40. Debat Sengit...

2.2K 91 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sabtu malam 31 Juli 2004, Abdullah-Maimunah mengajak Nanan bicara lagi.

Mereka ingin kepastian bahwa anaknya benar-benar tahu, apa yang akan dihadapi kelak. Mereka bicara blak-blakan di teras depan rumah.

"Kamu cari penyakit menikahi Eva, nak..." kata Maimunah.

Pembukaan yang keras. Tegas. Langsung ke pokok kegelisahan.

Nanan tercengang. Sedetik-dua detik dia diam. Menguasai diri. Dia mengatur napas satu-satu. Lalu dengan intonasi tenang, dia mengatakan:

"Percayalah, Ma. Aku sudah siap menikahi Eva."

"Kamu siap segala risiko?" sergap Maimunah.

"Sudah sejak lama aku siap. Hidup ini berisiko, Ma . Kita selalu meminimalisir risiko."

"Biaya kesehatan bakal sangat besar, lho."

"Ada asuransi dari kantor."

"Kamu sudah siap jadi duda? Merawat anak kalian?"

Tumpas... Nanan terperanjat. Itu juga yang dia pikirkan selama ini. Itu juga yang muncul-hilang di benaknya. Tapi, dia jawab:

"Soal usia kita pasrahkan kepada Allah, Ma," jawabnya.

Ibu-anak ini terus berdebat seputar pernikahan. Debat seru.

Mereka bicara terbuka, menyangkut penyakit, keturunan, keuangan, kejujuran, kemungkinan-kemungkinan konflik, hubungan antar keluarga besar kedua belah pihak, sampai soal hubungan seksual.

Disitu Maimunah tahu, anaknya sudah tak tergoyahkan lagi niatnya.

Apa mau dikata? Meskipun dia sangat khawatir, namun dia mendoakan rumah tangga anaknya rukun bahagia. Dia sadar, doa ibu segala-galanya.

Abdullah yang sejak tadi diam menyimak, minta Nanan menceritakan proses hubungan dia dengan Eva. Mulai pertama kali ketemu sampai sekarang. Pemikiran-pemikiran dia dan Eva tentang pernikahan. Tanggapan keluarga Eva terhadap dia, dan sebaliknya.

Nanan menceritakan semua kronologis dengan jujur. Mama-Papa mendengarkan.

Selesai Nanan cerita, Abdullah mengangguk-angguk. Maimunah menilai, anaknya memang sudah mantap hati.

Abdullah menilai, cara berpikir Nanan absurd. Tapi dia juga sependapat dengan isteri, bahwa Nanan memang sadar betul atas pilihannya. Usia Nanan kini 29 sedangkan Eva 28. Usia puncak kedewasaan manusia.

Ada yang mengganjal di hati Abdullah:

"Kamu janji ke ibu Eva, akan melamar kalau kesehatan Eva stabil minimal setahun. Nah, dia baru kambuh lima bulan lalu. Mengapa lamaran tidak kita tunda tahun depan?"

"Janjiku itu untuk menguji kedisiplinan Eva menjaga kesehatan. Dia drop Februari 2004 bukan karena tidak disiplin, tapi ada penyakit lain di ginjal," jawab Nanan.

Abdullah geleng-geleng kepala, mengamati mata anaknya.

"Jadi, Lupus menyerang sel darah merah, menghilangkan empedu, dan merusak ginjal?" kata Abdullah dalam nada tanya. "Waduuuh... Dia benar-benar dikepung penyakit, ya."

"Setelah menikah, aku akan membimbing dia agar disiplin, Pa."

Abdullah terpana. Begitu dahsyat cinta merajut hati manusia. Halang dan rintangan tak menyurutkan langkah.

Kini pembicaraan Abdullah sudah maju selangkah:

"Apakah kamu sudah sounding bahwa lamaran kita akan diterima?"

"Ibunya menjamin akan menerima, Pa."

Sudah tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Andai diperdebatkan, bisa jadi debat kusir. Debat berkepanjangan. Bertele-tele.

Papa-Mama akhirnya menyatakan, siap melamar Eva.

"Mama doakan pernikahanmu bahagia, Nak..." ujar Maimunah, sesenggukan.

Nanan segera sujud di kaki Mama. Dia menangis. Baru kali ini Nanan menangis tersedu-sedu, sambil mencium kaki ibunya. Tangis Maimunah pecah...

Selama beberapa detik mereka larut dalam haru-biru.

Abdullah terseret haru melihat adegan di depan mata. Ini kejadian dramatis. Beda, dibanding rencana lamaran untuk anak sulung, dulu.

Abdullah menahan tangis, dan berkata:

"Kamu pilih jalan terjal berliku, Nak... Atasi-lah rintanganmu."

Nanan beralih memeluk Papa dan mencium kakinya. Dia menangis seperti saat masih bocah, dulu. Dia minta maaf kepada Mama dan Papa, karena sudah membuat mereka selalu khawatir.

Teras rumah yang dingin, berubah hangat. Hangat airmata.

Malam beringsut perlahan. Bintang-bintang tersebar di cakrawala, tampak begitu terang dari teras rumah Abdullah. Bulan sabit kuning kemerahan di ufuk timur. Bintang berkelip. Para penghuni jagat raya tersenyum, menyaksikan drama yang baru saja berlangsung.

----------------- Lari ke 41 Menikah-kah mereka? Semoga. Cuman, jalan hidup sarat tikungan...

728 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang