16. Insiden MOS 1

2.8K 103 1
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Selamat Datang Siswa Siswi Baru, Tahun Ajaran 1990-1991"

Terbentang di gerbang SMAN 71 Jakarta. Eva menengok spanduk itu sekilas. Berjalan berpayung, masuk. Membaur dengan ratusan pelajar berseragam putih-putih. Semua membawa satu buku tulis dan pena di saku. Tapi tak satu pun berpayung.

Kerumunan pelajar berdesakan melihat deretan papan pengumuman. Eva ikut mengamati papan. Isinya daftar nama dan kelas. Nama Eva tercantum di kelas 1.1.

"Selamat pagi, Pak," sapa Eva kepada seorang guru disitu.

"Pagi..."

"Saya Eva Meliana Santi kelas satu satu. Ibu saya kemarin menghadap bapak kepala sekolah, minta dispensasi. Saya baru sembuh dari rumah sakit. Kata dokter, saya dilarang kena matahari."

"Sakitmu apa, Eva Meliana Santi?"

"Lupus, Pak."

Guru mengernyitkan dahi. Seperti menganalisis sesuatu yang asing. Melirik payung Eva yang baru saja dilipat.

"Ikut saya," ujarnya sambil jalan.

Eva mengikutinya. Sampai ketemu siswi berseragam putih-abu abu. Guru bertanya ke siswi itu:

"Hesti, kamu mitra MOS satu satu, ya?"

"Betul, Pak."

"Nah, anak ini baru keluar dari rumah sakit. Kata dokternya, dia dilarang kena matahari. Tolong diurus."

"Baik, Pak," kata Hesti. "Ayo Adik, ikut saya," ujarnya pada Eva.

Sampai di depan pintu ruang kelas yang tertutup, bertuliskan 1.1, Hesti berhenti.

"Adik tunggu disini aja. Nggak usah ikut baris di lapangan," kata Hesti.

"Terima kasih, Kakak."

Beberapa menit kemudian pengeras suara sekolah menggema, suara guru pria:

"Kepada para calon siswa siswi SMA Negeri 71 Jakarta, diharap segera berbaris di lapangan. Bentuk barisan tiga tiga, sesuaikan kelas masing-masing. Segera..." terdengar tegas.

Para pelajar menghambur ke lapangan. Mereka mengamati patok-patok kayu setinggi semeter, bagian atas tertempel karton bertuliskan kelas: 1.1 sampai 1.8. Mereka mencocokkan dengan kelas masing-masing, membentuk barisan, lurus di depan patok-patok itu.

Kini tampaklah Eva berdiri di koridor depan pintu kelas. Barisan menghadap ke arahnya.

Jarak antara dia berdiri dengan barisan terdepan sekitar 5 meter. Dia berpijak di lantai ubin setinggi hampir semeter dari pijakan tanah rumput barisan. Dia dengan jelas memandang seluruh barisan, begitu juga sebaliknya.

Eva jadi canggung.

Namun sebagai mantan Paskibraka, dia bersikap tegak sempurna. Payung terlipat di tangan kanan, ujungnya mentok menyentuh lantai. Persis seperti senjata pasukan.

728 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang