanya lima siswa itu yang terpilih mewakili sekolah mengikuti upacara di kantor walikota.

Sedangkan, Eva langsung demam. Ruam merah di pipi kiri-kanan muncul, samar tapi kelihatan. Dibawa ke RSI, tempat dulu dia dirawat. Sugiarti gelisah lagi. Keluarga sedih lagi. Dokter memeriksa teliti.

Untung, tidak sampai opname. Dokter mengatakan, itu bukan flare up (kambuh).

Berobat jalan, sepekan kemudian dia sudah sehat lagi. Sudah sekolah lagi. Ruam di pipi masih ada, kian menipis.

Namun sejak itu: Goodbye, Paskibraka... You have ever make me proud...

Suatu pagi, saat sarapan bersama keluarga, Sugiarti ingin melarang Eva main basket. Betapa pun basket adalah sumber malapetaka Eva. Dan, petaka bagi Eva berarti petaka bagi Sugiarti dan seluruh anggota keluarga.

Hanya saja, kalimat yang keluar dari bibir Sugiarti sangat halus:

"Basketnya apa nggak berhenti sekalian, Nduk?"

"Ah... Jangan, Ma. Latihannya sore di tempat teduh, kok."

"Tapi kamu 'kan nggak boleh terlalu capek juga."

"Aku nggak capek. Kalo capek, ya minta istirahat."

Eva berusaha bertahan di basket. Kegembiraan dia kini hanya ada disitu dan sekolah. Sudah tiga kompetisi dia ikuti, selalu menang. Dia merasa dirinya bermanfaat. Dia merasa gembira. Disitulah benteng pertahanan terakhir ambisi masa remaja.

Faisal yang sudah rapi berseragam SD, nyeletuk:

"Mbak Eva jagoan basket, sih..."

"Kamu tahu dari mana?" tanya Mama.

"Dari Kak Ninis."

"Kamu SMP nanti jagoan basket, nggak?"

"Aku jagoan karate."

"Kereeen... Faisal..." ujar Eva tepuk tangan.

"Aku mau jadi polisi," sergah Toro, menarik perhatian.

Semua ketawa pada si kecil Toro yang tak mau ketinggalan. Badarudin menyemangati:

"Siap... pak polisi," kata Badarudin, memberi hormat ala militer. Semua tepuk tangan.

Belakangan, keluarga ini selalu dalam suasana gembira. Berkumpul di rumah adalah kegembiraan. Berbagi cerita dan bercanda. Tempat curahan hati dan dorongan semangat. Rumah terasa indah.

Badarudin semakin yakin, diagnosis dokter salah. Dia selalu berharap diagnosis itu salah. Sejak isteri menceritakan detil tentang Lupus di RS dulu, dia sudah meragukan.

Cobalah, tidak satu pun keluarga dekat kena Lupus. Dokter mengatakan, Lupus karena keturunan. Bukan penyakit menular. Bukan pula karena makanan atau akibat suatu kecelakaan. Lantas dari mana datangnya Lupus?

Tapi, dia juga tidak berani menghentikan obat. Toh harga tidak seberapa, sebagian ditanggung Askes. Dibanding risiko menghentikan obat, yang dia juga tidak tahu bentuk risikonya.

Sugiarti beda. Dia merasa ada bom waktu di keluarga yang dia tidak tahu kapan akan meledak. Lokasi bom waktu ada di dalam tubuh Eva, mengalir bersama darah. Perasaan ini dipendam sejak dia terkejut mendengar paparan dokter.

Tentu, dia juga berharap diagnosis itu salah. Dia sangat sulit menerima itu sebagai kenyataan. Tapi, penjelasan dokter terlalu jelas, terlalu rinci.

Sudah ada bukti. Eva melanggar larangan kena matahari, langsung tumbang. Dokter mengatakan, Lupus bisa tidur lama. Seolah hilang. Namun, begitu faktor pencetus dilanggar, kontan kambuh.

Itu meyakinkan Sugiarti, penjelasan dokter betul. Suatu saat bom bakal meledak. Penyakit anaknya tidak dapat disembuhkan, dan kerusakan tubuh Eva tak bisa berhenti.

Eva beda lagi. Hari ini, Selasa, 1 Agustus 1989 dia mencatat, usianya kurang 369 hari lagi. Dia catat di buku harian. Hal-hal sepele pun dicatat.

Masing-masing tidak bicara Lupus blak-blakan. Sama-sama menjaga keharmonisan keluarga. Hidup bagai air sungai mengalir deras, ikut saja kemana pun arah berbelok, kemana pun tujuan berakhir. Mereka tidak tahu, apa yang ada di depan.

Mereka selalu siap berjuang habis-habisan jika ada masalah. Lupus sumber masalah. Pilihan mereka: Berjuang atau menyerah. Paling gampang memang menyerah. Siapa tak bisa? Tapi ajaran agama melarang. Jadi, hanya ada satu jalan: Berjuang.

Mereka menyadari, keharmonisan saat ini harus dinikmati, dihargai, disyukuri. Momentum begini tidak pernah lama. Tiada yang abadi di dunia. Sebelum kondisi berubah lagi. Karena hidup selalu dinamis.

"Ayo... Pa, keburu jalan macet. Kita bisa telat," ujar Eva.

"Iya... Pa. aku masih harus jalan lagi ke sekolah, nih," Faisal menimpali.

Usai sarapan mereka beranjak. Memeriksa barang-barang bawaan.

Di halaman depan langit tak lagi gelap. Bunga bougenville merah dan ungu memamerkan keindahan, bergoyang lembut dibelai angin. Burung greja berceloteh, melompat gesit dari batang ke batang. Pagi yang cerah di rumah kita yang indah.

Mobil berangkat, keluar dari jalan selebar lima meter, melewati jembatan. Di bawahnya kali keruh penuh sampah. Melaju di Jalan Kalimalang yang macet total. Bergerak merayap ke arah barat. Lalu menurunkan satu demi satu: Faisal, Toro, terakhir Eva.

Tinggallah Badarudin sendirian, merangkak bagai keong di Jalan Ahmad Yani yang macet parah. Tergiring lambat menuju kantor di Balaikota.

----------------- Lanjut ke 11 Nikmatilah Hari Ini, Sebab Esok Berubah Lagi

728 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang