Awal Juli 2010 musim nikah datang lagi. Job untuk Eva datang bertubi-tubi. Jauh lebih banyak dibanding tahun lalu.
Pimpinan di kantor sempat ragu memberikan job ke Eva. Tapi, Eva mendesak, meyakinkan bahwa dia mampu.
Dia sedang gambling kehidupan. Dia pilih posisi agresif.
Eva kembali sibuk. Sehari dia bisa tampil di dua-tiga acara pernikahan. Bukan hanya di Jakarta, juga beberapa kota besar lain. Di Jawa dan Sumatera.
Dia berusaha kuat menjaga disiplin. Teratur minum obat, kontrol dokter, mengatur jadwal istirahat, makanan sehat, bangun pagi olahraga jalan kaki sebelum matahari terbit. Jika di luar kota, dia olahraga di dalam komplek hotel.
Alhasil: Aman sampai frekuensi job surut, dan habis di akhir November 2010. Eva tetap sehat. Bahkan, masih berlanjut ke pendampingan Odapus.
Sebagian uang hasil panen jadi MC dia belikan tanah 100 meter persegi di Pondok Gede, Bekasi. Kelak bisa dibangun rumah. Dia tidak lagi tertarik mengontrak rumah.
Akhir tahun 2010 dia mengajak suami dan orang tua rekreasi ke Bali. Tapi, Mama-Papa menolak.
"Jangan boros, Nduk. Mending uangmu buat membangun rumah di tanah yang kamu beli," kata Sugiarti, saat diajak.
"Membangun tahun depan ada rejeki lagi, Ma. Sekarang aku pengen nyenengin Mama," kata Eva.
"Sudahlah... kamu berangkat dengan suamimu aja. Mama bahagia kalo melihat kamu bahagia."
"Rasanya nggak lengkap kalo Mama-Papa nggak ikut."
"Kamu 'kan belum pernah bulan madu. Nah, sekarang saatnya."
"Hahaha... pengantin lawas bulan madu..."
Akhirnya Eva berangkat ke Bali berdua dengan suami. Mereka menginap di hotel bintang tiga di Nusa Dua. Berbagai tempat rekreasi mereka kunjungi.
Rekreasi ini jadi penyeimbang pernikahan mereka yang garing. Masak, enam tahun usia pernikahan hanya diisi Eva sakit? Walaupun rekreasi ini tidak akan mampu membalik kegaringan jadi keceriaan.
Tingkat kegaringan pernikahan mereka cukup berat. Bukan saja karena diisi penyakit dan bosan menunggu di rumah sakit, melainkan juga anjuran keras dokter: "Eva jangan hamil lagi." Sebab, risiko kematian sangat tinggi.
Pernikahan tanpa anak masih belum populer di Indonesia. Termasuk bagi Eva dan Nanan. Sangat sedikit pasangan suami-isteri disini yang sama-sama berniat tidak punya anak. Bahkan, nyaris tidak ada.
Budaya yang berkembang di masyarakat: Banyak anak banyak rejeki. Jangankan pernikahan tanpa anak, program pemerintah Keluarga Berencana (KB) yang menganjurkan "Dua Anak Cukup" saja sangat sulit tercapai. Mayoritas pasangan suami-isteri Indonesia memiliki lebih dari dua anak.
Realitas budaya itulah yang membelenggu orang. Jika dua orang dewasa bertemu, pertanyaan awal yang dilontarkan: "Sudah menikah, belum? Anakmu sudah berapa? Anakmu sudah kelas berapa? Anakmu sudah menikah, belum? Cucumu berapa?"
Orang jadi merasa terbebas belenggu budaya jika: Sudah menikah, sudah punya anak, sudah punya cucu. Bagi yang belum, atau tidak bisa? Pasti tertekan secara sosial. Tidak sampai dikucilkan, tapi ada stigma "belum sempurna".
Tekanan sosial mengganggu suami-isteri, termasuk Eva-Nanan. Tidak sedikit isteri merelakan suami menikah lagi, sebab mereka tidak bisa punya anak. Banyak suami merasa berhak selingkuh dengan wanita lain, karena isteri tidak bisa hamil.
Eva mencurigai Nanan selingkuh. Ada informasi begitu. Walau Eva tidak bisa membuktikan salah-benar gosip, toh dia terganggu juga. Gelisah takut kehilangan. Penasaran, apakah perlu dibuktikan?
Namun, ternyata Eva tidak berniat mengkonfirmasi ke Nanan. Tidak juga berniat menyelidik. Diabaikan begitu saja gosip itu. Andai Nanan menikah lagi pun Eva ikhlas. Eva merasa, sudah menjalankan peran sebagai orang secara maksimal. Sudah menikah. Bisa hamil.
Sikap itu berkebalikan dari karakter dasar Eva yang progresif. Karakter dia terkikis oleh sikap tahu diri yang mengendap belasan tahun terakhir ini.
Dulu pun dia berusaha menghindari pernikahan. Saat itu dia sudah berprediksi ke depan, kurang-lebih bakal begini.
Apalagi, Nanan tidak menunjukkan tanda-tanda selingkuh. Di mata Eva, dia tetap setia. Tetap mau tampil berduaan kemana-mana.
Nanan memberi kebebasan Eva bekerja, bersosialisasi kemana pun. Karena pernikahan garing, dan di sosialisasi itulah salah satu kegembiraan Eva.
Rekreasi ini memberikan setetes sejuk di kegaringan pernikahan mereka.
--------------- Lari ke 56 Ada atraksi baru, dalam waktu dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
728 HARI
RomantizmIni kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini). Mengapa novelis terke...