Minggu, 5 Agustus 1990 siang Eva masih bernapas. Sejak pagi dia di kamar. Usai makan siang, dia kembali ke kamar lagi. Dia ingin berakhir di rumah. Tapi belum ada tanda-tanda.
Jelang sore dia kian gelisah. Akankah saat itu datang di malam hari? Jam berapa? Bagaimana prosesnya? Bagaimana rasanya? Pertanyaan-pertanyaan memenuhi kepala.
Kalau tidak hari ini berarti dokter dulu salah perkiraan. Sedangkan, dia sudah meneliti catatan harian, tidak ada yang salah.
Memasuki petang, dia mulai ragu. Hari akan habis beberapa jam lagi. Jemputan maut belum menunjukkan tanda-tanda.
Pintu kamar diketuk, suara Mama memanggil, dia menjawab, pintu dibuka.
"Kamu sakitkah, Nduk?" tanya Mama, memegang kening Eva.
"Nggak Ma. Aku gapapa."
"Obatmu sudah diminum?"
"Sudah tadi pagi."
Jatah minum obat sehari sekali selalu dikontrol Mama. Rutin otomatis. Serutin dia gosok gigi. Mama pun meninggalkan kamar.
Selesai shalat Isya, Eva siap tidur. Detik-detik datangnya maut, dirasa tak perlu ditunggu. Biarlah datang sendiri. Dia melafalkan doa sebelum tidur. Pasrah atas hidup dan mati kepada Sang Khalik.
Bangun pagi seperti biasa. Pagi yang sama dengan kemarin-kemarin. Shalat Subuh seperti biasa.
Dia sujud syukur, menyambut nikmat Allah atas tambahan usia.
6 Agustus 1990 Senin pagi, catatan harian berjudul "BONUS UMUR": Isinya begini:
Alhamdulillah... Allah memberiku kesempatan hidup. The Final Countdown untuk sementara belum terbukti. Hitung mundur tetap saja berlangsung. Cuman sekarang aku tidak tahu lagi, kapan berakhirnya. Umur manusia memang hanya menjadi rahasia-Mu, Allah...
Sebulan kemudian, 5 September 1990, Rabu siang, sepulang sekolah Eva mengajak Sisca, Hesti, Ryan ke rumah. Tiga cewek naik taksi, Ryan dengan motor. Eva juga mengundang teman lama Ninis dan Tika.
Hari ini ulang tahun Eva ke-14. Eva baru mengatakan setelah mereka berkumpul di rumah. Teman-teman kaget dan protes, karena dengan begini mereka tidak sempat bawa kado.
Keluarga Eva tidak biasa mengadakan pesta ulang tahun. Mama pengurus pengajian ibu-ibu PKK biasa menggelar syukuran. Eva merengek izin Mama untuk acara ini. Lalu dibuatkan nasi kuning dibentuk tumpeng. Tanpa kue tart dan tiup lilin. Diganti jajan pasar, budaya Jawa.
Ruang tamu sudah dihias aneka balon, jadi sangat berisik oleh kicauan mereka. Teman grup SMP paling gokil Tika, teman grup SMA didominasi Sisca. Mereka seperti tak pernah kehabisan ide membuat topik obrolan dan bercanda.
Ryan satu-satunya cowok, jadi bahan ceng-cengan. Tak ada yang membela. Sekali waktu Eva membela, justru masuk jebakan diledek abis. Eva malah senang.
Sebaliknya, Ryan malu-malu. Dia lebih suka suasana berduaan dengan Eva. Seandainya Eva memberitahukan rencana ini, Ryan pasti mengubah jadi acara berdua. Tidak ramai-ramai.
Eva mensyukuri keindahan masa berpacaran. Dia merasakan bahwa Allah menghidupkan manusia, lengkap dengan keindahan, termasuk sakitnya juga.
Adik-adik Eva di ruang tengah ikut heboh mendengarkan pembicaraan di ruang tamu. Samar-samar mereka mengerti bahwa kakak mereka punya teman cowok istimewa.
Mereka menanyakan arti berpacaran kepada Mama, yang pura-pura tidak mendengar obrolan di ruang tamu. Mama menjelaskan, pacar sama dengan teman. Istilah itu digunakan mereka yang beranjak dewasa.
Sugiarti khawatir Eva berpacaran. Khawatir Eva dikecewakan atau mengecewakan. Tapi melihat Ryan berperilaku baik dan sopan, dia tak banyak komentar. Tidak melarang, juga tidak mendorong. Dia hanya memantau perkembangan.
Sugiarti tidak sampai hati melarang Eva. Kegembiraan Eva kegembiraan Sugiarti juga.
------------------ Lanjut ke 23 BAGIAN TIGA hidup berlanjut, tapi tambah rumit
KAMU SEDANG MEMBACA
728 HARI
RomanceIni kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini). Mengapa novelis terke...