Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Senin pagi, 31 Maret 2014 Eva berangkat ke kantor Komunitas Dahlanis di Jalan Hangtuah, Blok M, Jakarta.
Hari ini jadwal dia sangat sibuk. Dia sekretaris panitia peluncuran buku biografi Dahlan Iskan berjudul "The Next One" karya Budi Rahman Hakim.
Acara digelar malam nanti di Gedung Energi di komplek SCBD (Sudirman Central Business District) Jalan Sudirman, Jakarta. Itu gedung bergengsi. Persiapan acara dilakukan sejak pagi di kantor Dahlanis, Jalan Hangtuah.
Hari masih terlalu pagi saat dia tiba di kantor Hangtuah. Belum pukul 08.00. Baru satu-dua orang anggota panitia disana.
Pagi itu mereka rapat, membahas detil acara peluncuran buku. Sebenarnya persiapan acara sudah sering dibahas dalam rapat. Ini rapat terakhir. Sekadar memastikan, bahwa segala sesuatunya sesuai rencana.
Maklum, tokoh yang ditulis dalam buku itu, Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara. Beberapa pejabat tinggi negara, juga tokoh masyarakat, diundang.
Siang, ratusan anggota Dahlanis datang dari berbagai kota. Mereka bukan anggota panitia, melainkan para simpatisan Dahlan. Mereka dengan sukarela membantu tugas-tugas panitia.
Eva gembira. Ketemu banyak Dahlanis dari berbagai daerah di Indonesia. Termasuk dari Singapura dan Hongkong.
Tapi, ampuuun... Ya Allah...
Dua kali, kaki Eva terbentur kursi. Tidak keras. Hanya tersandung. Tapi... mengapa sampai dua kali?
Padahal, ruangan terang-benderang. Gedung itu berbentuk rumah besar kuno, dua lantai. Mereka berkumpul di lantai dua. Banyak jendela kaca besar, sehingga sinar matahari menerangi seluruh ruangan. Mengapa Eva tersandung dua kali?
Problem ada di mata Eva. Tidak akurat menangkap ujung kursi. Tampak berbayang.
Menyadari itu, Eva berhenti bergerak. Dia menyendiri di sudut sebuah ruangan yang sepi. Duduk terpekur di kursi. Memegang tepian meja, seolah hendak mengukur jarak antara pinggiran meja kayu itu dengan dirinya.
Meja kelihatan jelas. Ya, tentu saja... karena jarak Eva dengan meja tak sampai semeter.
Dia beralih pandang ke titik lebih jauh: Handel pintu warna kuning, pada jarak sekitar empat meter. Nah... besi handel itu buram tak berbentuk. Cuma tampak seonggok benda warna kuning, menempel di pintu kayu warna coklat. Itu pun berbayang-bayang. Baik handel maupun pintunya.
Dia alihkan lagi ke kursi stainless steel, dengan busa warna merah. Jarak sekitar tiga meter. Warna busa dan logam, jelas. Tapi pinggiran berbayang, kabur melebar di bagian tepi.
Dia pindah lagi mengamati ujung meja berjarak dua meter, masih juga berbayang di bagian pinggir.
Mendadak Eva dikejutkan suara wanita:
"Mbak Eva... ngapain nyepi disini? Ayo, kita sambut rombongan Dahlanis Semarang," ujar wanita yang baru masuk ruangan.
"Siap mbak," balas Eva cepat.
Eva bangkit menuju pintu. Mendekati wanita yang menyapanya. Ternyata panggilan "mbak" terhadap wanita itu tidak tepat. Tidak seperti biasanya dia memanggil wanita itu.
Eva baru tahu setelah mendekati pintu, bahwa itu Decy Widhianti yang biasa dia panggil Bu Decy.
"Mana rombongannya, Bu?" tanya Eva, sekaligus meralat panggilan tadi.
"Wah, sudah membaur dengan yang lain. Sebentar lagi Mbak Jujuk dari Hongkong juga akan datang."
Decy tidak menyadari kesalahan Eva. Rupanya Decy tidak jeli memperhatikan perubahan panggilan dari "mbak" ke "bu". Maka, Eva cepat menutupi kesalahannya:
"Kalo gitu kita siaga disini aja, Bu."
"O, ya. Aku tengok persiapan acara disana, ya."
"Oke, Bu. Aku jaga sini."
Untung, kelemahan mata Eva tidak ketahuan.
Tapi, kalau dia berada di keramaian begini, di tengah ratusan orang seperti ini, bisa-bisa konyol. Dia bisa salah panggil nama orang. Atau jalan terlalu cepat, lalu kebentur pintu. Bisa juga dia terjatuh akibat tersandung sesuatu. Konyol. Memalukan.
Eva memutuskan, tetap berada di dalam ruangan kosong itu. Dia tidak berani keluar.
Mengherankan, mengapa perubahan mata Eva terlalu drastis? Seolah tanpa proses. Walaupun sudah sejak sebulan lalu penglihatannya terus merosot. Tapi, dia tak menduga perubahan secepat ini. Sedrastis ini.
Eva merenungi kondisinya. Memikirkan hari esok. Membayangkan, kegelapan bakal menyatu dengan hidupnya. Siang dan malam, sama saja.
Sungguh... ketakutan tiba-tiba menyergap dadanya. Menabrak dengan seketika. Membuat napasnya tersengal-sengal. Matanya pun berair.
Suara ratusan orang di rumah sangat besar itu, benar-benar riuh. Celoteh gembira, tawa dan gurauan, semarak riang.
Tapi, di telinga Eva, itu semua terdengar seperti suara kerumunan lebah di sekitar sarangnya. Berdengung tanpa arti.
Eva kesepian di tengah keramaian.
------------Lari ke 66. Menunggu detik-detik akhir...